Tugu PDRI
Kota Bukittinggi
Eksistensi
Pemerintahan
Kecamatan Militer Istimewa Kurai/ Kota Bukittinggi PDRI
(15 Januari 1949 - 21 Februari1950)
(15 Januari 1949 - 21 Februari1950)
Tugu
PDRI di bangun pada
tahun 1949 atas inisiatif Camat Militer Bilal Dtk. Madjo Indo dan Pemuka-Pemuka
Kurai. Pembangunan Tugu PDRI ini bertujuan untuk menunjukan eksistensi Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi dalam wadah Pemerintahan Kecamatan Militer Istimewa Kurai/Kota Bukittinggi PDRI kepada
kawan maupun lawan. Tugu PDRI adalah bukti perjuangan masyarakat Kurai/ Kota
Bukittinggi mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
.
I. Pemerintahan Kecamatan Militer Istimewa
Kurai/ Kota Bukittinggi PDRI[1]
I.
1. Bukittinggi 19
Desember 1948 – 15 Januari 1949
Kota
Bukittinggi dinamakan juga Nagari Kurai Limo Jorong. Pada Tahun 1948 Nagari
Kurai Limo Jorong dipimpin oleh H. Mohammad Hadrajat mantan sekretaris kolonial
Tuan Spitt gubernur Sumatera di Medan sebagai Wali Nagari. Kenagariannya
terdiri dari 5 jorong yang masing-masingnya mempunyai Wali Jorong, yakni: 1.
Jorong Tigo Baleh, 2. Jorong Koto Salayan, 3. Jorong Aua Birugo, 4. Jorong
Guguak Panjang, dan 5. Jorong Mandiangin.
Sejak
Bukittinggi di bom pada pagi hari 19 Desember 1948 sampai pendudukan tentara
Belanda 22 Desember 1948 hingga pertengahan Januari 1949, terjadi kekosongan
pemerintahan di Kota Bukittinggi karena Walikota Bukittinggi A. Azwir Jennie
ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda.
Pada
masa itu, Jorong-jorong yang ada tidak ada hubungan dengan pemerintahan Kota
Bukittinggi berusaha mengadakan hubungan sesamanya dan berusaha mencari kontak
dengan pihak militer di Agam Tuo Selatan (Sungai Pua/Kubang Putiah) dan di Agam
Tuo Utara (Kamang Hilia/ Kamang Mudiak) serta berusaha mengadakan konsolidasi
di jorong masing-masing dengan BPN/K
(Barisan Pengawal Nagari/Kota) Tigo Baleh dan pemimpin-pemimpin sipil dan
militer yang sedang menyingkir ke pinggir Kota Bukittinggi, yaitu ke Tigo Baleh
dan Koto Selayan.
I. 2. Pembentukan MPRK (Markas
Pertahanan Rakyat Kecamatan)
Untuk
mengatasi agar tidak terjadi kekacauan karena kosongnya pemerintahan di Kota
Bukittinggi, pada malam tanggal 15 Januari 1949 dibentuk MPRK (Markas Pertahanan
Rakyat Kecamatan) Kurai berdasarkan instruksi Residen Sumatera Barat yang
dibawa oleh kurir Sutan R. Moedo pegawai EMS. Oleh karena pada masa itu belum
atau tidak ada jabatan Camat di pemerintahan Kota Bukittinggi, maka malam itu
sekaligus diputuskan Pemerintahan Kecamatan dengan pejabat-pejabat:
Camat Militer
|
:
|
N. DJ. Datoek
Sampono Toeo dari Tigo Baleh
|
Wakil Camat Militer
|
:
|
A. DTK. Sampono Sati
dari Mandiangin
|
Sekretaris Camat Militer
|
:
|
Moechtar Sutan
Samiak (Ketua BNP/K Tigo Baleh)
|
dan para Pemimpin MPRK (Markas Pertahanan Rakyat
Kecamatan)
Ketua
|
:
|
N. DJ. Datoek
Sampono Toeo dari Tigo Baleh
|
Sekretaris
|
:
|
Moechtar Sutan
Samiak
|
MPRK Kurai yang diketuai oleh Camat Militer
dan anggotanya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat yang bertugas untuk
memperkokoh pertahanan rakyat, menyiapkan dana dan perbekalan untuk para
pejuang (gerilyawan), memberikan penerangan kepada rakyat terutama counter propaganda Belanda yang
menjelekkan Republik.
