Selasa, 05 Mei 2020

TUGU PDRI EKSISTENSI PEMERINTAHAN KECAMATAN MILITER ISTIMEWA KURAI/ KOTA BUKITTINGGI PDRI



Tugu PDRI Kota Bukittinggi
Eksistensi
Pemerintahan Kecamatan Militer Istimewa Kurai/ Kota Bukittinggi PDRI 
(15 Januari 1949 - 21 Februari1950)

Tugu PDRI di bangun pada tahun 1949 atas inisiatif Camat Militer Bilal Dtk. Madjo Indo dan Pemuka-Pemuka Kurai. Pembangunan Tugu PDRI ini bertujuan untuk menunjukan eksistensi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi dalam wadah Pemerintahan Kecamatan Militer Istimewa Kurai/Kota Bukittinggi PDRI kepada kawan maupun lawan. Tugu PDRI adalah bukti perjuangan masyarakat Kurai/ Kota Bukittinggi mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


.
I.  Pemerintahan Kecamatan Militer Istimewa Kurai/ Kota Bukittinggi PDRI[1]
I.  1. Bukittinggi 19 Desember 1948 – 15 Januari 1949
Kota Bukittinggi dinamakan juga Nagari Kurai Limo Jorong. Pada Tahun 1948 Nagari Kurai Limo Jorong dipimpin oleh H. Mohammad Hadrajat mantan sekretaris kolonial Tuan Spitt gubernur Sumatera di Medan sebagai Wali Nagari. Kenagariannya terdiri dari 5 jorong yang masing-masingnya mempunyai Wali Jorong, yakni: 1. Jorong Tigo Baleh, 2. Jorong Koto Salayan, 3. Jorong Aua Birugo, 4. Jorong Guguak Panjang, dan 5. Jorong Mandiangin.
Sejak Bukittinggi di bom pada pagi hari 19 Desember 1948 sampai pendudukan tentara Belanda 22 Desember 1948 hingga pertengahan Januari 1949, terjadi kekos­ongan pemerintahan di Kota Bukit­tinggi karena Walikota Bukittinggi A. Azwir Jennie ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda.
Pada masa itu, Jorong-jorong yang ada tidak ada hubungan dengan pemerintahan Kota Bukittinggi berusaha mengadakan hubungan sesamanya dan berusaha mencari kontak dengan pihak militer di Agam Tuo Selatan (Sungai Pua/Kubang Putiah) dan di Agam Tuo Utara (Ka­mang Hilia/ Kamang Mudiak) serta be­rusaha mengadakan konsolidasi di jo­rong masing-masing dengan  BPN/K (Ba­risan Pengawal Nagari/Kota) Tigo Baleh dan pemimpin-pemimpin sipil dan militer yang sedang menyingkir ke pinggir Kota Bukittinggi, yaitu ke Tigo Baleh dan Koto Selayan.

