Senin, 12 Oktober 2020

TUGU TIGO BALEH KOTA BUKITTINGGI DAN ASAL USUL ORANG KURAI LIMO JORONG

 




ASAL USUL ORANG KURAI LIMO JORONG DAN TUGU TIGO BALEH

Sebelum manusia modern mengenal huruf dan angka, dulu simbol digunakan untuk berkomunikasi. Simbol sendiri diartikan sebagai sebuah tanda yang menunjukkan sebuah ide, objek, atau hubungan antar suatu benda. Simbol bersifat universal, dalam artian meski bahasa yang digunakan berbeda simbol mewakili sesuatu yang sama.

I.     Pendahuluan

Setiap kebudayaan memiliki sistem nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku para warga pendukung kebudayaan. Sistem nilai budaya tersebut meliputi aturan seperti sopan santun, adat istiadat, pandangan hidup atau ideologi dan sebagainya. Sistem nilai budaya adalah tingkatan yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan, karena nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat tentang apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup. Sejak kecil seorang individu telah diresapi dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu telah berakar di dalam mentalitasnya dan kemudian sukar diganti dengan yang lain dalam waktu yang singkat (Koentjaraningrat, 1990: 77; 1974: 32).

Artefak sebagai wujud budaya adalah sebuah alat benda, bangunan atau peninggalan sejarah yang di buat oleh manusia (bukan benda alamiah yang di modifikasi) yang dapat di pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Artefak memuat nilai budaya, antara lain nilai fungsi, makna dan simbol.

 Artefak (bangunan budaya) menjadi Tanda dan simbol yang tampil sesuai bentuknya maupun dalam pengertian tersirat atau mewakili makna tertentu, misalnya dengan cara analogi atau kiasan (figurative language). Sejak dulu penyampaian maksud melalui tanda dan simbol telah ada,  misalnya orang Minangkabau mempergunakan Tanduk Kerbau sebagai lambang ke menangan, kekuatan dan kebijaksanaan.  Tanduk Kerbau ini biasanya ada bangunan- bangunan budaya di Minangkabau, seperti Rumah Gadang.

Sampai sekarang, banyak arsitek terkenal menyampaikan gagasan-gagasan, pesan-pesan atau maksud-maksudnya melalui tanda dan simbol tersebut kepada publik. Tanda dan simbol membentuk persepsi manusia tentang sesuatu. Ini sangat bermanfaat dalam menyampaikan pesan, ide pembuat sekaligus memperkaya imajinasi manusia dalam pengalamannya menelusuri berbagai tanda dan simbol tersebut.

Tugo Tigo Baleh adalah sebuah tanda dan simbol yang dibangun untuk menyampikan pesan kepada masyarakat sekarang tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu.  Keberadaan tugu ini melekat kuat dan erat dalam keseharian masyarakat Tigo Baleh. Berada tidak jauh dari Balai Adat Nagari Tigo Baleh, Tugu Tigo Baleh menyimpan cerita dan sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh dan Nagari Kurai Limo Jorong. Pembuat tugu ini tentunya ingin menyampikan pesan akan arti pentingnya Nagari Tigo Baleh sebagai cikal bakal Kurai Limo Jorong. 

Sebagai sebuah tanda dan simbol, pemaknaan terhadap Tugu Tigo Baleh bisa saja berbeda pada setiap orang yang melihatnya. Hal ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa pemahaman tentang kebenaran dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu secara berbeda. Makna tersebut bisa saja bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual. Namun makna tersebut dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat.

Untuk menginterpretasikan makna dari Tugu Tigo Baleh yang terjalin dalam berbagai jejaring hubungan sosial yang luas dan rumit, Penulis menempuh jalur pemaknaan yang didasarkan pada pandangan Ogden dan Richards, yakni simbol memiliki hubungan asosiatif dengan gagasan dan referensi serta referen atau dunia acuan. Adanya hubungan itu, menjelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi simbol dan acuan (CK Ogden  and I.A.Richards, 1960:11).

Hubungan antara simbol dengan realitas dapat dilihat dalam bagan berikut ini. 