Dengan
terbentuknya Kecamatan Militer dengan nama resmi Kecamatan Militer Istimewa Kurai/Kota Bukittinggi PDRI, maka
wali-wali jorong yang ada dengan sendirinya diangkat menjadi Wali Perang, yakni:
Wali Perang Koto Selayan, yaitu Engku
Munir Pakiah Sutan; Wali Perang Guguak Panjang, yakni DTK Toembaliak Kayo; Wali
Perang Tigo Baleh Sdr. Syamsu Sutan Asa Radjo, Wali Perang Aua Birugo Tuanku
Madjo Indo dan Wali Perang Mandiangin Tuanku Samiak
Sekitar
akhir Februari 1949 Camat Militer Datoek Sampono Toeo ditangkap Belanda,
setelah Belanda lebih dahulu membunuh 2 orang kemenakan beliau. Wakil Camat
Militer A. DTK. Sampono Sati karena berada ditengah-tengah lingkungan
pendudukan Belanda tidak dapat memimpin kecamatan. Oleh karena itu, Camat
Militer dirangkap oleh sekretaris MPRK Moechtar St. Samiak disamping tugasnya
sebagai Komandan BPN/K Tigo Baleh.
Dalam
situasi yang semakin mencekam, pemerintahan tetap berjalan dengan memperkuat
peran para Wali Perang[2].
Kantor-kantor Wali Perang bersifat mobil dalam daerah masing-masing, sedangkan
Kantor Camat Militer bersifat mobil antara Tigo Baleh, Koto Selayan, Aua Birugo,
dan Mandiangin dibagian pinggirnya. Namun, untuk memudahkan komandu dibuatlah markas
utama kecamatan di Tigo Baleh, yakni di kampung Pabeloan dan Tabek Gadang.
Pabeloan dan Tabek Gadang di pilih karena terlindung dari segala arah dengan
jalan setapaknya yang hampir tidak kentara. Disini juga bermarkas PMTKK
(Pasukan Mobil Teras Kurai Kota) yang dikomandani oleh Letnan Muda Karidjiun
dan wakil Sersan Mayor P.T Buyung Paloma. Markas Ikua Koto sampai 27 Desember
1949.
Sekitar
awal Maret 1949, Belanda mengganas di
Tigo Baleh dan menggeledahi semua rumah. Semua laki-laki, terutama yang
muda-muda ditangkapi dan disiksa, al. sdr. M. Dtk. S. Sati Dipotong kupingnya
sebelah dan ditembak dadanya. Staf kecamatan praktis tidak dapat melakukan
tugasnya atau bekerja di Tigo Baleh serta keadaan di jorong-jorong lainpun
demikian mulai panas pula. Maka pejabat militer dan Wakil Sekretaris camat
menyingkir.
Menghadapi
situasi ini, agar pemerintahan tetap berjalan, maka sejak awal Maret sampai
akhir Maret 1949, beberapa jabatan diserahkan kepada wanita. Camat militer
diserahkan kepada Nona Nurmi Salim, Sekretaris Camat Militer kepada Nona Rosmi
Salim serta Komandan BPN/K (Barisan Pengawal Nagari/Kota) Tigo Baleh
diserahkan kepada Nyonya Dasima Rais seorang guru SD XIII. Setelah mulai agak
aman, pada akhir Maret 1949 jabatan-jabatan itu dipulihkan kembali dan
diserahkan kepada Pejabat sebelumnya.
Pada
awal April 1949 diangkat Camat Militer pengganti Camat Militer Datoek
Sampono Toeo yang ditangkap Belanda, yaitu Inyik Bilal Dtk. Madjo Indo,
Inspektur Polisi Satu waktu itu. Beliau lebih banyak berkedudukan di Kamang di
samping Kol. M. Dahlan Djambek, KPA (Komandan Pertempuran Agam) yang sekaligus
menjabat Bupati Militer Agam.
Dengan
diangkatnya Camat Militer yang baru, maka sdr. Moechtar St. Samiak diangkat
menjadi Wakil Camat Militer dan Letnan Nazir Kari Mang koeto diangkat menjadi
Sekretaris Camat Militer/Sekretaris MPRK Kurai.
