Senin, 20 Agustus 2018

TUGU PDRI BUKITTINGGI



Tugu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Bukittinggi ini dibangun pada tahun 1949. Pembangunan tugu ini diprakarsai oleh Buyuang Padang Dt. Sutan Marajo (Wawancara Drs. H. Syofyan Udni, Dt. Lelo Basa; 10 Agustus 2018). Pembangunan tugu ini dilakukan untuk mengingat dan menjadi tanda, bahwa Bukittinggi pernah berperan dengan sangat baik sebagai Ibu Kota Republik Indonesia, yakni pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia 1948-1949. 
Pada masa itu, perjuangan menjaga kedaulatan Indonesia berbuah manis dengan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia pada 29 Desember 1949 setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag  23 Agustus - 2 November 1949. 
Tugu PDRI ini berada di Gantiang Kelurahan Manggih Gantiang Kecamatan Mandiangin Kota Selayan Kota Bukittinggi (di depan Hoki Store Manggih). Tidak banyak yang tahu keberdaan tugu ini atau tidak tahu jika tugu ini dibangun untuk mengingat perjuangan pemerintahan dalam menjaga kedaulatan Indonesia. 





Sekilas Tentang PDRI

Kekalahan Jepang perang dengan SEKUTU pada 1945 dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Segala keperluan untuk menyokong pemerintahan yang berdaulat dirancang oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Diantaranya, menetapkan Soekarno- Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, pembentukan Komite Nasional Indonesia ( KNI ), dan Badan Keamanan Rakyat ( BKR ).
 Namun, walaupun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, SEKUTU (membonceng Belanda) bersikukuh untuk tetap menjajah Indonesia dengan dalih "Pemulihan Keamanan". Tindakan Belanda ini ditentang oleh masyarakat Indonesia. Penentangan ini berwujud perang dengan taktik gerilya dan perundingan - diplomasi. Puncaknya Belanda melakukan Agresi Militer Belanda ke II dan menaklukan Yokyakarta (Pusat pemerintahan) Indonesia. Pada peristiwa ini , Belanda menawan Soekarno-Hatta. 
Untuk tetap menjaga kedaulatan Indonesia, Soekarno mengeluarkan mandat agar Syafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat dengan Bukittinggi sebagai Ibu Kota. Menindaklanjuti mandat ini, Syafrudin Prawiranegara, pukul 09.00 pagi tanggal 19 Desember 1948 bersama Tengku Mohammad Hasan melakukan perundingan (bertempat di Istana Bung Hatta sekarang). Perundingan dilanjutkan sore hari pukul 18.00 sore di rumah Dinas Gebernur Sumatera Teaunku Muhammad Hasan di Parak Kopi karna lokasi perundingan sebelumnya (Istana Bung Hatta) telah diintai pihak Belanda.
Perundingan pada tanggal 19 Desember 1948 berakhir dengan terbentuknya Pemerintah Darurat Militer Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Syafruddin Prawiranegara, dan wakil ketua Tengku Moh. Hasan. Pada tanggal 22 Desember 1948 jam 4.30 di Halaban Payakumbuh diumumkan terbentuknya PDRI lengkap dengan susunan kabinetnya. Dengan demikian roda pemerintahan tetap berjalan dan Indonesia tetap berdaulat.
Menyikapi ini, Belanda semakin gencar berupaya melumpuhkan dan menguasai berabagai sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh pihak Indonesia untuk melakuan perjuangan. Salah satunya, dengan mem-BOM Pemancar Radio (saat itu berada di gedung SMP 2 sekarang). Tindakan ini dilakukan Belanda untuk memblokir Indonesia, menutup informasi kondisi Indonesia dari dunia luar, memutus mata rantai antara pejuang di Bukittinggi dengan tokoh-tokoh Pejuang di luar Bukittinggi.
Hancurnya pemacar radio, tentunya akan membuat perjuangan akan terganggu. Para pejuang di Bukittinggi mengalami kesulitan menerima informsi dari luar maupun memberi informasi ke luar. Mensiasati kondisi ini, untuk mensuarakan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, Indonesia masih berdaulat, pejuang di Bukittinggi menjadikan Rumah Dinas Gubernur Sumatera Tengku Moehammad Hasan di Parak Kopi ini sebagi tempat penyiaran. Dengan adanya penyiaran ini, dunia tahu kalau Indonesia masih ada, Indonesia Berdaulat. 
Penyiaran ini memberi dampak besar bagi Indonesia. Berawal dengan adanya perjanjian Roem - Royen (1949)- hingga Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda dari 23 Agustus - 2 November 1949. Pada KMB pihak yang hadir adalah pihak Indonesia (diwakili Hatta) - Pihak Belanda - BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) yang mewakili beberapa negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Konfrensi ini berhasil membuka "mata dunia" bahwa Indonesia ADA, BERDAULAT dan berakhir dengan setujunya Belanda untuk menyerahkan KEDAULTAN kepada Republik Indonesia Serikat. 


Kamis, 12 Juli 2018

LUBUAK PANJANG AIA MAAMBAU "BATU BASUSUN REKAMAN PERISTIWA ERUPSI GUNUNG TINJAU" UNTUK WISATA MINAT KHUSUS


Lubuak Panjang

Berlokasi di Matua, sekitar 45 menit perjalanan mobil dari Kota Bukittinggi, objek yang dinamai masyarakat LUBUAK PANJANG ini memukau dengan susunan batuan yang seolah sengaja disusun oleh manusia. Berada di Jorong Iko Tanah Nagari Matua Hilia Kecamatan Matur, Lubuak Panjang berpotensi dikembangkan menjadi salah satu objek wisata minat khusus. Anugrah alam yang memiliki kekuatan menopang dan menjadi  penyempurna Pariwisata Agam- Bukittinggi terkhusus untuk para pencinta Wisata Alam yang menantangPecinta wisata Minat Khusus akan ditantang untuk uji adrenalin dengan menelusuri Sungai berarir jernih.



Dalam ilmu geologi, susunan bebatuan artistik pada kedua sisi tebing Lubuak Panjang ini disebut dengan Columnar JointColumnar Joint adalah struktur geologi dimana terdiri dari kolom-kolom yang umumnya ditemukan dalam bentuk hexagonal, terpisah oleh oleh patahan atau retakan pada batuan yang terbentuk ketika batuan tersebut mengalami pengkerutan yang disebabkan oleh hilangnya suhu secara gradasional yang terjadi selama proses pendinginan.

Columnar Joint biasanya terbentuk pada batuan basalt atau batuan extrusive, pada tuff vulkanik (ignimbrites), dan pada intruksi-instruksi dangkal pada semua komposisi.

Ditemukannya keberadaan bebatuan yang dalam istilah geologi disebut dengan Columnar Join pada dua sisi sungai yang mendalam (lubuak) menjadi bukti peristiwa besar (letusan gunung berapi) pada masa lalu di Matua, yakni meletusnya Gunuang Tinjau dan terbentuknya Danau Maninjau.

Bukti aliran lava yang membelah Matua pada masa lalu ini membentuk aliran sungai dengan susunan batuan bersusun yang terbentuk secara alami. 

Selepas Lubuak Panjang, dahaga petualang kembali terlepas dengan pesona air terjun "Aia Maambau".


Aia Maambau





Sumber:
Tim Exspedisi Pariwisata Matua Hilia
Sahabat Geologi "Fadli" (Meruntih arti susunan batu secara geologi)

Senin, 21 Mei 2018

LEGENDA GUO INYIAK JANUN " MATUA HILIA MENUJU GEOPARK DUNIA"




Add caption






Legenda/ cerita asal muasal Guo Inyiak Janun disusun dalam upaya melengkapi data kebudayaan Nagari Matua Hilia (agam) yang sedang merintis pengembangan objek wisata ini menuju objek wisata yang diakui dunia dalam badan GEOPARK RANAH MINANG (GRM). Penyusuan  cerita ini didasarkan kepada wawancara dengan tokoh masayarakat Nagari Matua Hilia terutana Pemimpian Pasukuaan (Datuak) pemilik Guo Inyiak Janun ini. Upaya ini semoga tidak merusak keseimbangan dan tatanan masyarakat Nagari Matua Hilia. Terlebih, penulis menyusun cerita ini sebagai bentuk "kasih" untuk tanah yang telah membesarkan hingga menjadi seperti saat sekarang ini. Salam Pariwisata..

LEGENDA GUO INYIAK JANUN


Guo Inyiak Janun berada di Jorong Bukik Siriah, Nagari Matua Hilia, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam Sumatera Barat. Guo ini, sangat potensial dikembangkan menjadi wisata alam yang menawan. Stalaktid dan stalakmid dalam Guo menjadi daya tarik utama. Selain itu, dari sisi ekonomi keberadaan burung layang-layang yang membuat sarang di dalamnya juga sangat membantu perekonomian masyarakat jika dikelola dengan baik.
Dalam hukum adat Nagari Matua Hilia, Guo Inyiak Janun merupakan Pusako Tinggi Pasukuan Caniago Payuang Panji Dt. Basa. Banyak cerita yang berkembang tentang keberadaan guo ini. Sisi Mistis yang menyungkup keberadaan guo ini menambah nilai jual wisata yang saat ini mulai di rintis untuk dikembangkan menjadi objek wisata dunia, yakni Geowisata “GEOPARK”. Saat ini, Guo Inyiak Janun merupakan salah satu objek wisata yang diusulkan untuk menjadi Geopark yang diakui dunia melalui badan resmi yakni UNESCO. Objek wisata Guo Inyiak Janun diusulkan menjadi Geopark bersamaan dengan pengusulan Ngarai Sianok di Bukittinggi dan Lembah Harau di Kabupaten Limo Puluah Kota dalam satu nama, yakni Geopark Ranah Minang.
 Hikayat yang berkembang, asal muasal guo ini bernama Guo Inyiak Janun merujuk kepada kisah hidup seorang perempuan kuat dan mandiri yang pertama kali menemukan guo ini pada tahun 1870- an. Perempuan tersebut adalah Inyiak Janun. Pahitnya hidup, penderitaan, kesengsaraan, dan ketakutan yang disebabkan penjajahan Belanda memaksa Inyiak Janun membawa keluarganya meninggalkan pemukiman utama di nagari Matua Hilia yakni Jorong Batu Baselo untuk “ijok” mengunsi memasuki pedalaman Matua Hilia. Pelarian Inyiak Janun karna ketakutan atas penjajahan Belanda mengantarkannya pada sebuah guo yang lapang dan tersembunyi di sisi sebuah bukit di pedalaman Matua Hilia. Di sini untuk memenuhi kebutuhan hidup, Inyiak Janun berladang sirih dan menjualnya secara sembunyi-sembunyi ke Ford De Kock.
Setelah situasi lebih aman, Inyiak Janun mendirikan sebuah Rumah Gadang persis di atas Guo  dan tinggal menetap di situ bersama keluarganya. Selain itu, Inyiak Janun juga membuat sebuah pemandian persis di sisi guo yang bernama Pincuran Ruyuang. Setelah kemerdekaan, tempat tersebut tidak ditinggalkan namun didiami hingga sekarang. Bukit yang dijadikan sebagai tempat  berladang sirih di namai Bukit Sirih dan guo tersebut dinamai Guo Inyiak Janun untuk menunjukkan, bahwa yang pertama kali menemukan guo dan diakui sebagai pemilik guo adalah Inyiak Janun.
Keunikan lain yang sampai saat ini dipercaya oleh masyarakat adalah keberadaan penunggu gaib yang menjaga Guo Inyiak Janun. Penunggu tersebut di sebutkan adalah seekor harimau putih yang akan menampakan diri kepada orang-orang yang memiliki niat yang salah. Dt. Basa selaku pemimpin suku yang memiliki Guo Inyiak Janun menegaskan, bahwa di Guo Inyiak Janun berlaku sumpah sati “Ka Ateh Indak Bapucuk, Ka Bawah Indak Baurek, Di tangah di Giriak Kumbang” bagi siapa saja yang berniat “salah” di Guo Inyiak Janun. Hal ini tentunya sesuai dengan besarnya potensi Guo Inyiak Janun yang harus dijaga dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Datuak Basa

Datuak Indo dan Datuak Rajo Angek

Datuak Rajo Angek dan Datuak Basa


Sumber:
Hasanadi, SS dkk. 2013. Warisan Budaya Tak Benda di Propinsi Sumatera Barat. Padang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang.
Wawancara dengan Dt Basa, Dt, Indo, Dt Rajo Angek (Niniak Mamak Nagari Matua Hilia, 20 Mei 2018)
Foto-Foto: Aswendi, S.HI.

Kamis, 17 Mei 2018

LEGENDA NGARAI SIANOK "PERAN STRATEGIS SASTRA DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH"


Folklore dalam wujud prosa rakyat atau cerita rakyat yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat  memiliki porsi dan peran sendiri dalam pengembangan Pariwisata suatu daerah. Seolah telah menjadi "kewajiban" bagi setiap kebudayaan yang ada di dunia ini untuk menyungguhkan cerita dan menempelkannnya kepada sesuatu, baik daerah, situs, dan  benda yang dianggap bernilai tinggi. Folklore dapat dijadikan landas penentu pengembangan lokasi wisata baru ataupun mendongkrak popularitas objek wisata. Tentu saja cerita tersebut perlu dikemas atau "dimanipulasi" dalam rangka menarik pengunjung. Di Sumatera Barat banyak objek wisata yang berhasil berkembang dengan memberdayakan warisan folklore yang ada seperti Pantai Air Manis dengan cerita Aasal Usul Batu Malin Kundang; Gunug Padang dengan cerita Siti Nurbaya; Panorama Danau Maninjau dengan cerita Bujang Sambilan; Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat dengan cerita Sangkuriang. Bukan kebenaran dari cerita tersebut yang menjadi patokan, namun nilai kehidupan yang membangun karakter seperti sikap jujur, sikap religus/ ketaatan kepada pencipta, sikap tanggung jawab, sikap disiplin, sikap kerja keras, sikap kreatif, sikap mandiri, sikap demokratis yang tercermin dalam setiap cerita yang disuguhkanlah yang menjadi tujuan utama. Lebih lanjut, pemberdayaan folklore untuk mengangkat lokasi wisata secara tidak langsung juga telah berubah menjadi salah satu proses perlindungan terhadap folklore dan pengetahuan tradisional. 
 Selain itu, “ketikapastian atau unsur mistis" dari cerita tersebut menjadi maknet kuat pengunjung datang ke lokasi wisata. Rasa penasaran pembaca menjadi point penting lokasi wisata menjadi primadona. 
Bukittinggi adalah kota dengan sejarah dan budaya yang khas. Bukittinggi bermula dari Nagari Kurai yang merupakan nagari pertama terbentuk setelah 13 orang ninik mamak pindah dari Pariangan Padang Panjang ke Luhak Agam. Angka 13 (jumlah ninik mamak tersebut) diabadikan menjadi nama Jorong Tigo Baleh. Perkembangan dari keturunan 13 orang ninik mamak tersebut akhirnya mendirikan empat jorong tambahan, yakni Jorong Mandiangin, Jorong Gurun Panjang, Jorong Aur Birugo, dan Jorong Koto Selayan. Kelima jorong tersebut membentuk sebuah nagari yang dikenal dengan nama Nagari Kurai V Jorong.
Dari sisi sumber daya alam, Bukittinggi memiliki sebuah panorama indah yang memiliki nilai jual tinggi, terutama dari aspek pariwisatanya. Panorama alam tersebut adalah PanoramaNgarai Sianok.
Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam yang memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota dari selatan Ngarai Koto Gadang sampai ke nagari Sianok Anam Suku, dan berakhir di Kecamatan  Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang sangat indah dan juga menjadi salah satu objek wisata andalan di Sumatera Barat terutama di Kota Bukittinggi.
Ngarai Sianok dengan kedalaman lebih kurang 100 m ini, membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m merupakan bagian dari patahan (patahan semanka) yang memisahkan Pulau Sumatera menjadi dua bagian memanjang. Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau—hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal). Di dasar ngarai mengalir  sungai jernih yang terkenal dengan nama Batang Sianok.
Dahulunya Ngarai Sinaok ini disebut karbouwengat atau kerbau sanget. Penamaan ini bermula dari banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai ini. Disepanjang Batang Sianok masih banyak terdapat tumbuhan langka seperti Raflesia dan tumbuhan obat-obatan. Fauna yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul, dan juga tapir.  
Menurut hasil pengkajian  ilmiah, Ngarai Sianok merupakan daerah endapan piroklastik dari Gunung Merapi dan Gunung Singggalang. Peristiwa terjadinya endapan piroklastik ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan berangsur secara perlahan-lahan (tidak langsung terbentuk endapan tebal). Kemudian baru terjadi patahan sebagaimana yang kita lihat pada saat sekarang ini.
Ngarai Sianok terjadi akibat pergeseran bumi secara horizontal, dengan jarak pergeseran 2 mm per hari. Hal ini menunjukkan bagaimana pergerakan yang aktif pada ngarai sianok secara khusus atau deretan patahan semangka pada umumnya. Patahan semangka ini terbentang di bagian selatan pulau Sumatera yang biasanya dikenal dengan deretan bukit barisan. Patahan semangka ini terjadi akibat tumbukan dua lempeng yaitu lempeng india dan lempeng indo astralia.
Patahan semangka di Ngarai Sinaok adalah patahan yang terbuka dan sekaligus sebagai recharge area yaitu daerah pengisian air atau daerah resapan air yang nantinya akan dialirkan dan disimpan pada lapisan akuifer, sehingga jika dilakukan pengeboran air di Ngarai Sianok tidak akan ditemukan air dalam jumlah besar karena air hujan yang serap pada daerah ini di teruskan atau dialirkan pada lapisan aquifer dibawahnya. Contoh lainnya adalah debit air sungai di lembah sianok yang kecil akibat sebahagian airnya terserap dan teralirkan ke lapisan aquifer.

LEGENDA NGARAI SIANOK.

Sang Sapurba (Siri Maharaja Diraja) datang ke Minangkabau bersama  pembantunya yakni Cati Bilang Pandai dan empat orang  pengawal pribadinya, yaitu Harimau Campo, Kuciang Siam, kambiang Hutan dan Anjiang Mualim. Sesampainya di Minangkabau, Sang Sapurba menikah  dengan Puti Indo Jalito adik Datuak Suri Dirajo. Sang Sapurba dinobatkan menjadi raja dengan gelar Maharajadiraja dan bertahta di Lagundi Nan Baselo  yang merujuk kepada Kerajaan Pagaruyuang
Selain didampingi Cati Bilang Pandai dan Harimau Campo, Kucing Siam, Kambiang Hitam, Anjing Mu"alim Sang Sapurba dikawal oleh panglima perang dan pengawal terbaik Sang Sapurba yang bergelar Kati Muno. Kesaktian dan kesetiaan Kati Muno kepada Sang Sapurba membuat Sang Sapurba sangat mempercayainya. Bersama Sang Sapurba, Kati Muno menetap dan sering melakukan perjalanan hingga ke pedalaman Minangkabau. 
Sang Sapurba memiliki tubuh tinggi besar, sakti  dan memiliki kulit yang keras. Di Minangkabau, Katik Muno tergoda untuk menjadi penguasa di negeri yang indah dan permai. Ia berfikir bahwa, sifat lemah lembut orang Minangkabau dalam menyambut tamu disebabkan karna rasa takut melihat keperkasaan rombongan Sang Sapurba. Di dorong oleh keinginan menjadi salah satu raja di Minangkabau, tabiat Katik Muno dari orang yang taat beribadah, lemah lembut berubah menjadi orang yang sangat jahat. Kejahatannya menimbulakn penderitaan, kesengsaraan, dan ketakutan yang teramat sangat bagi penduduk Minangkabau. Kejahatannya menyebar hingga ke seluruh negeri Minangkabau hingga masyarakat menggelarinya Nago Kati MunoUla Nan Gadang, Pahabih padi di ladang”.
Hal ini tentunya menimbulkan pertentangan dengan Sang Sapurba yang bertahta di Batu Gadang yang merasa dikhianati dan dipermalukan. Untuk menghindari percekcokan dengan Sang Sapubra, Katik Muno bartarak merubah wujudnya menjadi naga raksasa dan membagi Pulai Paco menjadi dua bagian. Satu bagian untuk Sang Sapurba dan bagian yang lain untuk dirinya. Batas wilayah pembagian ini ditandai dengan ngarai (jurang)  yang sangat dalam. Di dasar ngarai tersebut mengalir api yang panas, sehingga masing-masing penduduk tidak dapat saling mengunjungi.
Hal ini memancing kemarahan pimpinan Minangkabau Datuak Suri di Radjo. Datuak Suri Diradjo mengutus empat penghulu yang berada di Pariangan, yakni Dt.Bandaro Kayo, Dt. Seri Maharajo, Dt. Sutan Maharajo Basa, Dt. Maharajo Basa untuk menemuai Sang Sapurba dengan titah Sang Sapurba harus membinasakan Katik Muno yang telah berusaha memecah dan merusak keseimbangan Alam Minangkabau.
Memenuhi permintaan Datuak Suri Diradjo, Sang Sapurba mengundang Katik Muno untuk bertemu di Batu Gadang. Dalam pertemuan tersebut terjadi peperangan antara Sang Sapurba dan Katik Muno. Pertarungan berlangsung berhari-hari dan menyebabkan pedang Sang Sapurba sumbing sebanyak 90 buah.
Peperang ini tentunya sangat melelahkan dan menimbulkan ketakutan bagi penduduk. Untuk mengakhiri peperangan ini, Sang Sapurba teringat pernyataan Katik Muno saat masih setia padanya, yakni Katik Muno menyebutkan, bahwa tak ada satupun senjata yang dapat mengakhiri hidupnya selain sebilah keris yang dibuatnya sendiri dan diberinya nama Keris Nago Kati Muno. Teringat hal tersebut, Sang Sapurba menggunakan kecerdikannya. Ia mengatakan kepada Katik Muno, bahwa ia mengaku kalah. Sebagai bentuk kekalahannya, Sang Sapurba mempersilahkan Katik Muno untuk mendiami istananya di Batu Gadang. Merasa telah menang, Katik Muno dengan angkuh memasuki istana Batu Gadang dan beristirahat. Di saat Katik Muno beristirahat, Sang Sapurba mencuri Keris Nago Katik Muno.
Setelah berhasil mencuri keris tersebut, Sang Sapurba kembali menantang Katik Muno untuk bertarung dan mengeluarkan hinaan bahwa katik Muno adalah sampah masyarakat, kacang lupo ju kuliknyo. Murka karna di hina, Katik Muno menyetujui untuk kembali bertarung. Dalam pertarungan ini, Sang Sapurba membunuh Katik Muno dengan menggunakan senjata Katik Muno sendiri, yakni Keris Nago Katik Muno.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Katik Muno mengakui kesalahannya. Untuk menembus kesalahannya, Katik Muno menyatakan bahwa ngarai dalam dan aliran api yang diciptakannya untuk membagi Minangkabau menjadi dua bagian akan menjadi penyatu dan berkah bagi masyarakat Minangkabau. Api di dasar jurang tersebut akan menjadi air yang jernih dan menjadi sumber penghidupan masyarakat. Di Sepanjang aliran sungai akan terdapat berbagai tumbuhan yang telah menyerap kesaktiannya dan akan berguna untuk penyembuhan berbagai penyakit. Selain itu, Katik Muno juga mengeluarkan kutukan jika ada yang meniru kelakuan jahatnya, maka kehancuran akan menimpa dan merusak keseimbangan Alam Minangkabau.
Bukti pertobatan Katik Muno,  ngarai  yang menakutkan dan dialiri api berubah menjadi ngarai yang indah. Aliran api di dasar ngarai berubah menjadi aliran sungai dengan air yang jernih. Di sepanjang aliran sungai banyak terdapat tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi masayarakat sesuai dengan apa yang dikatakan Katik Muno sebelum meninggal.
Setelah kejadian tersebut, ngarai yang curam yang sungai didasarnya diberi nama Ngarai Si Anok dan Batang Si Anok = “ Ngarai pemimpin yang bijaksana/ Batang air pemimpin yang bijaksana”= untuk sebutan kepada pemimpian Minangkabau (Datuak Suri Di Rajo) dan penghargaan atas jasa Sang Sapurba yang telah membinasakan Nago Katik Muno.

Wallahua’alam.  Namun, kebenarannya adalah:
1.            Keangkuhan, kesombongan, dan ketamakan adalah awal dari kehancuran. Tidak ada yang abadi. Kekuatan, kekuasaan adalah ujian agar tetap menjadi hamba yang Qana’ah.
2.            Pertobatan yang sesungguhnya akan menghasilkan buah yang manis. Seperti halnya Katik Muno, kesombongan, keangkuhan, dan ketamakannya telah mengantarnya kepada kematian dan kutukan. Pertobatan yang  sebenarnya telah membuat masyarakat bersedia memaafkan kesalahnnya.
3.            Kesabaran dan keikhlasan untuk memaafkan telah memberikan masyarakat anugrah yang tak ternilai. Ngarai Sianok saat ini menjadi salah satu objek wisata yang menjerat banyak wisatawan untuk datang menganguminya. Keindahan Ngarai Sianok juga telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk meraih kesejateraan dengan memanfaatkan aspek pariwisatanya.

Sumber Kajian Ilmiah Ngarai sinanok
http://pustakatambang.blogspot.co.id/2012/06/ngarai-sianok.html
Cerita ini disusun berdasarkan kisah-kisah mistis tentang Ngarai sianok, serta kisah-kisah mistis yang ada di Minangkabau. Untuk memperkuat cerita, penulis membaca berbagai Tambo Alam Minangkabau.   Penulis berharap, cerita ini tidak menjadi akhir dari kisah mistis Ngarai Sianok.Semoga, cerita ini tidak mengakhiri explore Ngarai Sianok dan merusak kesimbangan Alam Minangkabau.

Bismillah...

Salam Literasi

Rabu, 02 Mei 2018

BELANDA "PUN" MERAYAKAN ULANG TAHUN KOTA BUKITTINGGI


Kota Bukittinggi selalu / hampir selalu merayakan ulang tahun Kota Bukittinggi setiap tangal 22 Desember. Tapi tahukah anda bahwa Belanda juga pernah merayakan ulang tahun Kota Bukittinggi secara besar-besaran. Data ini dapat dilihat dari kutipan surat kabar berikut: 


Fort-de Kock 100 jaren oud!"Van 3 tot 9 Juni [1926] a.s. zullen te Fort-de-Kock groote feesten plaats hebben, seint onze correspondent te Padang, ter gelegenheid van het 100-jarig bestaan van deze plaats. Het initiatif tot de viering werd genomen door Maleische en Chineesche ingezetenen.”*** (Suryadi – Leiden University, Belanda/ Padang Ekspres, Minggu 28 Mei 2017)





Kutipan di atas adalah potongan laporan surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (Batavia) edisi 7 April 1926. Surat kabar tersebut memberitakan pesta besar-besaran yang akan digelar di Fort de Kock  (Bukittinggi) untuk memperingati dan merayakan ulang tahun sebuah daerah pedalaman Minangkabau yang ke 100 (seratus) tahun. Daerah tersebut merupakan salah satu kota terpenting dalam penguasaan Belanda di Sumatera Tengah. Kota tersebut merupakan basik Belanda di Minangkabau. 



Seperti dapat dibaca dalam kutipan di atas, pesta ulang tahun tersebut akan berlangsung selama seminggu, dari 3 sampai 9 Juni 1926 yang diselenggarakan atas inisiatif penduduk Fort de Kock, baik pribumi maupun warga Tionghoa (disebut ‘Maleisch en Chineesche ingezeten’).



Bedasarkan laporan ini, dapat diketahui bahwa hari kelahiran kota Fort de Kock (kini Bukittinggi) adalah pada 3 Juni 1826 (sederhana sekali untuk menentukan hari lahirnya, yakni 3 Juni 1826 - 100 Tahun). Berdasarkan laporan ini pula dapat dihitung bahwa pada tanggal 3 Juni 2018 nanti, kota Bukittinggi akan berusia 192 tahun.



Hal ini tentunya sangat berbeda dengan versi Pemerintah Kota Bukittinggi. Pemerintah Kota Bukittinggi menetapkan, bahwa hari lahir kota Bukittinggi adalah 22 Desember 1784. Penetapan ini ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bukittinggi Nomor: 188.45.117/1988, ditandatangani oleh Drs. H.B. Burhanudin selaku Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bukittinggi.



Di dalam SK ini dituliskan, bahwa penetapan tanggal 22 Desember 1784 sebagai hari jadi Kota Bukittinggi didasarkan kepada pengkajian dan penelitian yang telah dilakukan. Berdasarkan SK ini, pada tanggal 22 Desember 2018 nanti Kota Bukittinggi akan berusia 234 tahun.


SK Penetapan Hari Jadi Kota Bukittinggi
 



Perbedaan ini tentunya bukanlah suatu celah untuk "menjatuhkan" ataupun "merusak" sesuatu yang telah ada. Namun, data sejarah ini seyogyanya akan menjadi "satu"  titik awal sebuah pengkajian ilmiah lainnya. Setidaknya, data sejarah yang digunakan untuk penetapan 22 Desember 1784 sebagai hari jadi Kota Bukittinggi dan dasar perayaan ulang tahun yang digelar Belanda pada tanggal 3 Juni 1926  dapat/ memungkinkan untuk diangkat kepermukaan hingga menjadi data penting keilmuan untuk semakian kuatnya identitas serta keberadaan Kota Bukittinggi secara ilmiah. 



Bukankah sebuah hasil yang sempurna bersumber dari perbedaan yang bersinergi??

"Basilang kayu di tungku
Disinan api mangko hiduik
Buliah duduak bapaliang, asa di lapiak nan sahalai
Buliak tagak bakisa, asa di tanah nan sabingkah".



Daan,, satu data sejarah lagi membuktikan "pentingnya" Bukittinggi..



Salam Pariwisata,,Salam Minangkabau..


 


Minggu, 08 April 2018

IJAZAH TAREKAT NAQSYANDIYAH; IDENTITAS DAN WARISAN BUDAYA MINANGKABAU

Ijazah Cetak

Ijazah Tulisan Tangan
Naskah Ijazah Tarekat Naqsyabandiyah ini adalah bukti keberadaan tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau, karena melalui naskah ini dapat diungkap sejarah, dinamika dan perkembangan tarekat Naqsabandiyah di Minangkabau. 

Secara sosial budaya, naskah ini merupakan identitas, kebanggaan dan warisan yang berharga. Sebagai hasil kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional (local genius) naskah ijazah ini merupakan warisan budaya yang berisi beraneka ragam teks karya cipta masyarakat yang dapat digunakan untuk penelitian keagamaan. Yusuf 2006: 3 menyebutkan, bahwa naskah dapat digunakan untuk penelitian keagamaan, falsafah, kesejarahan, kesusastraan, kebahasaan, persoalan adat-istiadat, perundang-undangan, dan kajian-kajian dengan sudut pandang yang lain.  

Naskah Ijazah Tarekat Naqsyabandiyah ini berusia lebih kurang 84 tahun, dengan kondisi baik =huruf, kertas=. Naskah ijazah ini terdapat dengan dua versi, yakni ijazah tulisan tangan, dan cetak dengan hiasan "ilumitasion" dipinggirnya. 

Pada awalnya, naskah Ijazah ini tersimpan di Surau Tarekat Naqsyabandiyah (Surau Simpang Japan) yang terletak di Nagari Matua Hilia Kabupaten Agam. Naskah bertarikh 1355 H adalah milik Syeikh Imam Basa Diradjo, guru tarekat sekaligus pemilik surau tersebut. 

Naskah ijazah ini menjelaskan beberapa hal, diantaranya adalah:  

1. Ijazah diberikan kepada KACIAK bergelar IMAM
    BASA DIRADJO nagari MATUA HILIA suku
    CANIAGO
2. Hak pemilik Ijazah: Mengajarkan zikir dan tawajuh
   dalam Nagari Matua Hilia dan di tempat-tempat 
   yang mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah.
3. Tarekat yang diajarkan adalah Tarekat 
    Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Khalidiyah, dengan 
    Mursyid Ahmad Al- Faruq al-Sirhindi 
   (Imam Al Rabbani).
4. Asas / aturan yang harus dipatuhi dalam
    mengajarkan ajaran ini.
5. Ijazah dikeluarkan di Surau Baru Palembayan oleh
   Syeikh Muhammad Adam, memiliki cap/ stempel. 

Keberadaan Naskah ini menjadi salah satu data penting perjalanan intelektual di Minangkabau, khususnya daerah Agam (Agam-Bukittinggi). Naskah ijazah ini membuktikan bahwa, semenjak tahun 1934 masehi (1355 Hijriyah) di Minangkabau pengajaran ilmu agama adalah hal yang sangat penting. Sejarah juga mencatat, bahwa pejuang-pejuang tangguh kemerdekaan adalah orang-orang gagah berani dengan pengetahuan agama yang kuat.

SEKILAS TENTANG  TAREKAT NAQSYABANDIYAH

Istilah "tarekat' memiliki banyak pengertian. Ia bisa berarti 'jalan', 'tradisi', terutama kesufian, atau 'organisasi persaudaraan sufi'. Di Indonesia istilah Thariqah sering ditulis Tarekat berarti sebagai organisasi persaudaran sufi, sehingga tarekat dalam pengertian ini berarti pengorganisasian ajaran esoteris (khusus kesufian). Maknanya dekat dengan kata sirath (Jalan jembatan), syariat (jalan menuju sumber air), sabil (jalan). Oleh karena itu, tarekat mengandung tiga pengertian, yakni jalan lurus, praktek tasawuf, dan persaudaraan sufi.


Makna dari tarekat yang lainnya adalah persaudaraan sufi yang relative terorganisir menjadi kelompok sosial. dalam arti ini tarekat bukan hanya merupakan jalan spritual, namun juga merupakan organisasi sosial dalam arti perikatan yang dipersatukan oleh keyakinan dan peribadatan tertentu serta memiliki norma perilaku tertentu pula.

Tarekat sebagai kelompok sosial yang teratur, memiliki norma tertentu menjadikan lembaga "surau" sebagi pusat pendidikan maupun pusat pelaksanaan aktivitas ibadah. Surau juga merupakan titik tolak Islamisasi di Minangkabau. Sebagai pusat tarekat, surau juga menjadi benteng pertahanan Minangkabau terhadap berkembangnya dominasi kekuatan Belanda (Azra, 2003:34). Selain itu, sebagai pusat tarekat, surau juga menjadi tempat untuk konsentrasi gerakan bagi masing-masing golongan yang sedang berpolemik tentang paham keislaman yang terjadi di Minangkabau pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Dalam fungsinya yang terakhir, pada waktu itu surau menjadi institusi penting dalam proses transmisi berbagai pengetahuan Islam. Di surau itulah para ulama dari masing-masing golongan tarekat membangun jaringan guru-murid sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan yang sangat kompleks.

Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua", w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. 

Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten). 

Menurut Syaikh Najmuddin Amin al Kurdi dalam kitab Tanwirul Qulub, Naqsyabandiyah  berasal dari dua buah kata bahasa Arab, yakni naqsy dan band. Naqsy artinya ukiran atau gambar yang dicap pada sebatang lilin atau benda lain. Band artinya bendera atau layar besar. Secara keseluruhan kata Naqsyabandi berarti ukiran atau gambar yang terlukis pada suatu benda, melekat, tidak terpisah 5 lagi, seperti tertera pada sebuah bendera atau spanduk besar (Said, 1994: 7). Berdasarkan haltersebut, maka dinamakan Naqsyabandi karena Syaikh Bahaudin pendiri tarekat ini senantiasa berzikir mengingat Allah berkepanjangan, sehingga lafaz Allah itu terukir melekat ketat dalam kalbunya.






Rabu, 28 Maret 2018

BAGURAU SALUANG JO DENDANG ; TRADISI UNTUK PARIWISATA

Foto wikipedia.org


Foto dari wikipedia.org

“Bagurau Saluang jo Dendang
Tradisi Minangkabau Untuk Meningkatkan Kesejateraan Masyarakat Dan Pariwisata 

 
Minangkabau merupakan wilayah budaya yang kaya dengan tradisi. Tradisi budaya Minangkabau ini tumbuh dan berkembang sebagai tradisi budaya rakyat, yang berakar pada sistem kekerabatan Minangkabau yang bersifat matrilinial. Tradisi budaya ini sekaligus mencerminkan dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau, sesuai dengan falsafah adatnya Alam Takambang Jadi Guru, sakali aie gadang, sakali tapian barubah. Dinamika perkembangan tradisi budaya Minangkabau, semenjak akhir tahun 60 an terjadi begitu cepat. Banyak perubahan dan pergeseran yang cukup penting terjadi dalam kehidupan orang Minangkabau. Salah satu perkembangan yang menarik adalah perkembangan dalam kehidupan seni pertunjukannya, terutama pertunjukan bagurau saluang dan dendang, yang bergeser hingga kini memberikan ruang untuk kaum perempuan tampil sebagai pelaku utama dalam kegiatan budaya tradisi tersebut .

 Bagurau saluang jo dendang, merupakan salah satu seni tradisi pertunjukan yang penting di Minangkabau, dan tradisi ini telah tumbuh sejak lama, dan telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang menarik. Secara sederhana dapat dijelaskan, bentuk tradisi bagurau saluang jo dendang, adalah sebuah pertunjukan musikal dengan menggunakan alat tiup bambu (saluang) sebagai instrumen pengiring, dan nyanyian (dendang) sebagai media menyampaikan pesan-pesan dalam bentun pantun.

Melalui tradisi pertunjukan bagurau saluang jo dendang, kita akan menemukan berbagai aspek budaya Minangkabau yang spesifik, seperti tradisi lisan sebagai refleksi dari budaya lisan orang Minangkabau dan hubungan sosial dan tradisi budaya Minangkabau yang menopangnya. Berdasarkan hal tersebut, kesenian Bagurau Saluang jo Dendang , dapat dikaji untuk melihat nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau.

Pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang juga dipengaruhi oleh pertunjukan randai.Ba-randai di Minangkabau, merupakan hasil kebiasaan masyarakat untuk melakukan dialog dengan menggunakan bahasa ibarat, pantun, kiasan dan pepatah-petitih.  Kebiasaan ini menyebabkan masyarakat mudah berintekrasi dalam pertunjukan Bagurau Saluang jo Dengang, sebab syair-syair yang didendangkan merupakan pantun-pantun yang penuh ibarat, kiasan dan pepatah-petitih. Dengan demikian, istilah bagurau ataupun barandai dalam tradisi budaya masyarakat Minangkabau, merupakan suatu tradisi keseharian atau merupakan suatu konsep sosial yang hidup dalam diri orang Minangkabau.

Dalam  pertunjukan bagurau saluang dan dendang seluruh senimannya bermain sambil duduk, dengan membentuk pola setengah lingkaran. Kalau mereka mengadakan pertunjukan di atas panggung, sejauh masih ada tempat, penontonnya juga boleh ikut duduk di atas panggung. Kalau bermain di dalam rumah, semua orang akan duduk bersama, dan biasanya akan mengelilingi para seniman pertunjukan bagurau saluang dan dendang ini. Namun ada juga pertunjukan bagurau saluang dan dendang yang dilakukan sambil berjalan untuk mengiringi prosesi upacara perkawinan. Para seniman saluang ini diminta untuk mengiringi mempelai sambil meniup saluang dan berdendang. Namun bentuk pertunjukan ini sangat jarang terjadi, dan hanya ada di dua atau tiga tempat di Sumatra Barat.

Pertunjukan bagurau saluang dan dendang sebagaimana lazimnya kesenian rakyat, bentukya sederhana, dan tidak menuntut persyaratan-persyaratan artistik pemanggungan yang rumit. Pada dasarnya pertunjukan bagurau saluang dan dendang ini bisa dimainkan di mana saja, dan yang lebih diutamakan adalah bentuk pertunjukan yang dapat akrab (dialogis) dengan penontonnya. Ditampilkan dalam suatu kelompok, dan minimal anggotanya tiga orang, dengan satu orang peniup saluang dan dua orang pendendang. Lagu-lagu yang dimainkan ratusan banyaknya, namun dalam tradisi bagurau kita bisa melihat bahwa lagu pertama dan lagu terakhir selalu “hampir” sama.  Lagu Pertama yang didendangkan adalah Lagu Singgalang dan lagu terakhir adalah lagu jalu-jalu. Lagu ini yang memiliki puluhan judul, akan dinyanyikan sebagai lagu pembuka, yang isi pantunyanya sebagai berikut: 

Lagu Pembukaan

SINGGALANG  

Cupak panuah gantang balanjuang
Ka cupak urang ka tigo luhak
Jatuah ka Alam Minangkabau
Hanyo sambah salam dianjuang
Rila jo maaf kami mintak
Ukua jo jangko kok talampau


Baringin di Pakan Akaik
Di laman kantua nagari
Dek yakin awak baniak
Bagurau juo samalam kini

Setelah lagu ini dinyanyikan, biasanya penonton akan memintak lagu kesukaannya, dan jika belum ada permintaan, maka tukang dendang akan memilih sendiri lagu yang akan mereka nyanyikan. Mulai dari lagu-lagu yang bernada gembira dan menghibur, sampai dengan lagu-lagu yang bernada sedih dengan pantun-pantun yang penuh dengan ratapan. Namun pada akhirnya, sesaat sebelum pertunjukan bagurau saluang dan dendang berakhir, lagu terakhir yang akan dinyanyikan adalah lagu penutup yang disebut dengan Jalu-jalu, yang isi syairnya seperti di bawah ini.


Lagu Penutup

JALU-JALU

Pukua ampek dek lah datang
Jalau-jalu sobaik iko sajo
Awak baniyaik marantang panjang
Tuan baniyaik mangusuiknyo


 Batu merah ambiak panembok
Panembok sumua tampek mandi
Barila-rila mangko ka elok
Ibraik urang bajua bali


Mandaki kito mandaki
Nan kalua ka jalan gadang
Gurau di siko dulu
Di lain hari nak kito ulang


Setelah lagu Jalu-jalu selesai didendangkan, maka secara otomatis pagurau (pacandu gurau) akan membubarkan diri.

Selain itu, pertunjukan Bagurau saluang jo dengang memberikan tempat untuk semua generasi. Pada paro malam pertama yakni antara pukul 21.00 sampai dengan pukul 24.00, biasanya jenis lagu-lagu yang dimainkan atau yang dimintak penonton adalah lagu-lagu yang gembira, menghibur dan pantun yang dinyanyikan pantun muda . Sedangkan paro malam kedua yakni sekitar pukul 24.00 hingga dengan pukul 04.00, lagu-lagu yang ditampilkan adalah jenis lagu ratapan yang disebut lagu ratok. 

Nada-nada yang dihasilkan pertunjukan Bagurau saluang dan dendang memang terdengar seperti meratap, dan lagu-lagu inilah yang dianggap sebagai lagu klasik (tradisi) dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang. Biasanya penonton yang hadir pada paroh malam kedua ini, adalah penonton yang sudah berumur relatif tua dan merupakan penonton yang serius, yang disebut dengan pencandu gurau.


Dalam pertunjukan bagurau saluang jo dendang, ada satu lagi figur yang sangat penting selain dari tukang saluang dan tukang dendang, yakni Janang. Janang berfungsi sebagai orang yang akan mengatur irama pertunjukan, sehingga bisa berjalan dengan semarak dan hidup. Seorang Janang yang bagus akan dapat menghimpun dana masyarakat yang lebih besar melalui sumbangan yang diberikan penonton. 

Tugas utama seorang Janang adalah memilih dan membacakan kertas-kertas pesanan lagu yang dibuat oleh penonton. Selain menyebutkan apa lagu yang diminta, siapa yang meminta, Janang juga biasanya membacakan jumlah sumbangan yang diberikan. Tidak jarang dari kertas-kertas pesanan, yang sebelumnya dibagikan panitia pelaksana pada penonton, selain menuliskan nama lagu juga ada pantun-pantun, yang ditujukan pada kelompok tertentu yang hadir dalam pertunjukan bagurau saluang dan dendang tersebut. Kadang-kadang Janang juga memberikan tambahan dengan maksud agar pertunjukan berjalan dengan dinamis.

Selain untuk melihat nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau, pertunjukan bagurau saluang jo dendang memiliki beberapa fungsi, yakni: (1) forum dialog estetis; (2) sarana komunikasi; (3) fungsi ekspresi emosi; (4) sarana pengintegrasian masyarakat; (5) sarana kesinambungan kebudayaan; (6) fungsi ekonomi; (7) pembelajaran budaya; dan (8) sarana memunculkan konflik.

Berdasarkan fungsi tersebut (Fungsi ekonomi), Pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang berfungsi untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat.  Pelestarian sejalan dengan upaya meningkatkan kesejateraan masyarakat, sesuai dengan tujuan pengembangan pariwisata nasional, yakni pengembangan/pembangunan kepariwisataan bertumpu pada keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya  dengan tidak mengabaikan kebutuhan masa yang akan datang, sehingga diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi yang memberi manfaat meningkatkan kesejateraan masyarakat (Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No. 14 tahun 2016).

Pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang dalam menunjang Pariwisata berada pada posisi menjadi “maknet” untuk memikat wisatawan. Artinya, keunikan pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang dapat dijual kepada wisatawan dalam paket wisata. Wisatawan yang datang untuk menghadiri- sekedar menonton atau terlibat sebagai pagurau- akan memberikan umpan balik ekonomi bagi masyarakat, yakni pemasukan. Pemasukan ekonomi tentunya tidak hanya akan diterima oleh pelaku pertunjukan, namun juga akan memberi dampak ekonomi bagi banyak pihak.
  Bagian pertunjukan Bagurau Saluang jo Dendang yang mengambarkan secara jelas fungsi ekonomi adalah pemesanan pantun. Dalam pertunjukan Bagurau Saluang jo dendang, pantun yang pesan oleh Pacandu Gurau (Pagurau) baru akan dinyanyikan tukang dendang jika Pacandu Gurau telah mengeluarkan uang yang sesuai[1].  

Fungsi ekonomi pertunjukan Bagurau Saluang Jo Dendang juga dapat dilihat dari pertunjukan Bagurau saluang jo dendang yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan keuangan nagari, seperti untuk memperbaiki jalan, membangun mushalla dan mesjid, memperbaiki sarana olahraga, serta memelihara maupun membangun fasiltas publik lainnya.  


Salam....



[1] Nilai uang tidak ditetapkan, namun yang membayar lebih mahal maka pantunnya yang lebih dahulu dinyanyikan.


  .