ASAL
USUL ORANG KURAI LIMO JORONG DAN TUGU TIGO BALEH
Sebelum manusia modern mengenal huruf dan
angka, dulu simbol digunakan untuk berkomunikasi. Simbol sendiri diartikan
sebagai sebuah tanda yang menunjukkan sebuah ide, objek, atau hubungan antar
suatu benda. Simbol bersifat universal, dalam artian meski bahasa yang
digunakan berbeda simbol mewakili sesuatu yang sama.
I. Pendahuluan
Setiap kebudayaan
memiliki sistem nilai budaya yang
berfungsi sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku para warga pendukung kebudayaan. Sistem nilai budaya tersebut
meliputi aturan seperti sopan santun, adat istiadat, pandangan hidup atau
ideologi dan sebagainya. Sistem nilai budaya adalah tingkatan yang paling tinggi dan
paling abstrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan, karena nilai-nilai
budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar dari warga suatu masyarakat tentang apa yang dianggap bernilai,
berharga, dan penting dalam hidup. Sejak kecil seorang individu telah
diresapi dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu
telah berakar di dalam mentalitasnya dan kemudian sukar diganti dengan yang
lain dalam waktu yang singkat (Koentjaraningrat, 1990: 77; 1974: 32).
Artefak
sebagai wujud budaya adalah sebuah alat benda,
bangunan atau peninggalan sejarah yang di buat oleh manusia (bukan benda
alamiah yang di modifikasi) yang dapat di pindah dari suatu tempat ke tempat
lain. Artefak memuat nilai budaya, antara lain nilai fungsi, makna dan simbol.
Sampai sekarang, banyak
arsitek terkenal menyampaikan gagasan-gagasan, pesan-pesan atau
maksud-maksudnya melalui tanda dan simbol tersebut kepada publik. Tanda dan simbol
membentuk persepsi manusia tentang sesuatu. Ini sangat bermanfaat dalam
menyampaikan pesan, ide pembuat sekaligus memperkaya imajinasi manusia dalam
pengalamannya menelusuri berbagai tanda dan simbol tersebut.
Tugo Tigo Baleh adalah
sebuah tanda dan simbol yang dibangun untuk menyampikan pesan kepada masyarakat
sekarang tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu. Keberadaan tugu ini melekat kuat dan erat
dalam keseharian masyarakat Tigo Baleh. Berada tidak jauh dari Balai Adat
Nagari Tigo Baleh, Tugu Tigo Baleh menyimpan cerita dan sejarah asal usul
Nagari Tigo Baleh dan Nagari Kurai Limo Jorong. Pembuat tugu ini tentunya ingin
menyampikan pesan akan arti pentingnya Nagari Tigo Baleh sebagai cikal bakal
Kurai Limo Jorong.
Sebagai sebuah tanda
dan simbol, pemaknaan terhadap Tugu Tigo Baleh bisa saja berbeda pada setiap
orang yang melihatnya. Hal ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa pemahaman
tentang kebenaran dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai
ruang dan waktu secara berbeda. Makna tersebut bisa saja bersifat
intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual. Namun makna
tersebut dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat.
Untuk
menginterpretasikan makna dari Tugu Tigo Baleh yang terjalin dalam berbagai
jejaring hubungan sosial yang luas dan rumit, Penulis menempuh jalur pemaknaan
yang didasarkan pada pandangan Ogden dan Richards, yakni simbol memiliki
hubungan asosiatif dengan gagasan dan referensi serta referen atau dunia acuan.
Adanya hubungan itu, menjelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi simbol dan
acuan (CK Ogden and I.A.Richards,
1960:11).
Hubungan antara simbol
dengan realitas dapat dilihat dalam bagan berikut ini.
Simbol
------------------------
Referent
Simbol adalah |
: |
Tugu Tigo
Baleh (kata atau gambar yang harus diartikan) |
Konsep adalah |
: |
Konotasi,
idea, pikiran, respon, yang ada dalam pemikiran orang yang mengamati |
Referent
adalah |
: |
Segala
sesuatu, objek, fakta, kualitas, pengalaman, denotasi, peristiwa, yang
melatarbelakangi terbentuknya Simbol (Sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh) |
Berdasarkan
pada pandangan Ogden dan Richards ini dapat dijelaskan, bahwa Tugu Tigo Baleh
memiliki acuan dan hubungan yang kuat dengan sejarah asal usul Nagari Tigo
Baleh. Artinya, untuk mengetahui makna yang ingin disampaikan Tugu Tigo Baleh
maka kita diharuskan membuka ruang dan waktu untuk melihat dan mempelajari
sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh.