                                          Konsep

 

             Simbol       ------------------------ Referent

Simbol adalah

:

Tugu Tigo Baleh (kata atau gambar yang harus diartikan)

Konsep adalah

:

Konotasi, idea, pikiran, respon, yang ada dalam pemikiran orang yang mengamati

Referent adalah

:

Segala sesuatu, objek, fakta, kualitas, pengalaman, denotasi, peristiwa, yang melatarbelakangi terbentuknya Simbol (Sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh)

Berdasarkan pada pandangan Ogden dan Richards ini dapat dijelaskan, bahwa Tugu Tigo Baleh memiliki acuan dan hubungan yang kuat dengan sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh. Artinya, untuk mengetahui makna yang ingin disampaikan Tugu Tigo Baleh maka kita diharuskan membuka ruang dan waktu untuk melihat dan mempelajari sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh.

II.      Asal Usul Orang Kurai Limo Jorong

II.  1. Kedatangan Nenek Moyang Ke Luhak Agam

Dari berbagai sumber disebutkan, bahwa perpindahan penduduk dari Pariangan Padang        Panjang menuju kepada dua arah. Pertama, ke arah timur dan tenggara Pariangan. Kedua, ke dataran tinggi arah utara Gunung Merapi. Ke arah Timur dan Tenggara Pariangan merupakan dataran rendah yang luas dialiri sungai besar seperti Batang Hari, Batang Kuantan dan Batang Kampar. Hal ini memudahkan penduduk mencari tanah baru yang subur dengan alat transportasi sungai tersebut. Perpindahan penduduk ke dataran tinggi arah utara Gunung Merapi adalah perpindahan yang sulit. Kondisi alam yang berbukit, hutan yang lebat menyebabkan perpindahan penduduk kearah utara ini merupakan perjalanan yang berat. Oleh karena itu, perpindahan dilakukan bergelombang dengan rombongan yang besar. Pada Tiap gelombang terdiri dari empat rombongan besar, sehingga pada lokasi hutan yang dibuka dapat didirikan empat nagari supaya dapat diperoleh keamanan bersama. Dalam empat gelombang perpindahan maka berdirilah 16 nagari di Luhak agam.

Nagari Kurai berada di tengah-tengah di Luhak Agam. Bila ingin melihat kedatangan penduduk yang menjadi nenek moyang orang Kurai tidak dapat dipisahkan dengan kedatangan penduduk ke Luhak Agam[1]. Penyebaran penduduk ke Luhak Agam berlansung dalam empat periode dalam waktu yang cukup lama. Periode pertama menempati Agam Biaro, Balai Gurah, Lambah, dan Panampuang. Periode Kedua menempati Lasi, Canduang, Kurai, dan Banuhampu. Perode Ketiga menempati Sianok, Koto gadang, Guguak, dan Tabek Sarojo. Periode Keempat menempati Sariak, Sungai Puar, Batagak, dan Batu Palano[2].

III.   2.  Kedatangan Nenek Moyang Ke Kurai Limo Jorong

Penduduk yang datang mendiami daerah Kurai adalah penduduk yang berpindah dari Pariangan Padang Panjang pada periode kedua, yakni yang menempati Lasi, Canduang, Kurai, dan Banuhampu. Dalam perkembangannya masing-masing menjadi nagari.

Rombongan penduduk yang menempati Kurai tersebutlah menurut salah satu versi tambo berjumlah kurang aso saratuih. Namun tidak dikemukakan bentuk, jenis keluarga yang turut sebagai peserta rombongan dan pimpinannya. Untuk mengetahuinya dapat dilihat melalui penelusuran susunan keluarga dalam sepayung atau sesuku. Setiap payung atau suku babuah paruik dan paruik babuah jurai. Artinya orang sepayung atau sesuku dapat terdiri dari paruik-paruik satu keturunan dan dapat pula dari paruik-paruik beda keturunan. Hal ini menjelaskan, bahwa tidak mungkin sebuah payuang atau suku akan berangkat bersama paruik-paruiknya menuju daerah baru dan meninggalkan cancang lateh pada masa sebelumnya. Orang perorangan juga tidak mungkin pindah ke daerah baru. Paling sedikit yang berangkat adalah orang sejurai yang dipimpin oleh tungganai dan paling banyak orang separuik yang dipimpin oleh niniak mamak paruik. Ini menjelaskan juga, bahwa setiap rombongan terdiri dari pecahan beberapa suku dari daerah sebelumnya.  Jumlah suku dalam rombongan yang datang ke Kurai dapat dilihat setelah tiba di Koto Jolong[3].