I.  2. Pembentukan MPRK (Markas Pertahanan Rakyat Kecamatan)
Untuk mengatasi agar tidak terjadi kekacauan karena kosongnya pemerintahan di Kota Bukittinggi, pada malam tanggal 15 Januari 1949 dibentuk MPRK (Markas Pertahanan Rakyat Kecamatan) Kurai berdasarkan instruksi Residen Sumatera Barat yang dibawa oleh kurir Sutan R. Moedo pegawai EMS. Oleh karena pada masa itu belum atau tidak ada jabatan Camat di pemerin­tahan Kota Bukittinggi, maka malam itu sekaligus diputuskan Pemerintahan Kecamatan dengan pejabat-pejabat:
Camat Militer
:
N. DJ. Datoek Sampono Toeo dari Tigo Baleh
Wakil Camat Militer
:
A. DTK. Sampono Sati dari Mandiangin
Sekretaris Camat Militer
:
Moechtar Sutan Samiak (Ketua BNP/K Tigo Baleh)
dan  para Pemimpin MPRK (Markas Pertahanan Rakyat Kecamatan)
Ketua
:
N. DJ. Datoek Sampono Toeo dari Tigo Baleh
Sekretaris
:
Moechtar Sutan Samiak
 MPRK Kurai yang diketuai oleh Camat Militer dan anggotanya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat yang bertugas untuk memperkokoh perta­hanan rakyat, menyiapkan dana dan perbekalan untuk para pejuang (geril­yawan), memberikan penerangan kepada rakyat terutama counter propa­ganda Belanda yang menjelekkan Republik.
Dengan terbentuknya Kecamatan Militer dengan nama resmi Kecamatan Militer Istimewa Kurai/Kota Bukit­tinggi PDRI, maka wali-wali jorong yang ada dengan sendirinya diangkat menjadi Wali Perang, yakni:  Wali Perang Koto Selayan, yaitu Engku Munir Pakiah Sutan; Wali Perang Guguak Panjang, yakni DTK Toembaliak Kayo; Wali Perang Tigo Baleh Sdr. Syamsu Sutan Asa Radjo, Wali Perang Aua Birugo Tuanku Madjo Indo dan Wali Perang Mandiangin Tuanku Samiak
Sekitar akhir Februari 1949 Camat Militer Datoek Sampono Toeo ditangkap Belanda, setelah Belanda lebih dahulu membunuh 2 orang kemenakan beliau. Wakil Camat Militer A. DTK. Sampono Sati karena berada ditengah-tengah lingkungan pendudukan Belanda tidak dapat memimpin kecamatan. Oleh karena itu, Camat Militer dirangkap oleh sekretaris MPRK Moechtar St. Samiak disamping tugasnya sebagai Koman­dan BPN/K Tigo Baleh.
Dalam situasi yang semakin mencekam, pemerintahan tetap berjalan dengan memperkuat peran para Wali Pe­rang[2]. Kantor-kantor Wali Perang bersifat mobil dalam daerah masing-masing, se­dangkan Kantor Camat Militer bersifat mobil antara Tigo Baleh, Koto Selayan, Aua Birugo, dan Mandiangin dibagian pinggirnya. Namun, untuk memudahkan komandu dibuatlah markas utama kecamatan di Tigo Baleh, yakni di kampung Pabeloan dan Tabek Gadang. Pabeloan dan Tabek Gadang di pilih karena terlindung dari segala arah dengan jalan setapaknya yang hampir tidak kentara. Disini juga bermarkas PMTKK (Pasukan Mobil Teras Kurai Kota) yang dikomandani oleh Letnan Muda Karidjiun dan wakil Sersan Mayor P.T Buyung Paloma. Markas Ikua Koto sampai 27 Desember 1949.
Sekitar awal Maret 1949, Belanda mengganas di Tigo Baleh dan mengge­ledahi semua rumah. Semua laki-laki, terutama yang muda-muda ditangkapi dan disiksa, al. sdr. M. Dtk. S. Sati Dipotong kupingnya sebelah dan ditembak dadanya. Staf kecamatan praktis tidak dapat melakukan tugas­nya atau bekerja di Tigo Baleh serta kea­daan di jorong-jorong lainpun demikian mulai panas pula. Maka pejabat militer dan Wakil Sekretaris camat menyingkir.
Menghadapi situasi ini, agar pemerintahan tetap berjalan, maka sejak awal Maret sampai akhir Maret 1949, beberapa jabatan diserahkan kepada wanita. Camat militer diserahkan kepada Nona Nurmi Salim, Sekretaris Camat Militer kepada Nona Rosmi Salim serta Ko­mandan BPN/K (Barisan Pengawal Nagari/Kota) Tigo Baleh diserahkan kepada Nyonya Dasima Rais seorang guru SD XIII. Setelah mulai agak aman, pada akhir Maret 1949 jabatan-jabatan itu dipulihkan kembali dan diserahkan kepada Pejabat sebelumnya.
Pada awal  Ap­ril 1949 diangkat Camat Militer pengganti Camat Mili­ter Datoek Sampono Toeo yang ditangkap Belanda, yaitu Inyik Bilal Dtk. Madjo Indo, Inspektur Polisi Satu waktu itu. Beliau lebih banyak berkedudukan di Kamang di samping Kol. M. Dahlan Djambek, KPA (Ko­man­dan Pertempuran Agam) yang se­kaligus menjabat Bupati Militer Agam.
Dengan diangkatnya Camat Militer yang baru, maka sdr. Moechtar St. Samiak diangkat menjadi Wakil Camat Militer dan Letnan Nazir Kari Mang koeto diangkat menjadi Sekre­taris Camat Militer/Sekretaris MPRK Kurai.
Pada tanggal 27 April 1949, Wakil Camat Militer dan Sekretaris Camat Militer ditangkap patroli tentara Belanda dalam keadaan sedang mobil (berpindah dari satu tempat ketempat lainnya untuk bertugas). Kedua orang ini dimasukkan kedalam tahanan di Bukittinggi, lalu diinternir di penjara Padang dan penjara Pariaman dan baru dikeluarkan pada tanggal 27 Desember 1949.