Pada
tanggal 27 April 1949, Wakil Camat Militer dan Sekretaris Camat Militer
ditangkap patroli tentara Belanda dalam keadaan sedang mobil (berpindah dari
satu tempat ketempat lainnya untuk bertugas). Kedua orang ini dimasukkan
kedalam tahanan di Bukittinggi, lalu diinternir di penjara Padang dan penjara
Pariaman dan baru dikeluarkan pada tanggal 27 Desember 1949.
II.
Berakhirnya Pemerintahan Kecamatan
Militer Istimewa Kurai/Kota Bukit¬tinggi PDRI
Pada
tanggal 21 Februari 1950, Camat Militer Bilal Datoek Madji Indo Inspektur satu
polisi Negara dengan resmi menyerahkan Pemerintahan Kecamatan Militer Istimewa
Kurai/ Kota Bukittinggi kepada Bupati Agam waktu itu dijabat oleh Bupati Harun
Al Rasjid. Upacara serah terima dihadiri oleh pemuka-pemuka masyarakat Kurai/
Kota Bukittinggi dan disaksikan pula oleh Walikota Bukittinggi Bapak Eni Karim.
Sejak itu, jorong-jorong di Kenagarian Kurai Limo Jorong resmi menyatu dengan
Pemerintahan di Bukittinggi yang sudah berbenah sejak pengakuan kedaulatan 27
Desember 1949.
III. Pembangunan Tugu PDRI di Gantiang,
Jorong Koto Salayan (kini Kelurahan Manggis Ganting Jalan Soekarno Hatta)[3]
Pada
April 1949 Camat Militer Bilal Dtk. Madjo Indo menyampaikan ide untuk membangun
sebuah Tugu yang akan menjadi simbol perjuangan orang Kurai mempertahankan
kedaulatan Republik Indonesia di Bukittinggi kepada Wali Perang dan para pemuka
Kurai. Tugu tersebut akan diberi nama
Tugu PDRI dan harus didirikan dalam Kota Bukittinggi yang sedang diduduki/
dikuasai Belanda. Pembangunan Tugu PDRI ini harus sudah selesai pada
per-tengahan Agustus, supaya pada peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia ke IV tanggal 17 Agustus 1949 dapat diresmikan.
Tugu
Peringatan PDRI di Bukittinggi dibangun sebagai suatu bukti bahwa Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia masih mempunyai kekuasaan di wilayah Kota
Bukittinggi, sekaligus merubuhkan kesombongan Belanda yang mengumumkan bahwa
wilayah kekuasaannya meliputi radius 6 Km dari Jam Gadang dan itu lebih luas
dari wilayah Pemerintahan Kecamatan Militer Kurai Kota Bukittinggi. Untuk itu Tugu
PDRI dibangun ditepi jalan raya Bukittinggi dengan Payakumbuh di Gantiang, Koto
Selayan dengan jarak antara 1-1 ½ Km dari Jam Gadang.
Tugu
PDRI yang amat bersahaja ini adalah satu-satunya bukti eksistensi para pejuang
mempertahan Republik Indonesia yang dibangun di dalam wilayah kekuasaan musuh
kala itu. Tugu PDRI adalah simbol kekuatan rakyat, rakyat yang ingin mengatakan
kepada siapa saja : “Inilah aku, PDRI,
Masih Berjaya, walau senantiasa diancam oleh musuh,”
Pembangunan
Tugu PDRI di wilayah musuh bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan pembangunan
Tugu PDRI dibuat sembunyi-sembunyi pada dini hari atau pada tengah malam.
Apabila patroli lewat para pekerja menyingkir dan bila ketahuan ditembaki dan
disiksa.
Di
dukung oleh Dahlan Djambek, pembangunan Tugu PDRI oleh masyarakat dipimpin oleh
Buyuang Padang Buyuang Padang Dt. Sutan Marajo. Beratnya pekerjaan membangun
tugu ini menelan korban masyarakat. Suatu hari di akhir Mei 1949 untuk mencari
batu dan pasir pembuat tugu, Jangkua[4]
memarkir pedatinya ditepi jalan raya. Dia turun ke tambuo di Garegeh untuk
mengumpulkan pasir guna pembangunan tugu. Jangkua tidak mengetahui, bahwa
waktu itu secara rahasia dilakukan penyerangan oleh gerilyawan terhadap konvoi
Belanda dari atas Bukit Garegeh. Penyerangan tersebut berhasil melumpuhkan
bagian tengah konvoi. Setelah penyerangan Gerilyawan menghilang ke arah Talao.
Ekor konvoi memutar haluan kembali ke Bukittinggi. Tak lama kemudian datang tentara
Belanda melampiaskan kemarahannya di Parik
Putuih. Dalam kejadian ini banyak penduduk laki-laki dibariskan ditepi
jalan dan semuanya ditembak mati. Begitu juga dengan Jangkua yang sedang asyik
mengumpulkan pasir diberondong dari jalan raya, dia tewas. Mayatnya baru dapat
diambil hampir dekat waktu magrib, oleh anggota-anggota BPN/K Tigo Baleh dibawa
menuju Koto Tangah di Koto Salayan untuk dikuburkan malam itu juga.
Pada
tanggal 17 Agustus 1949, dilokasi pendirian tugu, dilaksanakan upacara peringatan
hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke IV yang dipimpin Camat
Militer Bilal Dtk. Madjo Indo. Bersamaan
dengan itu Tugu PDRI diresmikan. Untuk
mengecoh dan menghindari serangan Belanda, sebelum dini hari di atas Bukit
Mandiangin dan Bukit Campago dipasang bendera merah putih di pada pucuk Batang Sampia. Upacara di kawal oleh anggota-anggota
PMTKK[5]
dan BPN/K[6]
Tigo Baleh dan berjalan dengan aman.
Dari Penulis
Di
akhir tulisan ini, tidaklah dapat dikatakan kalau ini adalah harapan penulis.
Namun, penulis hanya menyampaikan harapan para bekas pejuang dari
Kurai/Bukittinggi, baik yang berada dikampung maupun di perantauan yang
tergabung ke dalam Korps Veteran Kota Bukittinggi, agar masyarakat kiranya dapat memelihara tugu
ini sebagai monumen sejarah dalam rangkaian sejarah PDRI. Bersahaja buatannya,
tetapi mulia ungkapan yang tersembunyi di dalamnya!
Sebagai generasi
muda, tentunya dengan menghargai jasa para pejuang adalah kekuatan untuk
berjuang mengukir sejarah yang mulia juga pada hari ini.
Akhir
kata, tulisan ini terbuka untuk saran dan masukan. Sebagai sebuah data awal,
tulisan ini membutuhkan penyempurnaan. Terima kasih kepada Bapak Drs.
H. Syofyan Udni (Ketua Veteran Kota Bukittinggi) dan terima kasih sekaligus
izin kepada Bapak Drs. Indra Utama untuk tulisan beliau yang begitu bernilai.
Salam
literasi!!!!
[1] Kepustakaan:
- Ahmad Husein dkk. 1978. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
R.I Di Minangkabau / Riau 1945-1950. BPSIM : Jakarta
- Fatimar enar dkk. 1978. Sumatera Barat 1945 -1949. Bukittinggi : Grafika Unit II
Bukittinggi.
- B. Ar. Poeloengan, SH dkk (Tim Khusus Perencanaan dan
Pelaksana Pembangunan Tatengger di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara).
Perjuangan Menegakkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di
Sumatera Utara (1945-1949) Jilid 1.
- Drs. Indra Utama. “Bukittinggi Kota Juang, Harian
Haluan 23 Desember 2016”. Sebuah artikel.
- Wawancara dengan Drs. H. Syofyan Udni, Dt. Lelo Basa. (H.
Syofyan Udni Dt. Lelo Basa adalah Ketua Veteran Kota Bukittinggi)
[2]
Wali Perang tersebut memiliki penasehat yang akan membantu wali perang dalam
mengambil kebijakan dan keputusan yang sulit. Diantara penasehat wali perang adalah
Noermatias (orang tua Ramlan Nurmatias; Wako Bukittinggi sekarang)
[3] Penulisan
Sejarah Tugu PDRI ini berdasarkan kepada hasil wawancara Pribadi dengan Drs. H.
Syofyan Udni, Dt. Lelo Basa; 10 Agustus 2018. (H. Syofyan Udni Dt. Lelo Basa
adalah Ketua Veteran Kota Bukittinggi) dan di dukung Tulisan Drs. Indra Utama
pada Harian Haluan 23 Desember 2016 .
[6] BPN/K
(Barisan Pengawal Nagari/Kota)