II. Asal Usul Orang Kurai Limo Jorong
II. 1. Kedatangan Nenek Moyang Ke Luhak Agam
Dari
berbagai sumber disebutkan, bahwa perpindahan penduduk dari Pariangan
Padang Panjang menuju kepada dua
arah. Pertama, ke arah timur dan tenggara Pariangan. Kedua, ke dataran tinggi
arah utara Gunung Merapi. Ke arah Timur dan Tenggara Pariangan merupakan
dataran rendah yang luas dialiri sungai besar seperti Batang Hari, Batang
Kuantan dan Batang Kampar. Hal ini memudahkan penduduk mencari tanah baru yang
subur dengan alat transportasi sungai tersebut. Perpindahan penduduk ke dataran
tinggi arah utara Gunung Merapi adalah perpindahan yang sulit. Kondisi alam
yang berbukit, hutan yang lebat menyebabkan perpindahan penduduk kearah utara
ini merupakan perjalanan yang berat. Oleh karena itu, perpindahan dilakukan
bergelombang dengan rombongan yang besar. Pada Tiap gelombang terdiri dari
empat rombongan besar, sehingga pada lokasi hutan yang dibuka dapat didirikan
empat nagari supaya dapat diperoleh keamanan bersama. Dalam empat gelombang
perpindahan maka berdirilah 16 nagari di Luhak agam.
Nagari Kurai berada di tengah-tengah di Luhak Agam. Bila
ingin melihat kedatangan penduduk yang menjadi nenek moyang orang Kurai tidak
dapat dipisahkan dengan kedatangan penduduk ke Luhak Agam[1].
Penyebaran penduduk ke Luhak Agam berlansung dalam empat periode dalam waktu
yang cukup lama. Periode pertama
menempati Agam Biaro, Balai Gurah, Lambah, dan Panampuang. Periode Kedua menempati Lasi, Canduang, Kurai, dan Banuhampu. Perode Ketiga menempati Sianok, Koto
gadang, Guguak, dan Tabek Sarojo. Periode
Keempat menempati Sariak, Sungai Puar, Batagak, dan Batu Palano[2].
III.
2. Kedatangan Nenek Moyang Ke Kurai Limo Jorong
Penduduk yang datang mendiami daerah Kurai adalah penduduk
yang berpindah dari Pariangan Padang Panjang pada periode kedua, yakni yang
menempati Lasi, Canduang, Kurai, dan Banuhampu. Dalam perkembangannya
masing-masing menjadi nagari.
Rombongan penduduk yang menempati Kurai tersebutlah menurut
salah satu versi tambo berjumlah kurang
aso saratuih. Namun tidak dikemukakan bentuk, jenis keluarga yang turut
sebagai peserta rombongan dan pimpinannya. Untuk mengetahuinya dapat dilihat
melalui penelusuran susunan keluarga dalam sepayung atau sesuku. Setiap payung atau suku babuah paruik dan paruik
babuah jurai. Artinya orang sepayung atau sesuku dapat terdiri dari paruik-paruik satu keturunan dan dapat
pula dari paruik-paruik beda
keturunan. Hal ini menjelaskan, bahwa tidak mungkin sebuah payuang atau suku akan
berangkat bersama paruik-paruiknya
menuju daerah baru dan meninggalkan cancang
lateh pada masa sebelumnya. Orang perorangan juga tidak mungkin pindah ke
daerah baru. Paling sedikit yang berangkat adalah orang sejurai yang dipimpin oleh tungganai
dan paling banyak orang separuik yang
dipimpin oleh niniak mamak paruik.
Ini menjelaskan juga, bahwa setiap rombongan terdiri dari pecahan beberapa suku
dari daerah sebelumnya. Jumlah suku
dalam rombongan yang datang ke Kurai dapat dilihat setelah tiba di Koto Jolong[3].
Terhadap perjalanan rombongan dari Pariangan Padang Panjang
ke Koto Jolong terdapat beberapa versi dalam masyarakat adat. Penulis memilih
salah satu di antaranya sebagai berikut:
Perpindahan penduduk dari Pariangan padang Panjang dengan
rombongan besar sebanyak 99 keluarga (100
kurang aso). Dalam perjalanan yang dipimpin oleh Rajo Bagombak bergelar
Yang Dipertuan Bagonjong[4]
bersama Badaharo Nan Bangkah[5],
rombongan ini melewati berbagai negeri dan beristirahat di negeri tersebut
yakni Negeri Tanjung Alam Kenagarian Sungai Tarab Batu Sangkar. Di Sungai
Tarab, rombongan mempersiapkan moril dan materil untuk meneruskan perjalanan
menembus Bukit Barisan menuju Luhak Agam.
Selepas beristirahat di Sungai Tarab, rombongan melanjutkan
perjalanan hingga sampai di sebuah padang dan beristirahat cukup lama di situ.
Padang tersebut di kemudian hari dikenal dengan nama Padang Kurai.
Di Padang Kurai di
perolah kesepakatakan, bahwa rombongan di pecah menjadi dua. Rombongan pertama dipimpin oleh
Bandaharo Nan Bangkah berangkat menuju ke arah Mudiak menelusuri kaki Gunung Merapi. Rombongan pertama ini menempati
daerah selatan (disebut juga daerah mudiak) adalah tempat kediaman pertama terdiri
dari tujuh keluarga pecahan suku dan setiap keluarga menempati lokasi sesuai
dengan kebutuhan kehidupan. Hal tersebut dapat kita lihat sampai sekarang,
yakni Persukuan Pisang di Kapalo Koto, Persukuan Jambak di Tabiang, Persukuan
Koto di Kabun, Persukuan Guci di Pakan Labuah, Persukuan Tanjuang di Belakang
Balai, Persukuan Simabua di Pakan Labuah, Persukuan Sikumbang di Pabeloan.[6]
|
Rombongan Kedua di bawah pimpinan Rajo Bagombak bergelar Yang Dipituan Bagonjong dari Padang Kurai melanjutkan perjalanan dan singgah di sebuah tempat yang indah, bertebing dan dari celah tebing mengalir air yang jernih. Tempat itu dinamai Pincuran Puti. Dari Pincuran Puti Rombongan melanjutkan perjalanan dan sampai di daerah yang sepanjang jalannya tumbuh pinang berleret. Daerah tersebut dinamai Pinang Baririk (Tanjung Alam sekarang). Dari Pinang Baririk Rombongan melanjutkan perjalanan dan terhenti karena di hadang oleh tanah yang putus (sebuah parit yang luas). Daerah ini dinamai Parit Putus. Dari daerah ini rombongan memutar arah perjalanan ke arah mudik dan menemukan suatu daerah yang lapang. Konon di daerah yang lapang ini putri dari Yang Dipituan Bagonjong menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Oleh karena itu, daerah tersebut dinamai dengan Pautan Kudo (dekat Surau Pinang sekarang).[8]
Dari Pautan Kudo, rombongan melanjutkan perjalanan hingga
menemukan sebuah parit yang panjang teretang menghalangi perjalanan (daerah ini
dinamai Parik Antang)[9].
Untuk menyebrangi parit tersebut salah seorang dari rombongan menebang sebatang
pohon kayu untuk titian keseberang. Parit tersebut dinamai Batang Kurai atau Tan Kurai[10]. Dari Batang
Kurai perjalanan dilanjutkan hingga sampai pada sebuah aliran sungai yang diberi
nama Parit Tuo/ Batang Buo /Tambuo[11] .
Dari Tambuo Rombongan di bawah pimpinan Yang Pituan Nan
Bagonjong menuju Koto Katiak[12]. Dari Koto Katiak
rombongan terus bergerak menuju ke hilir menuju Pabeloan dan berbelok ke puhun. Di Puhun rombongan Yang Pituan Nan Bagonjong bertemu dengan rombongan pertama yang
dipimpin oleh bandaharo Nan Bangkah. Di tempat ini, kedua pimpinan bermufakat
untuk mendirikan koto dan nagari. Berdasarkan kesepakatan tersebut, daerah yang
akan dijadikan tempat tinggal tersebut dinamai Koto Jolong.[13]
|
II. 3 Koto
Jolong
Lokasi pemukiman Koto Jolong membujur dari selatan ke utara atau dapat
juga disebut dari Kapalo Koto sampai Ikua Labuah. Lokasi daerah Koto Jolong ini
dikelilingi oleh parit dengan batas-batas sebagai berikut[16]:
Sebelah
Barat membujur Parit Tambuo yang dinamai juga Tambuo Puhun.
Sebelah
Timur oleh Parit Batang Kurai yang disebut juga Tambuo Tangkurai.
Sebelah
selatan dengan Nagari Kubang Putiah
Sebelah
Utara oleh daerah pertemuan Sungai Tambuo dengan Sungai Tangkurai di Ikua Labuah.
Daerah pemukiman Koto Jolong
dikenal dalam bentuk dua daerah bernama Daerah
Mudiak di daerah Selatan yang
didiami oleh Tujuh Keluarga (suku)[17]
yang berasal dari rombongan pertama yang dipimpin Bandaharo Nan Bangkah dan Daerah Hilir di Utara yang didiami oleh
enam keluarga suku[18]
yang berasal dari rombongan kedua yang dipimpin oleh Rajo Nan Gombak bergelar
Yang Pituan Nan Bagonjong. Daerah Mudiak di kemudian hari di kenal dengan nama
Kampuang Pakan Labuah dan daerah
Hilir di kenal nama Kampuang Balai
Banyak. Ketiga belas pimpinan keluarga (suku)
yang ada di Koto Jolong sepakat
memakai gelar pusako masing-masing dan yang belum mempunyai gelar pusaka atas
kesepakatan keluarga dapat memakai gelar pusako yang ada di nagari asal[19].
Ketiga belas ninik mamak bergelar Datuak tesebut adalah pendiri Nagari Tigo
Baleh[20].
IV. Tugu Tigo Baleh
Tugu Tigo Baleh adalah sebuah tugu segi lima dengan tinggi lebih kurang
4 meter yang berada tepat di tengan jalan / Simpang Tigo Baleh. Secara administratif Tugu
Tigo Baleh berada dalam wilayah Kelurahan Pakan Labuah. Tulisan pada tugu tersebut
“Abri Masuk Desa Manunggal XIV 25-11 s/d
8 – 12 1983” menunjukan waktu pembangunannya, yakni pada tahun 1983 dalam program pemerintah yang
terkenal dengan Manunggal Abri Masuk Desa.
Sebagai sebuah bangunan budaya, Tugu
Tigo Baleh adalah sebuah tanda dan simbol yang sengaja dibangun untuk meng-abadikan
“sesuatu” yang dianggap bernilai,
berharga, dan penting dalam sejarah dan asal usul Nagari Kurai. Tugu Tigo Baleh dibangun sebagai tanda
bahwa Nagari Tigo Baleh didirikan oleh tiga belas niniak mamak yang pertama
kali datang ke Koto Jolong yanga mana Nagari Tigo Baleh adalah cikal bakal
Nagari Kurai Limo Jorong [21].
Hal ini tentunya didasarkan kepada sejarah asal usul orang Kurai seperti
yang telah diuraikan pada bagian awal, yakni Nenek Moyang Orang Kurai adalah
penduduk yang melakukan migrasi gelombang kedua dari Pariangan Padang Panjang.
Migrasi tersebut dipimpin oleh Rajo Nan Gombak bergelar Yang Pituan Nan
Bagonjong dan Bandaharo Nan Bangkah. Dalam migrasi tersebut, terdapat tiga
belas keluarga dari suku –suku yang berasal dari Pariangan Padang Panjang. Tiga
Belas Suku tersebut menempati daerah Koto Jolong yang merupakan asal muasal Nagari
Tigo Baleh dan Kurai Limo Jorong. Tiga Belas keluarga (suku) tersebut terdiri dari Tujuh (7) keluarga (suku) memempati daerah Mudiak (Pakan
Labuah) dan 6 keluarga (suku)
menempati daerah hilir (Balai Banyak).
Penulis mengambil beberapa tanggapan yang penulis anggap menyatakan tentang makna dari
Tugu Tigo Baleh. Pertama, Riska Arizon Saputra[23].
Riska menyebutkan, Tepat di tempat berdirinya Tugu Tigo Baleh sekarang
dahulunya adalah pusat pakan (pasar) pertama di Nagari Kurai Limo Jorong. Kedua Armen Basir[24].
Armen Basir menyebutkan, di tempat berdirinya Tugu Tigo Baleh sekarang,
dahulunya adalah tempat tumbuhnya sebatang pohon beringin besar. Di bawah pohon beringin tersebut masyarakat
membuat pasar. Di sana masyarakat menggelar dagangan dan adakalanya dijadikan
juga tempat memarkir bendi. Setelah pohon beringin di tebang, dibangunlah
sebuah Tugu Segi Lima yang lebih pendek dari Tugu Tigo Baleh yang ada sekarang.
Tugu tersebut melambangkan lima jorong yang ada di Nagari Kurai Limo Jorong. Pada tahun 1983 tugu yang lama di renovasi
menjadi tugu sekarang dan terkenal dengan nama Tugu Tigo Baleh.
Nyiak Dt. Mangkuto Ameh dalam sebuah wawancara
pribadi menjelaskan bahwa, Tugu Tigo Baleh adalah lambang keberdaan Niniak
Mamak tiga belas suku yang datang pertama kali ke Koto Jolong. Niniak mamak
tersebutlah yang membangun Nagari Tigo Baleh, menetapkan sendi-sendi adat serta
menetapkan delapan buah suku[25]
di Nagari Tigo Baleh. Niniak mamak yang tiga belas tersebut juga telah
menetapkan aliran adat yang akan digunakan di Nagari Tigo Baleh. Kebijaksanaan
niniak mamak tersebut telah melahirkan sebuah sistem adat yang manis dan
harmonis, yakni penggabungan dua aliran adat (Aliran Bodi caniago dan Aliran
Koto Piliang) hingga dikenal dengan sebutan elok diurang rancak di awak. Penggunaan kedua aliran adat tersebut di
Nagari Tigo Baleh tertuang dalam pepatah adat:
Pisang sikalek-kalek hutan
Pisang tambatu nan bagatah
Adat Bodi Caniago Inyo Bukan
Adat koto Piliang anyo antah
Pisang
tambatu nan bagatah
Kaduo
jo pisang ameh
Katigo
pisang rajo sarai
Adat Bodi Caniago anyo rancak
Adat Koto Piliang anyo elok
Tibo di kurai samo di pakai
Catatan Penulis
Sejak
dulu penyampaian maksud melalui tanda dan simbol telah ada. Tanda dan simbol
yang tampil sesuai bentuknya maupun dalam pengertian tersirat atau mewakili
makna tertentu dengan cara analogi atau kiasan (figurative language). Sebagai
sebuah Tanda dan Simbol, pemaknaan
terhadap Tugu Tigo Baleh bisa saja berbeda pada setiap orang yang melihatnya.
Hal ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa pemahaman tentang kebenaran dalam
kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu secara
berbeda. Makna tersebut bisa saja bersifat intersubyektif karena
ditumbuh-kembangkan secara individual. Namun makna tersebut dihayati secara
bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat. Hal ini menyiratkan, bahwa
walaupun pemaknaan terhadap keberadaan Tugu Tigo Baleh berbeda pada setiap
orang yang melihanya, Tugo Tigo Baleh tetaplah sebuah tanda yang akan terus
melahirkan makna-makna baru sesuai dengan perputaran zaman.
Daftar Bacaan
Achir,
Mohd. H. 2011. Menelusuri Jejak Sejarah
Nagari Kurai Beserta Lembaga Adatnya. Bukittinggi: Kristal Mulimedia.
Dahar.
St. Sari Basa. 1967. “ Keringkasan Tambo Alam Minangkabau dan Seluk-Beluk Adat
Kurai Limo Jorong.
Tunmuamad,
Dt dkk. 1991. “ Rancangan Sejarah dan Adat Kurai V Jorong”. Tim Perumus Badan
Pekerja Kerapatan Adat Kurai Bukittinggi. Bukittinggi.
Ogden,
CK., and I.A.Richards, The Meaning of Meaning (London: Routledge & Kegan
Paul LTD, 1960).
Piliang,
Yasraf Amir. 2001. Sebuah Dunia yang
Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme. Bandung : Mizan.
Sobur,
Alex. 2003. Semiotika Komunikasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[1] Luhak Agam di dalam tambo disebut sebagai luhak kedua
setelah Luhak Tanah Datar.
[2] LKAAM Sumatera Barat. Pelajaran Adat Minangkabau.
Padang 1987 hal. 38-39.
[3] Koto Jolong dalah daerah pertama yang ditempati nenek
moyang orang Kurai.