Terhadap perjalanan rombongan dari Pariangan Padang Panjang ke Koto Jolong terdapat beberapa versi dalam masyarakat adat. Penulis memilih salah satu di antaranya sebagai berikut:   

Perpindahan penduduk dari Pariangan padang Panjang dengan rombongan besar sebanyak 99 keluarga (100 kurang aso). Dalam perjalanan yang dipimpin oleh Rajo Bagombak bergelar Yang Dipertuan Bagonjong[4] bersama Badaharo Nan Bangkah[5], rombongan ini melewati berbagai negeri dan beristirahat di negeri tersebut yakni Negeri Tanjung Alam Kenagarian Sungai Tarab Batu Sangkar. Di Sungai Tarab, rombongan mempersiapkan moril dan materil untuk meneruskan perjalanan menembus Bukit Barisan menuju Luhak Agam.

Selepas beristirahat di Sungai Tarab, rombongan melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah padang dan beristirahat cukup lama di situ. Padang tersebut di kemudian hari dikenal dengan nama Padang Kurai.

 Di Padang Kurai di perolah kesepakatakan, bahwa rombongan di pecah menjadi dua. Rombongan pertama dipimpin oleh Bandaharo Nan Bangkah berangkat menuju ke arah Mudiak menelusuri kaki Gunung Merapi. Rombongan pertama ini menempati daerah selatan  (disebut juga daerah mudiak) adalah tempat kediaman pertama terdiri dari tujuh keluarga pecahan suku dan setiap keluarga menempati lokasi sesuai dengan kebutuhan kehidupan. Hal tersebut dapat kita lihat sampai sekarang, yakni Persukuan Pisang di Kapalo Koto, Persukuan Jambak di Tabiang, Persukuan Koto di Kabun, Persukuan Guci di Pakan Labuah, Persukuan Tanjuang di Belakang Balai, Persukuan Simabua di Pakan Labuah, Persukuan Sikumbang di Pabeloan.[6]







DIAGRAM 1 RUTE PERJALANAN ROMBONGAN PERTAMA[7]



Rombongan Kedua di bawah pimpinan Rajo Bagombak bergelar Yang Dipituan Bagonjong dari Padang Kurai melanjutkan perjalanan dan singgah di sebuah tempat yang indah, bertebing dan dari celah tebing mengalir air yang jernih. Tempat itu dinamai Pincuran Puti.  Dari Pincuran Puti Rombongan melanjutkan perjalanan dan sampai di daerah yang sepanjang jalannya tumbuh pinang berleret. Daerah tersebut dinamai Pinang Baririk (Tanjung Alam sekarang). Dari Pinang Baririk Rombongan melanjutkan perjalanan dan terhenti karena di hadang oleh tanah yang putus (sebuah parit yang luas). Daerah ini dinamai Parit Putus. Dari daerah ini rombongan memutar arah perjalanan ke arah mudik dan menemukan suatu daerah yang lapang. Konon di daerah yang lapang ini putri dari Yang Dipituan Bagonjong menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Oleh karena itu, daerah tersebut dinamai dengan Pautan Kudo (dekat Surau Pinang sekarang).[8]

Dari Pautan Kudo, rombongan melanjutkan perjalanan hingga menemukan sebuah parit yang panjang teretang menghalangi perjalanan (daerah ini dinamai Parik Antang)[9]. Untuk menyebrangi parit tersebut salah seorang dari rombongan menebang sebatang pohon kayu untuk titian keseberang. Parit tersebut dinamai Batang Kurai atau Tan Kurai[10]. Dari Batang Kurai perjalanan dilanjutkan hingga sampai pada sebuah aliran sungai yang diberi nama Parit Tuo/ Batang Buo /Tambuo[11] .

Dari Tambuo Rombongan di bawah pimpinan Yang Pituan Nan Bagonjong menuju Koto Katiak[12]. Dari Koto Katiak rombongan terus bergerak menuju ke hilir menuju Pabeloan dan berbelok ke puhun. Di Puhun rombongan Yang Pituan Nan Bagonjong bertemu dengan rombongan pertama yang dipimpin oleh bandaharo Nan Bangkah. Di tempat ini, kedua pimpinan bermufakat untuk mendirikan koto dan nagari. Berdasarkan kesepakatan tersebut, daerah yang akan dijadikan tempat tinggal tersebut dinamai Koto Jolong.[13]  



DIAGRAM 2 RUTE PERJALANAN ROMBONGAN KEDUA[14]






DIAGRAM 3 PENYEBARAN PENDUDUK DARI PARIANGAN PADANG PANJANG[15]



II. 3 Koto Jolong

Lokasi pemukiman Koto Jolong membujur dari selatan ke utara atau dapat juga disebut dari Kapalo Koto sampai Ikua Labuah. Lokasi daerah Koto Jolong ini dikelilingi oleh parit dengan batas-batas sebagai berikut[16]:

Sebelah Barat membujur Parit Tambuo yang dinamai juga Tambuo Puhun.

Sebelah Timur oleh Parit Batang Kurai yang disebut juga Tambuo Tangkurai.

Sebelah selatan dengan Nagari Kubang Putiah

Sebelah Utara oleh daerah pertemuan Sungai Tambuo dengan Sungai Tangkurai di Ikua Labuah.

Daerah pemukiman Koto Jolong dikenal dalam bentuk dua daerah bernama Daerah Mudiak di daerah Selatan yang didiami oleh Tujuh Keluarga (suku)[17] yang berasal dari rombongan pertama yang dipimpin Bandaharo Nan Bangkah dan Daerah Hilir di Utara yang didiami oleh enam keluarga suku[18] yang berasal dari rombongan kedua yang dipimpin oleh Rajo Nan Gombak bergelar Yang Pituan Nan Bagonjong. Daerah Mudiak di kemudian hari di kenal dengan nama Kampuang Pakan Labuah dan daerah Hilir di kenal nama Kampuang Balai Banyak. Ketiga belas pimpinan keluarga (suku) yang ada di Koto Jolong sepakat memakai gelar pusako masing-masing dan yang belum mempunyai gelar pusaka atas kesepakatan keluarga dapat memakai gelar pusako yang ada di nagari asal[19]. Ketiga belas ninik mamak bergelar Datuak tesebut adalah pendiri Nagari Tigo Baleh[20].

 

IV.   Tugu Tigo Baleh

Tugu Tigo Baleh adalah sebuah tugu segi lima dengan tinggi lebih kurang 4 meter yang berada tepat di tengan jalan / Simpang Tigo Baleh.  Secara administratif  Tugu Tigo Baleh berada dalam wilayah Kelurahan Pakan Labuah. Tulisan pada tugu tersebut “Abri Masuk Desa Manunggal XIV 25-11 s/d 8 – 12 1983” menunjukan waktu pembangunannya, yakni  pada tahun 1983 dalam program pemerintah yang terkenal dengan Manunggal Abri Masuk Desa.

Sebagai sebuah bangunan budaya, Tugu Tigo Baleh adalah sebuah tanda dan simbol yang sengaja dibangun untuk meng-abadikan “sesuatu” yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam sejarah dan asal usul Nagari Kurai. Tugu Tigo Baleh dibangun sebagai tanda bahwa Nagari Tigo Baleh didirikan oleh tiga belas niniak mamak yang pertama kali datang ke Koto Jolong yanga mana Nagari Tigo Baleh adalah cikal bakal Nagari Kurai Limo Jorong [21].

Hal ini tentunya didasarkan kepada sejarah asal usul orang Kurai seperti yang telah diuraikan pada bagian awal, yakni Nenek Moyang Orang Kurai adalah penduduk yang melakukan migrasi gelombang kedua dari Pariangan Padang Panjang. Migrasi tersebut dipimpin oleh Rajo Nan Gombak bergelar Yang Pituan Nan Bagonjong dan Bandaharo Nan Bangkah. Dalam migrasi tersebut, terdapat tiga belas keluarga dari suku –suku yang berasal dari Pariangan Padang Panjang. Tiga Belas Suku tersebut menempati daerah Koto Jolong yang merupakan asal muasal Nagari Tigo Baleh dan Kurai Limo Jorong. Tiga Belas keluarga (suku) tersebut terdiri dari Tujuh (7) keluarga (suku) memempati daerah Mudiak (Pakan Labuah) dan 6 keluarga (suku) menempati daerah hilir (Balai Banyak).

 Sangat menarik ketika Tugu Tigo Baleh di lihat berdasarkan sudut pandang masyarakatnya.[22] Masyarakat menanggapi dengan antusias keberadaan Tugu Tigo Baleh sesuai dengan makna yang mereka miliki masing-masing. Hal ini direkam oleh Minangkabau Research pada postingan tanggal 19 April 2020.  

Penulis mengambil beberapa tanggapan yang  penulis anggap menyatakan tentang makna dari Tugu Tigo Baleh. Pertama, Riska Arizon Saputra[23]. Riska menyebutkan, Tepat di tempat berdirinya Tugu Tigo Baleh sekarang dahulunya adalah pusat pakan (pasar) pertama di Nagari Kurai Limo Jorong.  Kedua Armen Basir[24]. Armen Basir menyebutkan, di tempat berdirinya Tugu Tigo Baleh sekarang, dahulunya adalah tempat tumbuhnya sebatang pohon beringin besar.  Di bawah pohon beringin tersebut masyarakat membuat pasar. Di sana masyarakat menggelar dagangan dan adakalanya dijadikan juga tempat memarkir bendi. Setelah pohon beringin di tebang, dibangunlah sebuah Tugu Segi Lima yang lebih pendek dari Tugu Tigo Baleh yang ada sekarang. Tugu tersebut melambangkan lima jorong yang ada di Nagari Kurai Limo Jorong.  Pada tahun 1983 tugu yang lama di renovasi menjadi tugu sekarang dan terkenal dengan nama Tugu Tigo Baleh.

Nyiak Dt. Mangkuto Ameh dalam sebuah wawancara pribadi menjelaskan bahwa, Tugu Tigo Baleh adalah lambang keberdaan Niniak Mamak tiga belas suku yang datang pertama kali ke Koto Jolong. Niniak mamak tersebutlah yang membangun Nagari Tigo Baleh, menetapkan sendi-sendi adat serta menetapkan delapan buah suku[25] di Nagari Tigo Baleh. Niniak mamak yang tiga belas tersebut juga telah menetapkan aliran adat yang akan digunakan di Nagari Tigo Baleh. Kebijaksanaan niniak mamak tersebut telah melahirkan sebuah sistem adat yang manis dan harmonis, yakni penggabungan dua aliran adat (Aliran Bodi caniago dan Aliran Koto Piliang) hingga dikenal dengan sebutan elok diurang rancak di awak.  Penggunaan kedua aliran adat tersebut di Nagari Tigo Baleh tertuang dalam pepatah adat:

Pisang sikalek-kalek hutan

Pisang tambatu nan bagatah

Adat Bodi Caniago Inyo Bukan

Adat koto Piliang anyo antah

            Pisang tambatu nan bagatah

            Kaduo jo pisang ameh

            Katigo pisang rajo sarai

Adat Bodi Caniago anyo rancak

Adat Koto Piliang anyo elok

Tibo di kurai samo di pakai

Catatan Penulis

Sejak dulu penyampaian maksud melalui tanda dan simbol telah ada. Tanda dan simbol yang tampil sesuai bentuknya maupun dalam pengertian tersirat atau mewakili makna tertentu dengan cara analogi atau kiasan (figurative language). Sebagai sebuah Tanda dan Simbol,  pemaknaan terhadap Tugu Tigo Baleh bisa saja berbeda pada setiap orang yang melihatnya. Hal ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa pemahaman tentang kebenaran dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu secara berbeda. Makna tersebut bisa saja bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual. Namun makna tersebut dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat. Hal ini menyiratkan, bahwa walaupun pemaknaan terhadap keberadaan Tugu Tigo Baleh berbeda pada setiap orang yang melihanya, Tugo Tigo Baleh tetaplah sebuah tanda yang akan terus melahirkan makna-makna baru sesuai dengan perputaran zaman.

 

Daftar Bacaan

Achir, Mohd. H. 2011. Menelusuri Jejak Sejarah Nagari Kurai Beserta Lembaga Adatnya. Bukittinggi: Kristal Mulimedia.

Dahar. St. Sari Basa. 1967. “ Keringkasan Tambo Alam Minangkabau dan Seluk-Beluk Adat Kurai Limo Jorong.

Tunmuamad, Dt dkk. 1991. “ Rancangan Sejarah dan Adat Kurai V Jorong”. Tim Perumus Badan Pekerja Kerapatan Adat Kurai Bukittinggi. Bukittinggi.

Ogden, CK., and I.A.Richards, The Meaning of Meaning (London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1960).

Piliang, Yasraf Amir. 2001. Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung : Mizan.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.



[1] Luhak Agam di dalam tambo disebut sebagai luhak kedua setelah Luhak Tanah Datar.

[2] LKAAM Sumatera Barat. Pelajaran Adat Minangkabau. Padang 1987 hal. 38-39.

[3] Koto Jolong dalah daerah pertama yang ditempati nenek moyang orang Kurai.

[4] Rajo Bagombak bergelar Yang Dipatuan Bagonjong dikemudian hari pengganti pertama dari keluarga Pasukuan Pisang di Ikua Labuah bergelar  Dt. Yang Dipituan.

[5] Bandaharo Nan Bangkah dikemudian hari pengganti pertama dari keluarga Pasukuan Guci  di Balai Banyak bergelar Dt. Bandaharo

 (selanjutnya kedua gelar datuak tersebut menjadi Gelar Pusako Pasukuan Pisang dan Pasukuan Guci.  “M. A. Dt. Kampuang Dalam. Op. cit. Hal. 229-230”)

[6] Dalam “Menelusuri Jejak Sejarah Orang Kurai Beserta Lembaga Adatnya”:. M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Hal. 34-35

 

[7] Diagram rute perjalanan disusun berdasarkan kepada sejarah asal usul nenek moyang orang kurai dalam Menelusuri Jejak Sejarah Orang Kurai Beserta Lembaga Adatnya. M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Hal. 34-35

[8] Dalam Dahar St. Sari Basa. “ Keringkasan Tambo Alam Minangkabau dan Seluk Beluk Adat Kurai Limo Jorong”. 1967. Hal. 58

[9] Ibid. hal 58

[10] Ibid. hal. 58

[11] Ibid. hal.58

[12] Ibid. hal 58

[13] Dahar St. Sari Basa menyebutkan, bahwa Koto Jolong di masa sekarang dinamai Pakan Labuah. Hal ini berbeda dengan sejarah yang di tulis M.A Dt. Kampuang Dalam dalam bukunya Menelusuri Jejak Sejarah Nagari Kurai Beserta Lembaga Adatnya. 2011. M.A menuliskan, Koto Jolong terdiri dari dua daerah, yakni daerah mudiak dan daerah hilir. Daerah mudiak didiami oleh rombongan pertama dengan 7 suku yang dikemudian hari berganti nama menjadi Pakan Labuah. Daerah hilir didiami oleh rombongan kedua dengan 6 suku yang dikemudian hari berganti nama menjadi Balai Banyak.

[14] Diagram disusun berdasarkan pada Sejarah asal usul Orang Kurai Oleh Dahar Dt. Sari Basa Sikumbang Balai Banyak dalam buku Tambo Alam Minangkabau dan Seluk Beluk Adat Kurai Limo Jorong. 1967, hl. 56-58

[15] Diagram 3 ini dibuat berdasarkan sejarah yang ditulis oleh M.A Dt Kampung Dalam. 2011 dan Dahar St. Sari Basa (dengan menkombinasikan dua sumber tersebut).

[16] M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Op cit. Hal. 39

[17] Persukuan pisang di Kapalo Koto, persukuan Jambak di Tabiang, persukuan Guci di Pakan Labuah, Persukuan Tanjuang di Belakang Balai,pasukuan Koto di Kabun,  persukuan Simabua di Pakan Labuah, persukuan Sikumbang di Pabeloan.

[18] Persukuan Guci, Sikumbang, Pisang, Jambak, Tanjuang, dan Salayan.

[19] Niniak Mamak/ Pangka Tuo Nagari Tigo Baleh:

Daerah Mudiak: Dt. Rangkayo Basa; Dt. Nan Adua; Dt. Mantiko Basa (Dt. Kapalo Koto); Dt. Asa Dahulu; Dt Pado  Batua; Dt. Dunia Basa; Dt. Maruhun.

Derah Hilia       : Dt. Gunuang Ameh; Dt Mangkudun; Dt Panduko Sati; Dt Rajo Sikampuang; Dt Mangulak Basa; Dt.  Sari Basa.

[20] M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Hal. 53.

[21] Wawancara dengan Dt. Mangkuto Ameh (Anggota KAN Tigo Baleh) .

[22] Masyarakat Pakan Labuah/ Tigo Baleh dan Bukittinggi dalam sebuah dialog terbuka yang di buka dalam disebuah halaman Minangkabau Research pada tanggal 19 April 2020

[23] Ketua RT di Kelurahan Pakan Labuah

[24] Masyarakat Kelurahan Pakan Labuah

[25] Guci, Tanjuang, Koto, Pisang, Simabur, Jambak, Selayan, Sikumbang.