II.         Berakhirnya Pemerintahan Kecamatan Militer Istimewa Kurai/Kota Bukit¬tinggi PDRI
Pada tanggal 21 Februari 1950, Camat Militer Bilal Datoek Madji Indo Inspektur satu polisi Negara dengan resmi menyerahkan Pemerintahan Kecamatan Militer Istimewa Kurai/ Kota Bukittinggi kepada Bupati Agam waktu itu dijabat oleh Bupati Harun Al Rasjid. Upacara serah terima dihadiri oleh pemuka-pemuka masyarakat Kurai/ Kota Bukittinggi dan disaksikan pula oleh Walikota Bukittinggi Bapak Eni Karim. Sejak itu, jorong-jorong di Kenagarian Kurai Limo Jorong resmi menyatu dengan Pemerintahan di Bukittinggi yang sudah berbenah sejak pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949.

III.      Pembangunan Tugu PDRI di Gantiang, Jorong Koto Salayan (kini Kelurahan Manggis Ganting Jalan Soekarno Hatta)[3]
Pada April 1949 Camat Militer Bilal Dtk. Madjo Indo menyampaikan ide untuk membangun sebuah Tugu yang akan menjadi simbol perjuangan orang Kurai mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia di Bukittinggi kepada Wali Perang dan para pemuka Kurai.  Tugu tersebut akan diberi nama Tugu PDRI dan harus didirikan dalam Kota Bukittinggi yang sedang diduduki/ dikuasai Belanda. Pembangunan Tugu PDRI ini harus sudah selesai pada per-tengahan Agustus, supaya pada peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke IV tanggal 17 Agustus 1949 dapat diresmikan.
Tugu Peringatan PDRI di Bukittinggi dibangun sebagai suatu bukti bahwa Pemerin­tahan Darurat Republik Indonesia masih mempunyai kekuasaan di wila­yah Kota Bukittinggi, sekaligus merubuhkan kesombongan Belanda yang mengumumkan bahwa wilayah kekuasaannya meliputi radius 6 Km dari Jam Gadang dan itu lebih luas dari wilayah Pemerintahan Kecamatan Militer Kurai Kota Bukittinggi. Untuk itu Tugu PDRI dibangun ditepi jalan raya Bukittinggi dengan Payakumbuh di Gantiang, Koto Selayan dengan jarak antara 1-1 ½ Km dari Jam Gadang.
Tugu PDRI yang amat bersahaja ini adalah satu-satunya bukti eksistensi para pejuang mempertahan Republik Indonesia yang dibangun di dalam wilayah kekuasaan musuh kala itu. Tugu PDRI adalah simbol kekuatan rakyat, rakyat yang ingin mengatakan kepada siapa saja : “Inilah aku, PDRI, Masih Berjaya, walau senantiasa diancam oleh musuh,”
Pembangunan Tugu PDRI di wilayah musuh bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan pembangunan Tugu PDRI dibuat sembunyi-sembunyi pada dini hari atau pada tengah malam. Apabila patroli lewat para pekerja menyingkir dan bila ketahuan ditembaki dan disiksa.
Di dukung oleh Dahlan Djambek, pembangunan Tugu PDRI oleh masyarakat dipimpin oleh Buyuang Padang Buyuang Padang Dt. Sutan Marajo. Beratnya pekerjaan membangun tugu ini menelan korban masyarakat. Suatu hari di akhir Mei 1949 untuk mencari batu dan pasir pembuat tugu, Jang­kua[4] memarkir pedatinya ditepi jalan raya. Dia turun ke tambuo di Garegeh untuk mengumpulkan pasir guna pembangunan tugu. Jangkua tidak mengetahui, bahwa waktu itu secara rahasia dilakukan penyerangan oleh gerilyawan terhadap konvoi Belanda dari atas Bukit Garegeh. Penyerangan tersebut berhasil melumpuhkan bagian tengah konvoi. Setelah penyerangan Gerilyawan menghilang ke arah Talao. Ekor konvoi memutar haluan kembali ke Bukittinggi. Tak lama kemudian datang tentara Belanda melampiaskan kemarahannya di Parik Putuih. Dalam kejadian ini banyak pendu­duk laki-laki dibariskan ditepi jalan dan semuanya ditembak mati. Begitu juga dengan Jangkua yang sedang asyik mengumpulkan pasir diberondong dari jalan raya, dia tewas. Mayatnya baru dapat diambil hampir dekat waktu magrib, oleh anggota-anggota BPN/K Tigo Baleh dibawa menuju Koto Tangah di Koto Salayan untuk dikuburkan malam itu juga.
Pada tanggal 17 Agustus 1949, dilokasi pendirian tugu, dilaksanakan upacara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke IV yang dipimpin Camat Militer  Bilal Dtk. Madjo Indo. Bersamaan dengan itu  Tugu PDRI diresmikan. Untuk mengecoh dan menghindari serangan Belanda, sebelum dini hari di atas Bukit Mandiangin dan Bukit Campago dipasang bendera merah putih di pada pucuk Batang Sampia. Upacara di kawal oleh anggota-ang­gota PMTKK[5] dan BPN/K[6] Tigo Baleh dan berjalan dengan aman.

Dari Penulis
Di akhir tulisan ini, tidaklah dapat dikatakan kalau ini adalah harapan penulis. Namun, penulis hanya menyampaikan harapan para bekas pejuang dari Kurai/Bukittinggi, baik yang berada dikampung maupun di perantauan yang tergabung ke dalam Korps Veteran Kota Bukittinggi,  agar masyarakat kiranya dapat memelihara tugu ini sebagai monumen sejarah dalam rangkaian sejarah PDRI. Bersahaja buatannya, tetapi mulia ungkapan yang tersembunyi di dalamnya!

Sebagai generasi muda, tentunya dengan menghargai jasa para pejuang adalah kekuatan untuk berjuang mengukir sejarah yang mulia juga pada hari ini.
Akhir kata, tulisan ini terbuka untuk saran dan masukan. Sebagai sebuah data awal, tulisan ini membutuhkan penyempurnaan. Terima kasih kepada Bapak Drs. H. Syofyan Udni (Ketua Veteran Kota Bukittinggi) dan terima kasih sekaligus izin kepada Bapak Drs. Indra Utama untuk tulisan beliau yang begitu bernilai.


Salam literasi!!!!


[1] Kepustakaan:
-    Ahmad Husein dkk. 1978. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan  R.I Di Minangkabau / Riau 1945-1950. BPSIM : Jakarta
-    Fatimar enar dkk. 1978. Sumatera Barat 1945 -1949. Bukittinggi : Grafika Unit II Bukittinggi.
-    B. Ar. Poeloengan, SH dkk (Tim Khusus Perencanaan dan Pelaksana Pembangunan Tatengger di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara). Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Utara (1945-1949) Jilid 1.
-   Drs. Indra Utama. “Bukittinggi Kota Juang, Harian Haluan 23 Desember 2016”. Sebuah artikel.
-   Wawancara dengan Drs. H. Syofyan Udni, Dt. Lelo Basa. (H. Syofyan Udni Dt. Lelo Basa adalah Ketua Veteran Kota Bukittinggi)
[2] Wali Perang tersebut memiliki penasehat yang akan membantu wali perang dalam mengambil kebijakan dan keputusan yang sulit. Diantara penasehat wali perang adalah Noermatias (orang tua Ramlan Nurmatias; Wako Bukittinggi sekarang)
[3] Penulisan Sejarah Tugu PDRI ini berdasarkan kepada hasil wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syofyan Udni, Dt. Lelo Basa; 10 Agustus 2018. (H. Syofyan Udni Dt. Lelo Basa adalah Ketua Veteran Kota Bukittinggi) dan di dukung Tulisan Drs. Indra Utama pada Harian Haluan 23 Desember 2016 .
[4] Salah seorang pekerja  warga Kota Bukittinggi
[5] PMTKK  (Pasukan Mobil Teras Kurai Kota)
[6] BPN/K (Barisan Pengawal Nagari/Kota)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar