Folklore dalam wujud prosa rakyat atau cerita rakyat yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat memiliki porsi dan peran sendiri dalam pengembangan Pariwisata suatu
daerah. Seolah telah menjadi "kewajiban" bagi setiap kebudayaan yang
ada di dunia ini untuk menyungguhkan cerita dan menempelkannnya kepada sesuatu,
baik daerah, situs, dan benda yang
dianggap bernilai tinggi. Folklore dapat dijadikan landas penentu pengembangan lokasi wisata baru ataupun mendongkrak popularitas objek wisata. Tentu saja cerita tersebut perlu dikemas atau "dimanipulasi" dalam rangka menarik pengunjung. Di Sumatera Barat banyak objek wisata yang berhasil berkembang dengan memberdayakan warisan folklore yang ada seperti Pantai Air Manis dengan cerita Aasal Usul Batu Malin Kundang; Gunug Padang dengan cerita Siti Nurbaya; Panorama Danau Maninjau dengan cerita Bujang Sambilan; Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat dengan cerita Sangkuriang. Bukan kebenaran dari cerita tersebut yang menjadi patokan, namun nilai kehidupan yang membangun karakter seperti sikap jujur, sikap religus/ ketaatan kepada pencipta, sikap tanggung jawab, sikap disiplin, sikap kerja keras, sikap kreatif, sikap mandiri, sikap demokratis yang tercermin dalam setiap cerita yang disuguhkanlah yang menjadi tujuan utama. Lebih lanjut, pemberdayaan folklore untuk mengangkat lokasi wisata secara tidak langsung juga telah berubah menjadi salah satu proses perlindungan terhadap folklore dan pengetahuan tradisional.
Selain itu, “ketikapastian atau unsur mistis" dari cerita tersebut menjadi maknet kuat pengunjung datang ke lokasi wisata. Rasa penasaran pembaca menjadi point penting lokasi wisata menjadi primadona.
Bukittinggi adalah kota dengan sejarah dan budaya yang khas. Bukittinggi bermula dari Nagari Kurai yang merupakan nagari pertama terbentuk setelah 13 orang ninik mamak pindah dari Pariangan Padang Panjang ke Luhak Agam. Angka 13 (jumlah ninik mamak tersebut) diabadikan menjadi nama Jorong Tigo Baleh. Perkembangan dari keturunan 13 orang ninik mamak tersebut akhirnya mendirikan empat jorong tambahan, yakni Jorong Mandiangin, Jorong Gurun Panjang, Jorong Aur Birugo, dan Jorong Koto Selayan. Kelima jorong tersebut membentuk sebuah nagari yang dikenal dengan nama Nagari Kurai V Jorong.
Dari sisi sumber daya alam, Bukittinggi memiliki sebuah panorama indah yang memiliki nilai jual tinggi, terutama dari aspek pariwisatanya. Panorama alam tersebut
adalah PanoramaNgarai Sianok.
Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam yang memanjang dan berkelok sebagai garis
batas kota dari selatan Ngarai Koto Gadang sampai
ke nagari Sianok Anam Suku, dan berakhir di Kecamatan Palupuh.
Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang sangat indah dan juga menjadi salah
satu objek wisata andalan di Sumatera Barat
terutama di Kota Bukittinggi.
Ngarai Sianok dengan kedalaman lebih
kurang 100 m ini, membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m merupakan
bagian dari patahan (patahan semanka) yang memisahkan Pulau Sumatera menjadi
dua bagian memanjang. Patahan ini membentuk dinding yang
curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau—hasil dari gerakan
turun kulit bumi (sinklinal). Di dasar ngarai mengalir sungai jernih yang terkenal dengan nama Batang Sianok.
Dahulunya Ngarai Sinaok ini disebut karbouwengat atau kerbau
sanget. Penamaan ini bermula dari banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di
dasar ngarai ini. Disepanjang Batang Sianok masih banyak terdapat tumbuhan
langka seperti Raflesia dan tumbuhan obat-obatan. Fauna
yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul, dan juga tapir.
Menurut hasil pengkajian ilmiah, Ngarai
Sianok merupakan daerah endapan piroklastik dari Gunung Merapi dan Gunung
Singggalang. Peristiwa terjadinya endapan piroklastik ini terjadi ribuan tahun
yang lalu dan berangsur secara perlahan-lahan (tidak langsung terbentuk
endapan tebal). Kemudian baru terjadi patahan sebagaimana yang kita lihat pada
saat sekarang ini.
Ngarai Sianok terjadi akibat pergeseran bumi secara horizontal, dengan
jarak pergeseran 2 mm per hari. Hal ini menunjukkan bagaimana pergerakan yang
aktif pada ngarai sianok secara khusus atau deretan patahan semangka pada
umumnya. Patahan semangka ini terbentang di bagian selatan pulau Sumatera yang
biasanya dikenal dengan deretan bukit barisan. Patahan semangka ini terjadi
akibat tumbukan dua lempeng yaitu lempeng india dan lempeng indo astralia.
Patahan semangka di
Ngarai Sinaok adalah patahan yang terbuka dan sekaligus sebagai recharge area yaitu daerah pengisian air
atau daerah resapan air yang nantinya akan dialirkan dan disimpan pada lapisan
akuifer, sehingga jika dilakukan pengeboran air di Ngarai Sianok tidak akan
ditemukan air dalam jumlah besar karena air hujan yang serap pada daerah ini di
teruskan atau dialirkan pada lapisan aquifer dibawahnya. Contoh lainnya adalah
debit air sungai di lembah sianok yang kecil akibat sebahagian airnya terserap
dan teralirkan ke lapisan aquifer.
LEGENDA NGARAI SIANOK.
Sang Sapurba (Siri Maharaja Diraja) datang ke Minangkabau bersama pembantunya yakni Cati Bilang Pandai dan empat orang pengawal pribadinya, yaitu Harimau Campo, Kuciang Siam, kambiang Hutan dan Anjiang Mualim. Sesampainya di Minangkabau, Sang Sapurba menikah dengan Puti Indo Jalito adik Datuak Suri Dirajo. Sang Sapurba dinobatkan menjadi raja dengan gelar Maharajadiraja dan bertahta di Lagundi Nan Baselo yang merujuk kepada Kerajaan Pagaruyuang.
Selain didampingi Cati Bilang Pandai dan Harimau Campo, Kucing Siam, Kambiang Hitam, Anjing Mu"alim Sang Sapurba dikawal oleh panglima perang dan pengawal terbaik Sang Sapurba yang bergelar Kati Muno. Kesaktian dan kesetiaan Kati Muno kepada Sang Sapurba membuat Sang Sapurba sangat mempercayainya. Bersama Sang Sapurba, Kati Muno menetap dan sering melakukan perjalanan hingga ke pedalaman Minangkabau.
Sang Sapurba memiliki tubuh tinggi besar, sakti dan memiliki kulit yang keras. Di Minangkabau,
Katik Muno tergoda untuk menjadi penguasa di negeri yang indah dan permai. Ia
berfikir bahwa, sifat lemah lembut orang Minangkabau dalam menyambut tamu disebabkan
karna rasa takut melihat keperkasaan rombongan Sang Sapurba. Di dorong oleh
keinginan menjadi salah satu raja di Minangkabau, tabiat Katik Muno dari orang
yang taat beribadah, lemah lembut berubah menjadi orang yang sangat jahat. Kejahatannya
menimbulakn penderitaan, kesengsaraan, dan ketakutan yang teramat sangat bagi
penduduk Minangkabau. Kejahatannya menyebar hingga ke seluruh negeri
Minangkabau hingga masyarakat menggelarinya Nago
Kati Muno “Ula Nan Gadang, Pahabih
padi di ladang”.
Hal ini tentunya menimbulkan pertentangan dengan Sang Sapurba
yang bertahta di Batu Gadang yang merasa dikhianati dan dipermalukan. Untuk
menghindari percekcokan dengan Sang Sapubra, Katik Muno bartarak merubah wujudnya menjadi naga raksasa dan membagi Pulai
Paco menjadi dua bagian. Satu bagian untuk Sang Sapurba dan bagian yang lain
untuk dirinya. Batas wilayah pembagian ini ditandai dengan ngarai (jurang) yang sangat
dalam. Di dasar ngarai tersebut
mengalir api yang panas, sehingga masing-masing penduduk tidak dapat saling
mengunjungi.
Hal ini memancing kemarahan pimpinan Minangkabau Datuak Suri di
Radjo. Datuak Suri Diradjo mengutus empat penghulu yang berada di Pariangan, yakni
Dt.Bandaro Kayo, Dt. Seri Maharajo, Dt. Sutan Maharajo Basa, Dt. Maharajo Basa
untuk menemuai Sang Sapurba dengan titah Sang Sapurba harus membinasakan Katik Muno yang telah berusaha memecah dan merusak
keseimbangan Alam Minangkabau.
Memenuhi permintaan Datuak Suri Diradjo, Sang Sapurba mengundang
Katik Muno untuk bertemu di Batu Gadang. Dalam pertemuan tersebut terjadi
peperangan antara Sang Sapurba dan Katik Muno. Pertarungan berlangsung
berhari-hari dan menyebabkan pedang Sang Sapurba sumbing sebanyak 90 buah.
Peperang ini tentunya sangat melelahkan dan menimbulkan
ketakutan bagi penduduk. Untuk mengakhiri peperangan ini, Sang Sapurba teringat
pernyataan Katik Muno saat masih setia padanya, yakni Katik Muno menyebutkan,
bahwa tak ada satupun senjata yang dapat mengakhiri hidupnya selain sebilah
keris yang dibuatnya sendiri dan diberinya nama Keris Nago Kati Muno. Teringat hal tersebut, Sang Sapurba
menggunakan kecerdikannya. Ia mengatakan kepada Katik Muno, bahwa ia mengaku
kalah. Sebagai bentuk kekalahannya, Sang Sapurba mempersilahkan Katik Muno
untuk mendiami istananya di Batu Gadang. Merasa telah menang, Katik Muno dengan
angkuh memasuki istana Batu Gadang dan beristirahat. Di saat Katik Muno
beristirahat, Sang Sapurba mencuri Keris
Nago Katik Muno.
Setelah berhasil mencuri keris tersebut, Sang Sapurba kembali
menantang Katik Muno untuk bertarung dan mengeluarkan hinaan bahwa katik Muno
adalah sampah masyarakat, kacang lupo ju
kuliknyo. Murka karna di hina, Katik Muno menyetujui untuk kembali
bertarung. Dalam pertarungan ini, Sang Sapurba membunuh Katik Muno dengan
menggunakan senjata Katik Muno sendiri, yakni Keris Nago Katik Muno.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Katik Muno mengakui
kesalahannya. Untuk menembus kesalahannya, Katik Muno menyatakan bahwa ngarai dalam dan aliran api yang
diciptakannya untuk membagi Minangkabau menjadi dua bagian akan menjadi penyatu
dan berkah bagi masyarakat Minangkabau. Api di dasar jurang tersebut akan
menjadi air yang jernih dan menjadi sumber penghidupan masyarakat. Di Sepanjang
aliran sungai akan terdapat berbagai tumbuhan yang telah menyerap kesaktiannya
dan akan berguna untuk penyembuhan berbagai penyakit. Selain itu, Katik Muno
juga mengeluarkan kutukan jika ada yang meniru kelakuan jahatnya, maka kehancuran
akan menimpa dan merusak keseimbangan Alam Minangkabau.
Bukti pertobatan Katik Muno, ngarai yang menakutkan dan dialiri api berubah
menjadi ngarai yang indah. Aliran api
di dasar ngarai berubah menjadi
aliran sungai dengan air yang jernih. Di sepanjang aliran sungai banyak
terdapat tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi masayarakat sesuai dengan apa
yang dikatakan Katik Muno sebelum meninggal.
Setelah kejadian tersebut, ngarai yang curam yang sungai didasarnya
diberi nama Ngarai Si Anok dan Batang Si Anok = “ Ngarai pemimpin yang
bijaksana/ Batang air pemimpin yang bijaksana”= untuk sebutan kepada pemimpian
Minangkabau (Datuak Suri Di Rajo) dan penghargaan atas jasa Sang Sapurba yang telah
membinasakan Nago Katik Muno.
Wallahua’alam. Namun,
kebenarannya adalah:
1.
Keangkuhan, kesombongan, dan
ketamakan adalah awal dari kehancuran. Tidak ada yang abadi. Kekuatan,
kekuasaan adalah ujian agar tetap menjadi hamba yang Qana’ah.
2.
Pertobatan yang sesungguhnya
akan menghasilkan buah yang manis. Seperti halnya Katik Muno, kesombongan,
keangkuhan, dan ketamakannya telah mengantarnya kepada kematian dan kutukan.
Pertobatan yang sebenarnya telah membuat
masyarakat bersedia memaafkan kesalahnnya.
3.
Kesabaran dan keikhlasan
untuk memaafkan telah memberikan masyarakat anugrah yang tak ternilai. Ngarai
Sianok saat ini menjadi salah satu objek wisata yang menjerat banyak wisatawan
untuk datang menganguminya. Keindahan Ngarai
Sianok juga telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk meraih
kesejateraan dengan memanfaatkan aspek pariwisatanya.
Sumber Kajian Ilmiah Ngarai sinanok
http://pustakatambang.blogspot.co.id/2012/06/ngarai-sianok.html
Cerita ini disusun berdasarkan kisah-kisah mistis tentang Ngarai sianok, serta kisah-kisah mistis yang ada di Minangkabau. Untuk memperkuat cerita, penulis membaca berbagai Tambo Alam Minangkabau. Penulis berharap, cerita ini tidak menjadi akhir dari kisah mistis Ngarai Sianok.Semoga, cerita ini tidak mengakhiri explore Ngarai Sianok dan merusak kesimbangan Alam Minangkabau.
Bismillah...
Salam Literasi