Kamis, 05 Maret 2020


TINGKULUAK TANDUAK AMAK KANDUANG




Mandeh Kanduang
Limpapeh rumah nan gadang
Amban puruak aluang bunian
Pusek jalo kumpulan tali
Sumarak di dalam kampuang
Hiasan dalam nagari
Kok hiduik tampek banaza
Kok mati tampek baniaik
Ka undang-undang ka Madinah
Ka payuang panji ka sarugo
Nan tau malu jo sopan
Hiasan kampuang halaman
Langkok ka koto jo nagari
Sampai ka balai jo musajik
Panyusun sumarak Rumah Gadang
Laku baiak budi baiak
Malu jo sopan tinggi sakali
Baso jo basi dipakaikan
Tiang kokoh budi nan elok
Pasak kunci malu jo sopan
Hiasan dunia jo akhirat
Hauih tampek mintak aia
Lapa tampek mintak nasi
Muluik manih kucindan murah
Baso baiak gulo di bibie

Tak cukup kata untuk mengambarkan sosok seorang ibu oleh anaknya. Sempurna, mulia, dan bijaksana. Setiap kekurangan seorang ibu pada akhirnya adalah sebuah kesempurnaan dalam pandangan seorang anak. Sepanjang renungan dari awal hingga akhirnya, ibu adalah tempat bergantung dan tauladan. Bernarlah jua,jika seorang anak ingin melihat kenapa dirinya bisa menjadi sesuatu maka lihatlah ibunya. 

Kisah tentang seorang ibu selalu indah untuk diceritakan dan didengarkan. Untuk itu, kali ini inginlah saya menulis tentang sosok seorang perempuan sederhana yang kami panggil "amak". Bukanlah seorang lulusan universitas atau sekolah tinggi yang memberikan embel-embel gelar di belakang namanya. Juga bukan pula seorang wanita karir yang bertarung di panggung kepentingan. Hanyalah seorang perempuan sederhana yang hidup tanpa banyak keinginan selain keinginan melihat pohon yang ditanam dan dirawatnya tumbuh besar, berbunga, berbuah dan dinikmati oleh banyak orang. Amak adalah seorang pemimpi yang senantiasa memimpikan kebahagiaan anaknya-anaknya.

Perempuan sederhana yang kami panggil amak itu bernama Dardanila. Lahir disebuang kampung yang jauh dari keramaian pada tanggal 12 Desember 1954. Kampuang yang jauh dari hiruk pikuk dan rantak si marantang. Ayahnya bernama Alimuddin Kali Radjo Angek dan ibunya bernama Nurbani. Ayahnya adalah seorang ulama yang kukuh pada pengajaran agama Islam. Tidak hanya di kampuang kecil ini, ayahnya mengajar  dan belajar agama sebagai seorang Syeikh Tarekat Naqsyabandiyah hingga ke Bonjol Pasaman. Memiliki surau tarekat sendiri di Mato Katiak yang dikenal sebagai Surau Simpang Japan. Surau ini  adalah warisan dari ayahnya yang bernama Kaciak seorang Syeikh Tarekat Naqsyabandi yang bergelar Imam Basa Diradjo. Di Surau ini, amak kecil tumbuh besar sembari melihat dan turut belajar agama.

Lahir dan dibesarkan di lingkungan yang taat dalam mengamalkan dan mengajarkan agama Islam, amak  tumbuh menjadi wanita mandiri yang juga taat pada adat, budaya, dan agamnya. Menempuh pendidikan formal  SD dan melanjutkan ke SKP (sekolah keterampilan Perempuan) setingkat SLTP. Setelah tamat SKP, amak membuka usaha menjahit dan menjadi gadis muda yang berpenghasilan besar pada  masanya.   

Amak menikah di usia 25 Tahun dengan anak bakonya, pemuda sederhana yang sangat "berani" dan hingga kini kami panggil Abak. Dikala usaha menjahitnya di titik tertinggi, amak memutuskan mundur perlahan dan memfokuskan diri untuk membesarkan dan mendidik enam orang anaknya yang susun paku. Saya melihat keteguhan amak di sini. Mengorbankan egonya, pencapaiannya demi meraih pencapaian anak-anaknya. Saya yakin itu tidak mudah. Mengalah dan membiarkan suaminya berkarir di dunia pemerintahan. Mengikhlaskan suaminya memberikan sebagian besar waktunya untuk mengurus masyarakat dengan konsekuensinya amaklah yang memberikan semua waktunya untuk kami. 

Saya selalu merinding, jika mengingat alasan yang amak sampaikan ketika ditanya kenapa Amak menutup usaha jahitnya yang berkembang maju demi kami. Belia mengatakan, "aku tidak ingin kalian melihat jarum mesin bergoyang setiap hari dan akhirnya berfikir bahwa hidup adalah untuk menjadi jarum jahit. Aku tindak ingin kalian lupa bahwa kalian aku lahirkan bukan untuk menjadi jarum jahit tapi menjadi orang yang menggoyang mesin jahitnya, hingga kalian bisa merubah keburukan menjadi kebaikan.  Aku ingin anakku menjadi seorang ulama". Saya berfikir cepat., bahwa menjadi seorang ulama tentu bukanlah tanggung jawab kami anak-anak perempuannya, tapi untuk anak-anak amak yang laki-laki.๐Ÿ˜Š 

Bertahun kemudian, saya melihat air mata amak menitik ketika anak tertuanya menjadi lulusan terbaik di intitusi pendidikan yang melahirkan banyak ulama, dilanjutnya anak kedua, ketiga dan kelima. Sama seperti air matanya yang selalu menitik melihat anak-anaknya berdiri di atas mimbar menyiarkan nasehat dan ilmu agama. Atau di saat masyarakat datang kerumah untuk menjemput anaknya "mendo'a". Dalam rindunya untuk dapat berkumpul bersama kami, saat berkumpul di kala lebaran saja (karena itulah momen dapat berkumpul keenam anak-anaknya), amak tetap ikhlaskan waktu anaknya yang sedikit kembali di "curi" darinya asalkan untuk kebaikan umat.  

"Aku tak bahagia jika kalian menjadi orang kaya raya banyak harta, tapi aku bangga ketika orang datang dan memohon agar kalian berkenan menadahkah tangan pada Tuhan untuk mendo'akan kebaikan untuk mereka". Kebahagiaan yang simpel ya mak.

Sekarang, saya selalu melihat antusiasme amak saat mendengarkan kakak tertua kami bercerita tentang perjuangannya merintis mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam; bercerita tentang kenakalan para mahasiswanya, atau kelelahannya harus memenuhi undangan khutbah di sana sini; cerita tentang semangat kakak kedua saya berpetualang ke pelosok-pelosok daerah untuk menjalakan kewajiban profesionalnya. Amak tidak bertanya hasilnya cukup untuk buat rumah, beli mobil atau apa. Tapi beliau bertanya.."lai pai juo maisi khutbah atau ceramah?'. Pertanyaan luar biasa menurut saya.

Amak begitu merindukan sapaan adik laki-laki kami yang merantau paling jauh. Mendengarkan kisahnya dalam menjalankan tanggung jawab profesional sebagai seorang pendidik agama Islam. Amak juga tidak bertanya, hasilnya cukup mendapatkan kebanggan dunia ini. Amak hanya bertanya, "Nan Khutbah Jumahaik kan lai juo?". 

Begitu juga dengan kakak ketiga saya, Amak merindukan saat-saat dia dengan lantang berbicara di atas mimbar seraya berkata " si imam nan katubah tu!!!".
Anak-anak amak bukanlah da'i terkenal seperti ustad-ustad yang begitu pupuler seperti artis.  Tapi bagi amak, mereka adalah buah dari pengorbanannya. Jawaban dari setiap do'anya. Untuk selanjutnya yang akan memohonkan ampun pada Allah untuk setiap lalainya, salahnya, dan khilafnya. Sering ku lihat dikala senyapnya pagi, beliau bersimpuh menadhakan tangan pada yang Maha Agung. Saya yakin itu masih do'a-do'a untuk kami.

Di saat senjanya, amak kembali menunjukan dukungan tiada henti terhadap suaminya. Sekali lagi amak membuktikan bahwa ia hanya hidup untuk membuat orang-orang yang disayanginya bahagia. Disadari atau tidak amak menyatakan bahwa ia akan selalu siap mendukung kesuksesan keluarganya, Wajahnya tidak lagi muda disaat Tingkuluak Tanduak itu kembali dipasang dikepalanya. Tingkuluak Tanduak adalah prasasti bahwa amak siap memikul dan menjalankan tanggung jawabnya sebagi seorang Bundo Kanduang mendampingi suaminya menunaikan amanah sebagai seorang mamak.

Banyaaaak....dan banyaaaak lagi. Kisah hidup amak yang sederhana namun menunjukan perjuangan dan keteguhan seorang perempuan Minangkabau. Kisah pengorbanan yang kami anak perempuannya bertanya-tanya dan takut menyatakan bahwa kami akan sanggup seperti beliau. Bahwa kami akan sanggup mewakafkan anak- anak kami bagi agama Allah.