[4] Rajo Bagombak bergelar Yang Dipatuan Bagonjong
dikemudian hari pengganti pertama dari keluarga Pasukuan Pisang di Ikua Labuah
bergelar Dt. Yang Dipituan.
[5] Bandaharo Nan Bangkah dikemudian hari pengganti
pertama dari keluarga Pasukuan Guci di
Balai Banyak bergelar Dt. Bandaharo
(selanjutnya kedua gelar datuak tersebut
menjadi Gelar Pusako Pasukuan Pisang dan Pasukuan Guci. “M. A. Dt. Kampuang Dalam. Op. cit. Hal.
229-230”)
[6] Dalam “Menelusuri
Jejak Sejarah Orang Kurai Beserta Lembaga Adatnya”:. M.A Dt Kampung Dalam.
2011. Hal. 34-35
[7] Diagram rute perjalanan disusun berdasarkan kepada
sejarah asal usul nenek moyang orang kurai dalam Menelusuri Jejak Sejarah Orang
Kurai Beserta Lembaga Adatnya. M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Hal. 34-35
[8]
Dalam Dahar St. Sari Basa. “ Keringkasan Tambo Alam Minangkabau dan Seluk Beluk
Adat Kurai Limo Jorong”. 1967. Hal. 58
[9]
Ibid. hal 58
[10]
Ibid. hal. 58
[11]
Ibid. hal.58
[12]
Ibid. hal 58
[13] Dahar
St. Sari Basa menyebutkan, bahwa Koto Jolong di masa sekarang dinamai Pakan
Labuah. Hal ini berbeda dengan sejarah yang di tulis M.A Dt. Kampuang Dalam
dalam bukunya Menelusuri Jejak Sejarah
Nagari Kurai Beserta Lembaga Adatnya. 2011. M.A menuliskan, Koto Jolong
terdiri dari dua daerah, yakni daerah mudiak dan daerah hilir. Daerah mudiak
didiami oleh rombongan pertama dengan 7 suku yang dikemudian hari berganti nama
menjadi Pakan Labuah. Daerah hilir didiami oleh rombongan kedua dengan 6 suku
yang dikemudian hari berganti nama menjadi Balai Banyak.
[14] Diagram disusun berdasarkan pada Sejarah asal usul Orang
Kurai Oleh Dahar Dt. Sari Basa Sikumbang Balai Banyak dalam buku Tambo Alam
Minangkabau dan Seluk Beluk Adat Kurai Limo Jorong. 1967, hl. 56-58
[15] Diagram
3 ini dibuat berdasarkan sejarah yang ditulis oleh M.A Dt Kampung Dalam. 2011
dan Dahar St. Sari Basa (dengan menkombinasikan dua sumber tersebut).
[16] M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Op cit. Hal. 39
[17] Persukuan pisang di
Kapalo Koto, persukuan Jambak di Tabiang, persukuan Guci di Pakan Labuah,
Persukuan Tanjuang di Belakang Balai,pasukuan Koto di Kabun, persukuan Simabua di Pakan Labuah, persukuan
Sikumbang di Pabeloan.
[18] Persukuan Guci, Sikumbang, Pisang, Jambak, Tanjuang,
dan Salayan.
[19] Niniak Mamak/ Pangka Tuo Nagari Tigo Baleh:
Daerah Mudiak: Dt. Rangkayo
Basa; Dt. Nan Adua; Dt. Mantiko Basa (Dt. Kapalo Koto); Dt. Asa Dahulu; Dt
Pado Batua; Dt. Dunia Basa; Dt. Maruhun.
Derah Hilia : Dt. Gunuang Ameh; Dt Mangkudun; Dt
Panduko Sati; Dt Rajo Sikampuang; Dt Mangulak Basa; Dt. Sari Basa.
[20] M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Hal. 53.
[21] Wawancara dengan Dt. Mangkuto Ameh (Anggota KAN Tigo
Baleh) .
[22]
Masyarakat Pakan Labuah/ Tigo Baleh dan Bukittinggi dalam sebuah dialog terbuka
yang di buka dalam disebuah halaman Minangkabau
Research pada tanggal 19 April 2020
[23]
Ketua RT di Kelurahan Pakan Labuah
[24]
Masyarakat Kelurahan Pakan Labuah
[25]
Guci, Tanjuang, Koto, Pisang, Simabur, Jambak, Selayan, Sikumbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar