Rabu, 28 Maret 2018

BAGURAU SALUANG JO DENDANG ; TRADISI UNTUK PARIWISATA

Foto wikipedia.org


Foto dari wikipedia.org

“Bagurau Saluang jo Dendang
Tradisi Minangkabau Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat Dan Pariwisata 

 
Minangkabau merupakan wilayah budaya yang kaya dengan tradisi. Tradisi budaya Minangkabau ini tumbuh dan berkembang sebagai tradisi budaya rakyat, yang berakar pada sistem kekerabatan Minangkabau yang bersifat matrilinial. Tradisi budaya ini sekaligus mencerminkan dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau, sesuai dengan falsafah adatnya Alam Takambang Jadi Guru, sakali aie gadang, sakali tapian barubah. Dinamika perkembangan tradisi budaya Minangkabau, semenjak akhir tahun 60 an terjadi begitu cepat. Banyak perubahan dan pergeseran yang cukup penting terjadi dalam kehidupan orang Minangkabau. Salah satu perkembangan yang menarik adalah perkembangan dalam kehidupan seni pertunjukannya, terutama pertunjukan bagurau saluang dan dendang, yang bergeser hingga kini memberikan ruang untuk kaum perempuan tampil sebagai pelaku utama dalam kegiatan budaya tradisi tersebut .

 Bagurau saluang jo dendang, merupakan salah satu seni tradisi pertunjukan yang penting di Minangkabau, dan tradisi ini telah tumbuh sejak lama, dan telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang menarik. Secara sederhana dapat dijelaskan, bentuk tradisi bagurau saluang jo dendang, adalah sebuah pertunjukan musikal dengan menggunakan alat tiup bambu (saluang) sebagai instrumen pengiring, dan nyanyian (dendang) sebagai media menyampaikan pesan-pesan dalam bentun pantun.

Melalui tradisi pertunjukan bagurau saluang jo dendang, kita akan menemukan berbagai aspek budaya Minangkabau yang spesifik, seperti tradisi lisan sebagai refleksi dari budaya lisan orang Minangkabau dan hubungan sosial dan tradisi budaya Minangkabau yang menopangnya. Berdasarkan hal tersebut, kesenian Bagurau Saluang jo Dendang , dapat dikaji untuk melihat nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau.

Pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang juga dipengaruhi oleh pertunjukan randai.Ba-randai di Minangkabau, merupakan hasil kebiasaan masyarakat untuk melakukan dialog dengan menggunakan bahasa ibarat, pantun, kiasan dan pepatah-petitih.  Kebiasaan ini menyebabkan masyarakat mudah berintekrasi dalam pertunjukan Bagurau Saluang jo Dengang, sebab syair-syair yang didendangkan merupakan pantun-pantun yang penuh ibarat, kiasan dan pepatah-petitih. Dengan demikian, istilah bagurau ataupun barandai dalam tradisi budaya masyarakat Minangkabau, merupakan suatu tradisi keseharian atau merupakan suatu konsep sosial yang hidup dalam diri orang Minangkabau.

Dalam  pertunjukan bagurau saluang dan dendang seluruh senimannya bermain sambil duduk, dengan membentuk pola setengah lingkaran. Kalau mereka mengadakan pertunjukan di atas panggung, sejauh masih ada tempat, penontonnya juga boleh ikut duduk di atas panggung. Kalau bermain di dalam rumah, semua orang akan duduk bersama, dan biasanya akan mengelilingi para seniman pertunjukan bagurau saluang dan dendang ini. Namun ada juga pertunjukan bagurau saluang dan dendang yang dilakukan sambil berjalan untuk mengiringi prosesi upacara perkawinan. Para seniman saluang ini diminta untuk mengiringi mempelai sambil meniup saluang dan berdendang. Namun bentuk pertunjukan ini sangat jarang terjadi, dan hanya ada di dua atau tiga tempat di Sumatra Barat.

Pertunjukan bagurau saluang dan dendang sebagaimana lazimnya kesenian rakyat, bentukya sederhana, dan tidak menuntut persyaratan-persyaratan artistik pemanggungan yang rumit. Pada dasarnya pertunjukan bagurau saluang dan dendang ini bisa dimainkan di mana saja, dan yang lebih diutamakan adalah bentuk pertunjukan yang dapat akrab (dialogis) dengan penontonnya. Ditampilkan dalam suatu kelompok, dan minimal anggotanya tiga orang, dengan satu orang peniup saluang dan dua orang pendendang. Lagu-lagu yang dimainkan ratusan banyaknya, namun dalam tradisi bagurau kita bisa melihat bahwa lagu pertama dan lagu terakhir selalu “hampir” sama.  Lagu Pertama yang didendangkan adalah Lagu Singgalang dan lagu terakhir adalah lagu jalu-jalu. Lagu ini yang memiliki puluhan judul, akan dinyanyikan sebagai lagu pembuka, yang isi pantunyanya sebagai berikut: 

Lagu Pembukaan

SINGGALANG  

Cupak panuah gantang balanjuang
Ka cupak urang ka tigo luhak
Jatuah ka Alam Minangkabau
Hanyo sambah salam dianjuang
Rila jo maaf kami mintak
Ukua jo jangko kok talampau


Baringin di Pakan Akaik
Di laman kantua nagari
Dek yakin awak baniak
Bagurau juo samalam kini

Setelah lagu ini dinyanyikan, biasanya penonton akan memintak lagu kesukaannya, dan jika belum ada permintaan, maka tukang dendang akan memilih sendiri lagu yang akan mereka nyanyikan. Mulai dari lagu-lagu yang bernada gembira dan menghibur, sampai dengan lagu-lagu yang bernada sedih dengan pantun-pantun yang penuh dengan ratapan. Namun pada akhirnya, sesaat sebelum pertunjukan bagurau saluang dan dendang berakhir, lagu terakhir yang akan dinyanyikan adalah lagu penutup yang disebut dengan Jalu-jalu, yang isi syairnya seperti di bawah ini.


Lagu Penutup

JALU-JALU

Pukua ampek dek lah datang
Jalau-jalu sobaik iko sajo
Awak baniyaik marantang panjang
Tuan baniyaik mangusuiknyo


 Batu merah ambiak panembok
Panembok sumua tampek mandi
Barila-rila mangko ka elok
Ibraik urang bajua bali


Mandaki kito mandaki
Nan kalua ka jalan gadang
Gurau di siko dulu
Di lain hari nak kito ulang


Setelah lagu Jalu-jalu selesai didendangkan, maka secara otomatis pagurau (pacandu gurau) akan membubarkan diri.

Selain itu, pertunjukan Bagurau saluang jo dengang memberikan tempat untuk semua generasi. Pada paro malam pertama yakni antara pukul 21.00 sampai dengan pukul 24.00, biasanya jenis lagu-lagu yang dimainkan atau yang dimintak penonton adalah lagu-lagu yang gembira, menghibur dan pantun yang dinyanyikan pantun muda . Sedangkan paro malam kedua yakni sekitar pukul 24.00 hingga dengan pukul 04.00, lagu-lagu yang ditampilkan adalah jenis lagu ratapan yang disebut lagu ratok. 

Nada-nada yang dihasilkan pertunjukan Bagurau saluang dan dendang memang terdengar seperti meratap, dan lagu-lagu inilah yang dianggap sebagai lagu klasik (tradisi) dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang. Biasanya penonton yang hadir pada paroh malam kedua ini, adalah penonton yang sudah berumur relatif tua dan merupakan penonton yang serius, yang disebut dengan pencandu gurau.


Dalam pertunjukan bagurau saluang jo dendang, ada satu lagi figur yang sangat penting selain dari tukang saluang dan tukang dendang, yakni Janang. Janang berfungsi sebagai orang yang akan mengatur irama pertunjukan, sehingga bisa berjalan dengan semarak dan hidup. Seorang Janang yang bagus akan dapat menghimpun dana masyarakat yang lebih besar melalui sumbangan yang diberikan penonton. 

Tugas utama seorang Janang adalah memilih dan membacakan kertas-kertas pesanan lagu yang dibuat oleh penonton. Selain menyebutkan apa lagu yang diminta, siapa yang meminta, Janang juga biasanya membacakan jumlah sumbangan yang diberikan. Tidak jarang dari kertas-kertas pesanan, yang sebelumnya dibagikan panitia pelaksana pada penonton, selain menuliskan nama lagu juga ada pantun-pantun, yang ditujukan pada kelompok tertentu yang hadir dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang tersebut. Kadang-kadang Janang juga memberikan tambahan dengan maksud agar pertunjukan berjalan dengan dinamis.

Selain untuk melihat nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau, pertunjukan bagurau saluang jo dendang memiliki beberapa fungsi, yakni: (1) forum dialog estetis; (2) sarana komunikasi; (3) fungsi ekspresi emosi; (4) sarana pengintegrasian masyarakat; (5) sarana kesinambungan kebudayaan; (6) fungsi ekonomi; (7) pembelajaran budaya; dan (8) sarana memunculkan konflik.

Berdasarkan fungsi tersebut (Fungsi ekonomi), Pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang berfungsi untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat.  Pelestarian sejalan dengan upaya meningkatkan kesejateraan masyarakat, sesuai dengan tujuan pengembangan pariwisata nasional, yakni pengembangan/pembangunan kepariwisataan bertumpu pada keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya  dengan tidak mengabaikan kebutuhan masa yang akan datang, sehingga diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi yang memberi manfaat meningkatkan kesejateraan masyarakat (Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No. 14 tahun 2016).

Pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang dalam menunjang Pariwisata berada pada posisi menjadi “maknet” untuk memikat wisatawan. Artinya, keunikan pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang dapat dijual kepada wisatawan dalam paket wisata. Wisatawan yang datang untuk menghadiri- sekedar menonton atau terlibat sebagai pagurau- akan memberikan umpan balik ekonomi bagi masyarakat, yakni pemasukan. Pemasukan ekonomi tentunya tidak hanya akan diterima oleh pelaku pertunjukan, namun juga akan memberi dampak ekonomi bagi banyak pihak.
  Bagian pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang yang mengambarkan secara jelas fungsi ekonomi adalah pemesanan pantun. Dalam pertunjukan Bagurau Saluang jo dendang, pantun yang pesan oleh Pacandu Gurau (Pagurau) baru akan dinyanyikan tukang dendang jika Pacandu Gurau telah mengeluarkan uang yang sesuai[1].  

Fungsi ekonomi pertunjukan Bagurau Saluang Jo Dendang juga dapat dilihat dari pertunjukan Bagurau saluang jo dendang yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan keuangan nagari, seperti untuk memperbaiki jalan, membangun mushalla dan mesjid, memperbaiki sarana olahraga, serta memelihara maupun membangun fasiltas publik lainnya.  


Salam....



[1] Nilai uang tidak ditetapkan, namun yang membayar lebih mahal maka pantunnya yang lebih dahulu dinyanyikan.


  .  






Selasa, 27 Maret 2018

SUMATORA TYO HOZOKYOKU = EDUKASI DAN/ATAU PARIWISATA=

Sumatora Tyo Hozokyoku (Dokentasi Isma D Yanti)

Sumatora Tyo Hozokyoku (RRI Bukittinggi) memiliki peranan penting dalam perjuangan  meraih dan  mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Radio merupakan satu-satunya media informasi pada zaman penjajahan, baik penjajahan Belanda, Jepang, maupun konfrontasi SEKUTU. 

Saat ini, bangunan RRI Bukittinggi tersebut dijadikan Studio Budaya dan Museum.Idealnya, Museum yang berada di depan RSAM Kota Bukittinggi dapat menjadi pilihan saat berkunjung ke Kota Jam Gadang ini. Melihat, mengamati, dan akhirnya menemukan nilai perjuangan tanpa mengenal rasa takut di sini.

Museum ditata apik dan bersih, hingga layak untuk dikunjungi.



Prof.Dr. Abdulrachman Saleh adalah orang yang menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. 


Foto-foto Tokoh RRI dan Pimpinan LPP RRI (Dokumentasi Isma D Yanti)

Di Museum RRI ini, kita akan melihat alat-alat komunikasi (alat siar) yang digunakan pada zaman Belanda, Jepang, SEKUTU.


Studi Operator Dokumentasi Isma
Studio Penyiaran, Dokumentasi Isma
Audio Tape Reel Recorder (Dokumentasi Isma)

Piring Hitam (Dokumentasi Isma)
Piring Hitam (dokumentasi Isma)
Dokumentasi Isma
Dokumentasi Isma
Dokumentasi Isma
Dokumentasi Isma
Dokumentasi Isma
Dokumentasi Isma

Dokumentasi Isma

Dokumentasi Isma

Selain berfungsi sebagai museum penyiaran, gedung ini juga menjadi tempat pertunjukan Bagurau Saluang jo dendang yang digagas oleh RRI setiap bulannya.


Berwisata sambil belajar atau belajar sambil berwisata. Keduanya akan mengajarkan kita arti perjuangan, keindahan, penghargaan, dan optimisme dalam berbuat sebaik mungkin di bidang masing-masing. Tak ada rasa iri dalam berjuang, karna setiap kita memiliki peranan masing-masing. 


Salam Pariwisata!!!


Salam Budaya!!!


Ayo Liburan ke Bukittinggi.


Senin, 19 Maret 2018

IPAR JEPANG; UNGKAP SEJARAH YANG "TERSURUK"



Membaca buku ini mengantarkan kita pada Informasi Sejarah tentang Keistimewaan Kota Bukittinggi bagi Pemerintah Jepang. Mengejutkan bahwa Jepang telah merencanakan sesuatu yang sangat "BESAR dan LUAR BIASA" untuk Kota Bukittinggi. 


Salmyah Madjid Usman dan Hasril Chaniago (Eds.).Memoar Siti Aminah Madjid Usman – Hiroko Osada: Kisah Hidup dan Perjuangan Seorang Putri Bangsawan Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017, xxiv + 382 hlm, ISBN 978-979-461-904-9.


   Buku ini adalah sebuah dokumen tentang sejarah pendudukan Jepang di Indonesia- Sumatera Barat dan Kota Bukittinggi. Hiroko Osada - Siti Aminah Madjid Usman-,adalah sang pemilik kisah dan salah satu tokoh sentral dalam buku ini dan seorang saksi mata ("pelaku sejarah") penjajahan Jepang di Indonesia- Sumatera Barat- Kota Bukittinggi yang masih hidup. Beliau selamat dari keganasan penjajahan Jepang dan saat ini tinggal di Jepang dalam usia 104 tahun. 

   Zaman pendudukan Jepang yang cukup singkat di Indonesia (Januari 1942-Agustus 1945) meninggalkan luka mendalam bagi bangsa ini. Waktu (3,5 tahun) yang singkat namun dianggap sama dengan penjajahan Belanda yang 3,5 abad. Hal ini di dasari dengan fakta sejarah, bahwa Ekploitasi Jepang pada Bangsa Indonesia telah menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi mansyarakat Indonesia. Jepang berusaha mengubah kehidupan sosial bangsa Indonesia secara radikal dan menguras hasil alamnya untuk kepentingan Jepang semata. 

Putri keluarga Samurai

Hiroko Osada, yang lahir pada 4 Oktober 1914, adalah anak perempuan dari keluarga bangsawan Samurai Kai-Genji yang memiliki tanah luas di kota Kofu, Frefektur Yamanashi, sekitar 100 km di barat Tokyo. Ayahnya, Akira Osada (1876-1957) yang menikah dengan ibunya, Fujiimi, termasuk Togaku Nōzeisha (keluarga Samurai pembayar pajak terbesar yang dihormati) yang sangat terpelajar dan bersahabat dengan para petinggi militer Jepang seperti Admiral Togo, pahlawan kemenangan Peran Jepang-Rusia 1904-1905.



Hiroko berjumpa dengan Abdoel Madjid Usman, seorang pemuda Minangkabau yang pertama belajar ke Jepang. Madjid mulai kuliah di Universitas Meiji Tokyo pada awal Januari 1933 dan Hiroko belajar di Nihon Yoshidaigaku (Japan Womens University) di kota yang sama. Perjumpaan yang sering terjadi dan kesamaan pandangan hidup untuk mengabdikan diri menjadi pekerja sosial menumbuhkan rasa saling cinta di hati keduanya yang kemudian membawa mereka ke pelaminan.  Pernikahan ini dianggap tabu oleh masyarakat Jepang, karena orang Indonesia dianggap dojin: “pribumi kulit berwarna dari negeri terjajah di Asia yang dianggap rendah” (h.59). Perkawinan itu membawa Hiroko ke Indonesia hidup d8alam suasana yang cukup memprihatinkan. Sesampai di Padang, pernikahan mereka diresmikan secara adat Minangkabau dan Hiroko mendapat nama Minangkabau ‘Siti Aminah’. Dari pernikahan ini, pasangan Madjid Usman - Hiroko dikaruniai 4 orang anak, yakni  Harun El Rasyid Madjid Usman, Salmyah Madjid Usman, Phirman Madjid Usman dan Dahlia Madjid Usman.


Mengungkap fakta sejarah yang selama tak diketahui


Buku ini banyak mengungkap fakta sejarah yang selama ini belum pernah terungkap dalam kajian-kajian sejarah tentang penjajahan Jepang di Indonesia. Fakta terbesarnya adalah rencana Jepang menjadikan Pulau Sumatra sebagai “wilayah kekuasaan Jepang untuk selamanya dan Kota Bukittinggi akan dijadikan sebagai tempat tinggal Tenno (Kaisar Jepang)” (h.219). Dugaan ini dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan  para petinggi pemerintah pendudukan Jepang serta peristiwa-peristiwa yang terjadi selama pemerintahan Jepang.

 
1.Pertukaran Abdoel Madjid Usman dan Soekarno.


   Izin kepulangan Madjid Usman ke Sumatera baru diperoleh jika Gun 25 di Singapura bersedia memulangkan Soekarno ke Jawa. Pertukaran ini dianggap penting oleh Jepang, karena mereka diharapkan dapat memimpin masyarakat di daerah masing-masing bagi kepentingan Jepang.


2. Kujungan Marquis Tokugawa ke Minangkabau.


 Marquis melakukan kunjungan sebanyak dua kali ke Minangkabau sampi ke kampung-kampung pedalaman Minangkabau (darek). Kunjungan ini  diduga bertujuan untuk mencari  lokasi "kediaman" yang pantas bagi keluarga Tenno (kaisar jepang). Dalam kunjungan ini, Bukittinggi ditetapkan sebagai daerah kediaman keluarga tenno (hal 220). Keputusan ini diambil, karena Pulau Sumatera memiliki wilayah yang cukup luas dengan sumber laut dan hasil alam yang kaya serta cuaca yang bagus. hal ini didukung dengan jumlah penduduk Pulau Sumatera yang relatif masih sedikit dibandingkan dengan Pulau Jawa. Secara georafis, Pulau Sumatera dengan posisi di Selat Malaka sangat strategis dalam sistem pertahanan antara Asia Timur dan Jepang dengan Eropa.  Lebih lanjut, keputusan ini didukung dengan dipisahkannya urusan Sumatera dan Jawa. Artinya, Pulau Sumatera dipisahkan secara khusus dari pulau-pulau lain di Hindia Belanda dan akan dijadikan daerah kuasa langsung dari pemerintah pusat Jepang (Hl, 221).


3. Larangan Membentuk Giyugun


    Pembentukan barisan pemuda seperti PETA di Jawa untuk di Sumatera tidak setujui oleh pemerintahan Jepang.  Izin mendirikan barisan pemuda baru disetujui oleh pemerintah Jepang  setelah penyataan bahwa, barisan pemuda dibentuk untuk menjaga kampung tanpa harus menyusahkan tentara Jepang. Alibi ini akhirnya melahirkan istilah Giyugun untuk menyebut kelompok perjuanganpemuda di Minangkabau.

  Istilah Giyugun berarti "kumpulan yang terikat atau saling mempunyai ikatan di antara kawan-kawan" (hal 197). Penggunaan istilah dalam bahasa Jepang ini berkaitan dengan rencana Jepang menjadikan Sumatera tetap berada di bawah kontrol militer Jepang. Berbeda dengan Jawa yang jika sudah siap akan diberikan kemerdekaan (hal 197). Hal ini menjelaskan, bahwa Giyugun berbeda dengan PETA di Jawa (hal. 197). Dengan demikian, Jepang tidak ingin ada kekuatan militer di Sumatera yang dapat berdiri sendiri.


4.Dilarang menyebut kata "Dokuritsu" di Sumatera.


Hal yang sangat dilarang di Sumatera adalah menyebut kata "Dokuritsu" yang berarti "merdeka". Sukamoto menyebutkan, bahwa kelompok tentara yang telah dididik dan dilatih sebelum dikirim ke Sumatera diperingatkan supaya tidak pernah menyebut kata " Kemerdekaan". Hal ini, menjadi bukti bahwa Jepang tidak akan pernah membiarkan Sumatera Merdeka.


5.Rencana membentuk Pemerintahan Boneka di Sumatera.


    Setelah Tokyo hancur dibom Sekutu, Madjid Usman diundang oleh Taesei-Yokusankai ke dalam sebuah pertemuan yang meminta Madjid Usman bersedia menjadi " Perwakilan Sementara Indonesia" atau memimpin pemerintahan "boneka"  Jepang di Sumatera (hal. 222). Ini menyiratkan rencana Jepang yang paling spektakuler, yakni memindahkan istana Tenno ke Bukittinggi. Rencana ini didukung dengan pembuatan terowongan perlindungan yang hanya ada di Bukittinggi yang terkenal dengan nama Lubang Jepang. Terowongan ini disiapkan untuk menjadi pendukung kekuasaan Jepang dan penyokong keamanan serta tempat tinggal masa depan keluarga Tenno di Bukittinggi (hal 223). 

Setelah sempat "tertahan" di Jepang selama lebih kurang 7 tahun, Abdoel Madjid Usman -Hiroko kembali ke Indonesia pada 1950 menjelang perayaan Hut ke 5 kemerdekaan Indonesia. Di Indonesia Madjid  menerbitkan surat kabar "Perantaraan Kita" untuk mendukung Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan upayanya untuk menjadi calon anggota parlemen. Sayangnya, perjuangannya untuk Indonesia terhenti dengan berpulangnya Madjid Usman secara mendadak di rumahnya di Jakarta pada 25 Mei 1955, tepat dihari ulang tahunnya yang ke -48. Kepergian yang menimbulkan duka mendalam bagi Hiroko dan anak-anaknya. Duka yang mengantarkan Hiroko kembali ke Jepang dan hidup terpisah dengan anak-anaknya.

 

Di Jepang, Hiroko berjuang mencari nafkah unuk menghidupi anak-anaknya dengan menjadi guru Bahasa Indonesia di Deplu Jepang, menjadi Juru Bahasa buat pemain badminton terkenal Ferry Sonnevile dan Maulwi Saelan, bekerja di kedutaan Amerika di Tokyo sebagi pengurus para pegawai perempuan Indonesia yang datang  ke Tokyo dengan beasiswa ke Amerika dan terlibat langsung dengan proyek kerjasama Jepang- Indonesia. 


Menjelang usia ke 100 tahun, memoar ini disusun dengan bantuan banyak orang hingga diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada akhir 2017. Buku ini benar-benar berisi kisah perjuangan untuk Kemerdekaan Indonesia dan mengungkap nformasi sejarah yang selama belum tercatat dalam buku sejarah yang telah ada. Membaca buku ini akan menambah pengetahuan akan penjajahan Jepang di Indonesia, Sumatera - Minangkabau- khususnya. 



Salam Pariwisata, Salam Budaya, Salam Literasi...


Jumat, 16 Maret 2018

MONUMEN PAMONG PRAJA DAN SEJARAHNYA UNTUK PARIWISATA KOTA BUKITTINGGI




TAMAN MONUMEN PENDIDIKAN

 KADER PAMONG PRAJA 

KOTA BUKITTINGGI



Dokumentasi Isma Darma Yanti





Dokumentasi Isma Darma Yanti


Melewati taman yang berada di salah satu sisi kota ini, kesan pertamanya adalah INDAH. Berada di kawasan Rumah Sakit Ahcmad Muchtar Kota Bukittinggi, saya berfikir sangat patut ada taman indah di situ. Ketenangannya akan memberikan spirit bagi siapa saja yang melihatnya. Tidak tekecuali pasien, pengunjung, dan keluar pasien

Indahnya taman, menggoda hati ini untuk melangkahkan kaki berjalan menghampiri. Saya baca, Taman Monumen Pendidikan Kader Pamongpraja. Mengesankan!!!! Rasa kagum mengiring fikiran ini dan menghadirkan tanya..Kenapa Monumen Pamongpraja ada di sini??? Kenapa ada di Bukittinggi???

Yup...Kenapa ada di Bukittinggi?? Karna Memang Harus di Bukittinggi!!!!


Semenjak zaman penjajahan Belanda, Jepang, hingga awal kemerdekaan, Kota Bukittinggi selalu memiliki peranan penting. Pada awal revolusi 1945, Kota Padang menjadi ibu kota Sumatera Barat dan pusat perjuangan menghadapi Sekutu dan NICA, namun dengan mendaratnya Sekutu dan Nica, maka Bukittinggi menjelma menjadi Ibu Kota perjuangan Sumatera Barat bahkan kemudian untuk Sumatera Tengah dan Sumatera seluruhnya. Berlanjut dengan dibentuknya Komando Tentara Divisi III maka Bukittinggi juga mejadi markas Komando dari seluruh  tentara di Sumatera Tengah.


Sejarah juga mencatat, bahwa setelah didelegasikannya kekuasaan Pemerintah Pusat oleh P.M Amir kepada Hatta, maka kedudukan Kota Bukittinggi sebagai pusat perjuangan bertambah penting. Hal ini menyebabkan, setelah Yokyakarta, maka Bukittinggi adalah JANTUNG perjuangan negara dan Bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita kemerdekaan. Dengan demikian, Bukittinggi sekaligus menjadi tempat kedudukan Pemerintah Sumatera, Komisaris Negara, dan Komisariat Pemerintah Pusat.


Untuk mendukung perjuangan dan mendapatkan kader-kader pamongpraja yang sejalan dengan kebutuhan revolusi dan dengan menetapnya tokoh-tokoh penting negara seperti Hatta dan beberapa stafnya dan pindahnya Gubernur Sumatera ke Bukittinggi maka diputuskan untuk mendirikan Akademi Pamongpraja berdasarkan surat keputusan Gubernur Sumatera No. 9/U/Pd tanggal 14 Januari 1948 (Ahmad Husein, 1991: 606).


Dengan diresmikannya Akademi Pamongpraja ini, maka Akademi Pamongpraja Bukittinggi menjadi yang PERTAMA di Indonesia.
Para pengajar, antara lain Hatta, Dr. Jamil, Mr.St. M.Rasjid, Mr. Harun al Rasyid, M.r.Rufinus Lumbantobing, M.r.A.Siddik, Mr.A.Latif, Eni Karim, Danubroto, Bermawi St. Rajo Emas, Ahmadin Dt.Babangso, Darwis Dt. Majolelo, Ilyas St. Pamenan, Muchtar Mahjuddin, Karim Rasjid, Haji Muhammad Yunus, Abdullah Sangora, St. Syahrir.

 

Para mahasiswa akademi Pamongpraja ini aktif membantu Pemerintah Sumatera dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 


Di antara alumni Akademi Pamongparaja Bukittinggi yang diberikan ijazah tanggal 30 Juni 1950 oleh Mr. Soesanto Tirtoprojo adalah H.A Chalik, Adlinsyah Jeni, M.A. Hanafiah, Mahmuddin Noor, Dahlan Roos, Makmum Sulaiman, dan Ismail Hassan (Ahmad Husein, 1991: 607).

Dokumentasi Isma Darma Yanti

Taman ini selesai dibangun dipenghujung tahun 2017. Apik, indah menghiasi Kota Bukittinggi. Tentunya, Taman Monumen Akademi Pamongpraja ini akan menjadi salah satu daya tarik kota ini dan memperkuat pariwisata Kota Bukittinggi.

Dokumentasi Isma Darma Yanti

  Menatap, mengunjungi, dan duduk bersantai di taman ini akan sedikit membantu mengurai rasa lelah yang mungkin menggelayut di hati dan badan. Duduk diamlah, picingkan mata sekejap, dan rasakan kuasa dan rahmat Tuhan yang tiada terkira.


Salam Pariwisata, Salam Budaya!!!!


Sumber:
Husein, Ahmad dkk. 1991. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau jilid I. Jakarta: BPSIM.

Kamis, 15 Maret 2018

GEDUNG "PROKLAMASI" BUKITTINGGI

BUKITTINGGI. Menatap, melihat, dan menelusuri sejarahnya membawa kita pada fakta-fakta luar biasa. Satu fakta, bahwa Bukittinggi "tempat" Bangsa Indonesia memproklamsikan kemerdekaan Indonesia. Fakta Sejarah yang tentunya akan memperkuat Bukittinggi sebagai KOTA SEJARAH dan KOTA PARIWISATA.

Gedung Nasional = Gedung DPRD Kota Bukittinggi=

Sekarang menjadi tempat semua inspirasi masyarakat Kota Bukittinggi "dikunyah, digodok" oleh para wakil rakyat untuk mensejaterakan penduduk Kota Bukittinggi. Dulu??? Sejarah mencatat bahwa Gedung ini juga menjadi tempat "Pemakluman Proklamasi" dikumandangkan oleh Muhammad Sjafei. 

(Masmimar Makah; 1990- 40)

Bukittinggi merupakan satu kota yang sangat penting di masa pendudukan Belanda maupun Jepang. Dimasa penjajahan dua bangsa asing tersebut, Bukittinggi selalu memegang peranan penting dalam menjalankan roda pemerintahan. Dimasa awal kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi kembali mencatat posisinya di panggung sejarah bangsa ini. Di kota ini, rakyat menyambut kemerdekaan dengan gembira dan penuh keberanian. Berita proklamasi yang dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jakarta pada 17 Agusus 1945, walau diterima dengan cara "tidak biasa/ berita gelap" cukup membuat masyarakat berani mati untuk mempertahankannya.  

PROKLAMASI

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain2 diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnja.

Djakarta hari 17 boelan 8, th 1945
atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta

Berita proklamasi pertama pada 17 agustus 1945 sore yang sampai ke Bukittinggi merupakan berita di bawah tangan yang tidak terdaftar secara resmi dalam pencatatan kantor Telegrap Bukittinggi. Hal ini terjadi karena Radio Bukittinggi (Sumatora Tyuo Hozokyoku- Gedung Museum RRI sekarang) telah bungkam semenjak tanggal 15 Agustus 1945 (semenjak Jepang bertekuk lutut pada Sekutu). 


Kondisi ini tentunya menimbulkan rasa harap, cemas, khawatir pada masyarakat. Bahagia karna cita kemerdekaan telah datang, takut terhadap sikap tentara Jepang yang masih kaku dan garang. Sikap Jepang yang seolah tidak peduli dengan gaung kemerdekaan yang telah dikumandangkan di Jakarta oleh Soekarno ini menjadi bukti pernyataan yang ditulis Siti Aminah dalam buku Memoar Siti Aminah yakni,  "maupun Jepang menang atau kalah perang dengan Sekutu, Jepang tetap akan menjadikan Pulau Sumatera sebagai wilayah kekuasan Jepang untuk selamanya dan Kota Bukittinggi akan dijadikan sebagai tempat tinggal Tenno (Kaisar Jepang)" (h.219). Jepang tidak akan pernah melepaskan Sumatera dan Bukittinggi selamanya. 


Kenyataan ini juga dapat dilihat dari Surat Kawat yang berisi "Janji" kemerdekaan yang dikumandangkan pemerintah Jepang. Namun, di dalam surat kawat tersebut tertulis, bahwa janji kemerdekaan hanya akan diberikan pada "Hindia Timur"(Indonesia bagian Timur), tidak termasuk pulau Sumatera terutama Bukittinggi. 


Menanggapi kondisi ini, pemuda melakukan aksi-aksi massa yang bernama " Gerakan Merah Putih". Aksi massa ini merupakan bentuk perjuangan dan desakan kepada pemimpin-pemimpin perjuangan yang berada di Sumatera, terutama kepada Ketua Tyou Sangi in (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di Sumatera, M. Syafei dan Adi Negoro. Aksi Masa dalam wadah organisasi BPPI (Balai Penerangan Pemuda Indonesia), BKR (Badan Keamanan Rakyat) mendesak M. Syafei menjadi Residen Sumatera Barat dan mengawal kemerdekaan Indonesia di Sumatera. 

Menanggapi hal ini, tanggal 29 Agustus 1945, Mohd. Sjafei, Adi Negoro mengadakan pertemuan dengan beberapa pimpinan rakyat di rumah Dr. Rasjidin di Padang Panjang. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk MEMPROKLAMASIKAN kemerdekaan Indonesia di Sumatera.

PROKLAMASI di Bukittinggi adalah "PERMAKLUMAN/ PERNYATAAN bangsa Indonesia di Sumatera yang mendukung dan menguatkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan Soekarno- Hatta.


PERMAKLOEMAN 
KEMERDEKAAN INDONESIA


Mengikoeti dan Mengoeatkan pernjataan Kemerdekaan Indonesia oleh Bangsa Indonesia seperti PROKLAMASI pemimpin2 besar kita Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia, seperti berikoet:


PROKLAMASI

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain2 diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnja.

Djakarta hari 17 boelan 8, th 1945
atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta

Maka kami bangsa Indonesia di Soematatera dengan ini mengakoei Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksoed dalam Proklamasi diatas dan mendjoendjoeng keagoengan kedoea pemimpin Indonesia itoe.


Bukittinggi hari 29 bl.8 th.1945
Atas nama Bangsa Indonesia
di Soematra
Moehammad Sjafei

Moehammad Sjafei


Selebaran Pemakluman kemerdekaan ini dicetak dengan tinta merah di atas kertas putih dan disebarkan serta ditempelkan di tempat-tempat umum untuk menambah keyakinan rakyat Sumatera akan Kemerdekaan dan mendukung proklamasi yang telah diumumkan.

Pemakluman kemerdekaan ini dikumandangkan oleh Moehammad Sjafei dihadapan masyarakat di depan Gedung Nasional (Kantor DPRD sekarang) (wawancara dengan Syofyan Udni, 5 Maret 2018)dan diumumkan dalam rapat umum bertempat di Geduang Bioskop Asia-Pasar Atas- Bukittinggi yang kala itu bernama Tsisjokan ("Bioskop Gloria yang saat ini dijadikan gedung parkir di Kota Bukittinggi) oleh Adi Negoro. Acara ini dihadiri oleh Dr.A.Rivai dan Mara Karma serta disaksikan oleh masyarakat yang datang berduyun-untuk menyaksikan "peristiwa bersejarah" ini.


Catatan sejarah ini memperkuat status Bukittinggi sebagai Kota Sejarah. Satu peristiwa sejarah ini membuktikan peranan penting Bukittinggi di Panggung Sejarah Bangsa Indonesia. Bukittinggi adalah satu dari dua Kota di Indonesia (selain Yokyakarta) yang berdiri kuat menyokong kedaulatan Indonesia pada awal kemerdekaan. 


Salam Pariwisata, Salam Budaya!!!


Sumber:


Chaniago, Hasril dan Salmyah Madjid Usman. 2017. Memoar Siti Aminah Masdjid Usman-Hiroko Osada. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Enar, fatimah dkk. Sumatera Barat 1945-1949. Padang: Pemerintah Sumatera Barat.

Husein, Ahmad dkk. 1991. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 jilid 1. Jakarta: BPSIM.

Makah, Masmimar dkk. 1990. Pemuda dan Proklamasi "Gerakan Pemuda Merealisasi Proklamasi dan Mewujudkan Pemerintah RI di Bukittinggi-Sumatera. Jakarta: Panitia Penulisan Sejarah Pemuda Pelopor Pejuang Prolamasi. 

Poeloengan, AR dkk. Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara (1945-1949)jilid 1. Sumatera Utara: Pemprov Sumatera Utara.

Drs. Syofyan Udni Dt. Lelo Basa
Syarifuddin Djas, SH

Senin, 05 Maret 2018

"RUMAH TUO" PDRI UNTUK PARIWISATA KOTA BUKITTINGGI

Dokumentasi Isma D Yanti


Siapa yang mengira?? Siapa yang menyangka??? Sebuah "Rumah Tuo" di tengah Kota Bukittinggi yang menanti "Hancurnya", lebur, hilang membawa fakta sejarah bersamanya adalah sebuah RUMAH yang memiliki PERANAN PENTING dalam menjaga KEDAULATAN Indonesia.


Melewati hampir setiap waktu. Melengah karna rupa "buruknya" atau karna tidak tau ceritanya. 


"Rumah Tuo" di penurunan Parak Kopi Kota Bukittinggi adalah SAKSI BISU perjuangan Bangsa ini untuk benar-benar MERDEKA. 


Inilah yang telah "terlupakan".


Inilah salah satu "MUTIARA" untuk PARIWISATA Kota Bukittinggi.


Cerita ini berkaitan dengan sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonsia (PDRI) 19 Desember 1948-13 Juli 1949.


Setelah Jepang kalah perang dengan SEKUTU pada 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Segala keperluan untuk menyokong pemerintahan yang berdaulat dirancang oleh PPKI. Diantaranya, menetapkan Soekarno- Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, pembentukan Komite Nasional Indonesia ( KNI ), dan Badan Keamanan Rakyat ( BKR ).

 

Sayangnya, walaupun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, SEKUTU (membonceng Belanda) bersikukuh untuk tetap menjajah Indonesia dengan dalih "Pemulihan Keamanan". Tindakan Belanda ini ditentang oleh masyarakat Indonesia. Penentangan ini berwujud perang dengan taktik gerilya dan perundingan - diplomasi. 


Penjajah tetap penjajah. Seperti sebelum-sebelumnya, Belanda selalu mengkhianati perjanjian yang telah disepakai. Puncaknya dengan Agresi Militer Belanda ke II yang menaklukkan Yokyakarta (Pusat pemerintahan). Dalam Agresi ini, Belanda menawan Soekarno-Hatta. 


Untuk tetap menjaga kedaulatan Indonesia, Soekarno mengeluarkan mandat agar Syafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat dengan Bukittinggi sebagai Ibu Kota. 


Menindaklanjuti mandat ini, Syafrudin Prawiranegara, pukul 09.00 pagi tanggal 19 Desember 1948 bersama Tengku Mohammad Hasan melakukan perundingan (bertempat di Istana Bung Hatta sekarang). Perundingan dilanjutkan sore hari pukul 18.00 sore di Sebuah rumah di Parak Kopi karna lokasi perundingan sebelumnya telah diintai pihak Belanda.


Rumah yang menjadi Tempat Perundingan hingga terbentuknya PDRI= Rumah Milik Tengku Moh. Hasan
 (Dokumentasi Isma D Yanti

Hasil Perundingan ini, terbentuknya PDRI dengan ketua Syafruddin Prawiranegara, dan wakil ketua Tengku Moh. Hasan. Tanggal 22 Desember 1948 jam 4.30 di Halaban Payakumbuh diumumkan terbentuknya PDRI lengkap dengan susunan kabinetnya. Dengan demikian roda pemerintahan tetap berjalan, Indonesia tetap berdaulat.


Menyikapi ini, Belanda semakin gencar berupaya melumpuhkan dan menguasai berabagai sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh pihak Indonesia melakuan perjuangan. Salah satunya, dengan mem-BOM Pemancar Radio (saat itu berada di gedung SMP 2 sekarang). Tindakan ini dilakukan Belanda untuk memblokir Indonesia, menutup informasi kondisi Indonesia dari dunia luar, memutus mata rantai antara pejuang di Bukittinggi dengan tokoh-tokoh Pejuang di luar Bukittinggi.


Hancurnya pemacar radio, tentunya akan membuat perjuangan akan terganggu. Para pejuang di Bukittinggi mengalami kesulitan menerima informsi dari luar maupun memberi informasi ke luar. Mensiasati kondisi ini, untuk mensuarakan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, Indonesia masih berdaulat, pejuang di Bukittinggi menjadikan "Rumah Tuo" di Parak Kopi ini sebagi tempat penyiaran. Dengan adanya penyiaran ini, dunia tahu kalau Indonesia masih ada, Indonesia Berdaulat. 


Penyiaran ini memberi dampak besar bagi Indonesia. Berawal dengan adanya perjanjian Roem - Royen (1949)- hingga Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda dari 23 Agustus - 2 November 1949. Pada KMB pihak yang hadir adalah pihak Indonesia (diwakili Hatta) - Pihak Belanda - BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) yang mewakili beberapa negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Konfrensi ini berhasil membuka "mata dunia" bahwa Indonesia ADA, BERDAULAT dan berakhir dengan setujunya Belanda untuk menyerahkan KEDAULTAN kepada Republik Indonesia Serikat. 


Pada tanggal 27 Desember 1949, pada kedua negara, Indonesia dan negeri Belanda dilaksanakan upacara penandatanganan akta penyerahan kedaulatan.


Intinya adalah:


Pentingnya peran "Rumah Tuo" ini dalam mempertahakan Kedaulatan Republik Indonesia dan Mencapai Kemerdekaan Indonesia Mutlak. 

Di "Rumah Tuo" ini PDRI terbentuk dan di "Rumah Tuo" ini penyiaran radio dilakukan hingga Dunia mengatahui bahwa Indonesia ADA, Indonesia TIDAK RUNTUH, Indonesia Berdaulat.

"PENYELAMATAN" salah satu bangunan bersejarah yang berada di Kota Bukittinggi ini adalah langkah yang "Hatus" dilakukan. Penyelamatan memang tidak mudah dan tidak murah namun, langkah ini akan memperkokoh Kota Bukittinggi sebagai Kota Tua, Kota Sejarah, Kota Pendidikan, dan Kota Pariwisata. Bukti sejarah ini, akan MEMPERKUAT PARIWISATA Kota Bukittinggi dan akan menjadi MAKNET baru bagi PARIWISATA Bukittinggi.


Salam ...

@ TIM PENCINTA PARIWISATA KOTA BUKITTINGGI

Penulis: Isma Darma Yanti


Sumber:

  • Kahin, George McTurnan (1952) Nationalism and Revolution in Indonesia Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8
  • Ricklefs (1982), A History of Modern Indonesia, Macmillan Southeast Asian reprint, ISBN 0-333-24380-3
  • Simanjuntak, P. N. H. (2003) (in Indonesian), Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi, Jakarta: Djambatan, pp. 73–83, ISBN 979-428-499-8
  • Wawancara dengan Drs. Syofyan Udni Dt. Lelo Basa ( Ketua Legiun Veteran Kota Bukittinggi, Sekretaris Veteran Sumatera Barat; Sekretaris Yayasan Pembela Tanah Air (PETA) Indonesia.
  • Wawancara dengan  Syarifuddin Djas, SH 

Kondisi " Rumah Tuo" saat ini.

Dokumentasi Isma D Yanti

Dokumentasi Isma D Yanti

Berkesempatan memfoto Narasumber (Inyiak Drs. Syofyan Udni Dt. Lelo Basa dan Bapak Syarifuddin Djas, SH). Dokumentasi Isma D Yanti