 Dan lagi..perjuangan itu baru di mulai bagi kami anak-anak perempuan amak. 

Seperti sore kemaren, amak menjawab singkat ketika saya bertanya apa makna dan untuk apa Tingkuluk Tanduak itu amak pakai??

Amak menjawab dengan gaya bahasanya yang sederhana, menjelaskan dengan singkat. Amak berguman, kau rangkailah sendiri apa itu Tingkuluak Tanduak. Ku sekolahlan kau tinggi-tinggi agar bisa merangkumnya". Iyolah mak!..Saya harus jawab apa selain iyo dan iyo atau jadih mak๐Ÿ˜‡

Saya rangkumlah jawaban amak...mencoba menuliskan agar saya sendiri tidak lupa ๐Ÿ˜… tentunya dengan sedikit ilmiah seperti menjabarkan jawaban saat ujian akhir semester๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…

Tikuluak tanduak merupakan salah satu jenis penutup kepala wanita atau tikuluak dalam budaya masyarakat Minangkabau yang bentuknya menyerupai tanduak kerbau. Tingkuluak tanduak biasanya terbuat dari kain songket tenunan yang tebal dan mudah dibentuk serta diberi warna emas ataupun merah yang merupakan salah satu warna khas pakaian adat Minangkabau. Pada bagian belakang tengkuluk tanduk biasanya diberi hiasan berupa kain yang terurai ke belakang.Tingkuluak Tanduak digunakan oleh perempuan dalam pertunjukan tari adat, upacara adat, penyambutan tamu, dan pengiring pengantin dalam acara pernikahan.
Bentuk Tingkuluak Tanduak beragam, ada yang satu tingkat, dua tingkat, bahkan tiga tingkat tergantung dari mana tengkuluk tanduk ini berasal. Tingkuluak Tanduak kebanyakan dibuat dari selendang tenunan khas Minangkabau jenis balapak, yaitu kain yang ditenun dengan melewatkan benang emas di seluruh bidang kain. Di beberapa daerah cara memakainya beragam sehingga bentuknya pun bervariasi. Di Kabupaten Agam ujungnya runciang, di Payakumbuh ujungnya pepat, di daerah Lintau Kabupaten Tanah Datar, tanduknya bertingkat dan berbagai bentuk lainnya. Pada upacara pernikahan, pengiring pengantin juga memakai hiasan pada kedua ujung tengkuluk yang terbuat dari emas atau loyang sepuhan.
Filosofi Tingkuluak Tanduak
1.  Bentuknya yang menyerupai tanduak difilosofikan sebagai bentuk dari tanduak kerbau yang merupakan bagian yang sangat ikonik dalam masyarakat Minangkabau.
2.   Bentuk tanduak di analogikan dengan bentuk Gonjong Rumah Gadang yang merupakan rumah adat Minangkabau. Hal ini memiliki makna bahwa perempuan Minangkabau adalah pemilik Rumah Gadang atau Bundo Kanduang bagi kaumnya.
 ”limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pegangan kunci, umbuan puruak aluang bunian, hiasan dalam nagari, nan gadang basa batuah, kok hiduik tampek banasa, kok mati tampek baniek, ka unduang-unduang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo”
3.  Makna dari bentuknya yang berbentuk tanduak kerbau adalah sebagai lambang kekuatan hati, mempunyai kemauan tinggi dalam mencapai sesuatu yang baik, gigih dan tidak pernah berputus asa. Hal ini mengisyaratkan, bahwa seorang perempuan Minangkabau adalah sosok yang lembut namun tegas dan berani.
Bajalan siganjua lalai
Samuik tapijak indak mati
Alu tataruang patah tigo
4.   Pada ujung tikuluak dibuat tumpul yang artinya Perempuan Minangkabau bersifat berani, ramah tamah dan tidak ingin melukai hati orang lain.
Muluik manih kucindan murah
Tajam nan indak maluko
Runciang nan indak mancucuk
Pandai mambuhua tak mangasan
Pandai mauleh tak babuku
5.      Panjang tanduk atau kedua sisi pada tengkuluk harus sama yang artinya seimbang, bersifat adil sesuai kebutuhan dan kebaikan masyarakat.
Maukua samo panjang, mambilai samo laweh

Begitulah ringkasnya.. Dicubalah nantik menguraikan lebih sistematis dan ilmiah.

Kamih, 5 Maret tahun 2020. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar