Senin, 19 Maret 2018

IPAR JEPANG; UNGKAP SEJARAH YANG "TERSURUK"



Membaca buku ini mengantarkan kita pada Informasi Sejarah tentang Keistimewaan Kota Bukittinggi bagi Pemerintah Jepang. Mengejutkan bahwa Jepang telah merencanakan sesuatu yang sangat "BESAR dan LUAR BIASA" untuk Kota Bukittinggi. 


Salmyah Madjid Usman dan Hasril Chaniago (Eds.).Memoar Siti Aminah Madjid Usman – Hiroko Osada: Kisah Hidup dan Perjuangan Seorang Putri Bangsawan Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017, xxiv + 382 hlm, ISBN 978-979-461-904-9.


   Buku ini adalah sebuah dokumen tentang sejarah pendudukan Jepang di Indonesia- Sumatera Barat dan Kota Bukittinggi. Hiroko Osada - Siti Aminah Madjid Usman-,adalah sang pemilik kisah dan salah satu tokoh sentral dalam buku ini dan seorang saksi mata ("pelaku sejarah") penjajahan Jepang di Indonesia- Sumatera Barat- Kota Bukittinggi yang masih hidup. Beliau selamat dari keganasan penjajahan Jepang dan saat ini tinggal di Jepang dalam usia 104 tahun. 

   Zaman pendudukan Jepang yang cukup singkat di Indonesia (Januari 1942-Agustus 1945) meninggalkan luka mendalam bagi bangsa ini. Waktu (3,5 tahun) yang singkat namun dianggap sama dengan penjajahan Belanda yang 3,5 abad. Hal ini di dasari dengan fakta sejarah, bahwa Ekploitasi Jepang pada Bangsa Indonesia telah menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi mansyarakat Indonesia. Jepang berusaha mengubah kehidupan sosial bangsa Indonesia secara radikal dan menguras hasil alamnya untuk kepentingan Jepang semata. 

Putri keluarga Samurai

Hiroko Osada, yang lahir pada 4 Oktober 1914, adalah anak perempuan dari keluarga bangsawan Samurai Kai-Genji yang memiliki tanah luas di kota Kofu, Frefektur Yamanashi, sekitar 100 km di barat Tokyo. Ayahnya, Akira Osada (1876-1957) yang menikah dengan ibunya, Fujiimi, termasuk Togaku Nōzeisha (keluarga Samurai pembayar pajak terbesar yang dihormati) yang sangat terpelajar dan bersahabat dengan para petinggi militer Jepang seperti Admiral Togo, pahlawan kemenangan Peran Jepang-Rusia 1904-1905.



Hiroko berjumpa dengan Abdoel Madjid Usman, seorang pemuda Minangkabau yang pertama belajar ke Jepang. Madjid mulai kuliah di Universitas Meiji Tokyo pada awal Januari 1933 dan Hiroko belajar di Nihon Yoshidaigaku (Japan Womens University) di kota yang sama. Perjumpaan yang sering terjadi dan kesamaan pandangan hidup untuk mengabdikan diri menjadi pekerja sosial menumbuhkan rasa saling cinta di hati keduanya yang kemudian membawa mereka ke pelaminan.  Pernikahan ini dianggap tabu oleh masyarakat Jepang, karena orang Indonesia dianggap dojin: “pribumi kulit berwarna dari negeri terjajah di Asia yang dianggap rendah” (h.59). Perkawinan itu membawa Hiroko ke Indonesia hidup d8alam suasana yang cukup memprihatinkan. Sesampai di Padang, pernikahan mereka diresmikan secara adat Minangkabau dan Hiroko mendapat nama Minangkabau ‘Siti Aminah’. Dari pernikahan ini, pasangan Madjid Usman - Hiroko dikaruniai 4 orang anak, yakni  Harun El Rasyid Madjid Usman, Salmyah Madjid Usman, Phirman Madjid Usman dan Dahlia Madjid Usman.


Mengungkap fakta sejarah yang selama tak diketahui


Buku ini banyak mengungkap fakta sejarah yang selama ini belum pernah terungkap dalam kajian-kajian sejarah tentang penjajahan Jepang di Indonesia. Fakta terbesarnya adalah rencana Jepang menjadikan Pulau Sumatra sebagai “wilayah kekuasaan Jepang untuk selamanya dan Kota Bukittinggi akan dijadikan sebagai tempat tinggal Tenno (Kaisar Jepang)” (h.219). Dugaan ini dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan  para petinggi pemerintah pendudukan Jepang serta peristiwa-peristiwa yang terjadi selama pemerintahan Jepang.

 
1.Pertukaran Abdoel Madjid Usman dan Soekarno.


   Izin kepulangan Madjid Usman ke Sumatera baru diperoleh jika Gun 25 di Singapura bersedia memulangkan Soekarno ke Jawa. Pertukaran ini dianggap penting oleh Jepang, karena mereka diharapkan dapat memimpin masyarakat di daerah masing-masing bagi kepentingan Jepang.


2. Kujungan Marquis Tokugawa ke Minangkabau.


 Marquis melakukan kunjungan sebanyak dua kali ke Minangkabau sampi ke kampung-kampung pedalaman Minangkabau (darek). Kunjungan ini  diduga bertujuan untuk mencari  lokasi "kediaman" yang pantas bagi keluarga Tenno (kaisar jepang). Dalam kunjungan ini, Bukittinggi ditetapkan sebagai daerah kediaman keluarga tenno (hal 220). Keputusan ini diambil, karena Pulau Sumatera memiliki wilayah yang cukup luas dengan sumber laut dan hasil alam yang kaya serta cuaca yang bagus. hal ini didukung dengan jumlah penduduk Pulau Sumatera yang relatif masih sedikit dibandingkan dengan Pulau Jawa. Secara georafis, Pulau Sumatera dengan posisi di Selat Malaka sangat strategis dalam sistem pertahanan antara Asia Timur dan Jepang dengan Eropa.  Lebih lanjut, keputusan ini didukung dengan dipisahkannya urusan Sumatera dan Jawa. Artinya, Pulau Sumatera dipisahkan secara khusus dari pulau-pulau lain di Hindia Belanda dan akan dijadikan daerah kuasa langsung dari pemerintah pusat Jepang (Hl, 221).


3. Larangan Membentuk Giyugun


    Pembentukan barisan pemuda seperti PETA di Jawa untuk di Sumatera tidak setujui oleh pemerintahan Jepang.  Izin mendirikan barisan pemuda baru disetujui oleh pemerintah Jepang  setelah penyataan bahwa, barisan pemuda dibentuk untuk menjaga kampung tanpa harus menyusahkan tentara Jepang. Alibi ini akhirnya melahirkan istilah Giyugun untuk menyebut kelompok perjuanganpemuda di Minangkabau.

  Istilah Giyugun berarti "kumpulan yang terikat atau saling mempunyai ikatan di antara kawan-kawan" (hal 197). Penggunaan istilah dalam bahasa Jepang ini berkaitan dengan rencana Jepang menjadikan Sumatera tetap berada di bawah kontrol militer Jepang. Berbeda dengan Jawa yang jika sudah siap akan diberikan kemerdekaan (hal 197). Hal ini menjelaskan, bahwa Giyugun berbeda dengan PETA di Jawa (hal. 197). Dengan demikian, Jepang tidak ingin ada kekuatan militer di Sumatera yang dapat berdiri sendiri.


4.Dilarang menyebut kata "Dokuritsu" di Sumatera.


Hal yang sangat dilarang di Sumatera adalah menyebut kata "Dokuritsu" yang berarti "merdeka". Sukamoto menyebutkan, bahwa kelompok tentara yang telah dididik dan dilatih sebelum dikirim ke Sumatera diperingatkan supaya tidak pernah menyebut kata " Kemerdekaan". Hal ini, menjadi bukti bahwa Jepang tidak akan pernah membiarkan Sumatera Merdeka.


5.Rencana membentuk Pemerintahan Boneka di Sumatera.


    Setelah Tokyo hancur dibom Sekutu, Madjid Usman diundang oleh Taesei-Yokusankai ke dalam sebuah pertemuan yang meminta Madjid Usman bersedia menjadi " Perwakilan Sementara Indonesia" atau memimpin pemerintahan "boneka"  Jepang di Sumatera (hal. 222). Ini menyiratkan rencana Jepang yang paling spektakuler, yakni memindahkan istana Tenno ke Bukittinggi. Rencana ini didukung dengan pembuatan terowongan perlindungan yang hanya ada di Bukittinggi yang terkenal dengan nama Lubang Jepang. Terowongan ini disiapkan untuk menjadi pendukung kekuasaan Jepang dan penyokong keamanan serta tempat tinggal masa depan keluarga Tenno di Bukittinggi (hal 223). 

Setelah sempat "tertahan" di Jepang selama lebih kurang 7 tahun, Abdoel Madjid Usman -Hiroko kembali ke Indonesia pada 1950 menjelang perayaan Hut ke 5 kemerdekaan Indonesia. Di Indonesia Madjid  menerbitkan surat kabar "Perantaraan Kita" untuk mendukung Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan upayanya untuk menjadi calon anggota parlemen. Sayangnya, perjuangannya untuk Indonesia terhenti dengan berpulangnya Madjid Usman secara mendadak di rumahnya di Jakarta pada 25 Mei 1955, tepat dihari ulang tahunnya yang ke -48. Kepergian yang menimbulkan duka mendalam bagi Hiroko dan anak-anaknya. Duka yang mengantarkan Hiroko kembali ke Jepang dan hidup terpisah dengan anak-anaknya.

 

Di Jepang, Hiroko berjuang mencari nafkah unuk menghidupi anak-anaknya dengan menjadi guru Bahasa Indonesia di Deplu Jepang, menjadi Juru Bahasa buat pemain badminton terkenal Ferry Sonnevile dan Maulwi Saelan, bekerja di kedutaan Amerika di Tokyo sebagi pengurus para pegawai perempuan Indonesia yang datang  ke Tokyo dengan beasiswa ke Amerika dan terlibat langsung dengan proyek kerjasama Jepang- Indonesia. 


Menjelang usia ke 100 tahun, memoar ini disusun dengan bantuan banyak orang hingga diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada akhir 2017. Buku ini benar-benar berisi kisah perjuangan untuk Kemerdekaan Indonesia dan mengungkap nformasi sejarah yang selama belum tercatat dalam buku sejarah yang telah ada. Membaca buku ini akan menambah pengetahuan akan penjajahan Jepang di Indonesia, Sumatera - Minangkabau- khususnya. 



Salam Pariwisata, Salam Budaya, Salam Literasi...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar