Senin, 22 April 2019

KEBENARAN TAMBO MINANGKABAU UNTUK WISATA DUNIA = BATU PUN BICARA JUJUR=


“KATIKO MARAPI SAGADANG TALUA ITIAK”

KEBENARAN DALAM TAMBO MINANGKABAU

Columnar Joint, Andesit, Gamping, Stalaktid, Stalakmid
Kebenaran Tambo Minangkabau Untuk Wisata Dunia
For
Geopark Sianok Maninjau Geosite Matua Hilia








Perjalanan kali ini adalah Survei Lanjutan oleh Tim Provinsi Geopark Ranah Minang ke Geosite Matua Hilia pada akhir Maret 2019 yang lalu. Survei ini dilakukan karna adanya pengembangan kawasan Geopark di daerah Matua Hilia Kabupaten Agam. Hal ini menjadi sebuah perjalanan yang sangat istimewa bagi seorang anak sastra. Mendampingi team yang diutus oleh Geopark Ranah Minang bersama para penggiat pariwisata dari Matua Hilian selain mendapat ilmu baru juga menjadi perjalanan wisata yang menyenangkan. Dari perjalanan tersebut, lahir catatn ini sebagai sebuah pemikiran dan jawaban dari pertanyaan: Benarkan yang dikemukan dalam Tambo Minangkabu tentang Ranah Minang saat ditemukan adalah LAUTAN??? Benarkah Tambo Minangkabau hanyalah sebuah karya sastra semata tanpa ada nilai kebenaran??


Tambo Adat Alam Minangkabau yang bertuliskan Arab-melayu menuliskan bahwa pada saat ditemukan oleh Keturunan Sultan Iskandar Zulkarnaini[1] yakni Sultan Maharaja Diraja[2] pada 400 tahun sebelum masehi Ranah Minang masih berupa lautan luas. Satu-satunya daratan adalah Gunung Merapi, sehingga Gunung Merapi di sebutkan masih sebesar telur itik.  Kondisi tersirat dari sejarah asal usul suku asli Minangkabau yang tertulis di dalam tambo.
Dari mano datang palito
Dari baliak telong nan batali
Cahayonyo tarang bamego-mego
Mambayang sampai kasubarang
Dari mano asa niniak kito
Dari puncak Gunuang Marapi
Turun ka Ligundi Nan Baselo
Di Pariangan Padang Panjang

Benarkah pada  400 tahun sebelum masehi Pulau Sumatra masih berupa lautan?? Benarkah yang disebutkan dalam Tambo ???

Para ahli geologi yang mempelajari proses pembentukan muka bumi, memperkirakan 250 juta tahun yang lalu, pada permulaan masa Mesozoikum, bumi merupakan benua sangat besar yang disebut Pangea. Pada zaman trias, yaitu 230 juta tahun yang lalu, Pangea pecah menjadi dua bagian, yaitu Laurasia yang terdiri atas Amerika Utara, Eropa, dan Asia yang memisahkan dari Gongwanaland yang terdiri dari India, Australia, Afrika, Amerika Selatan, dan Antartika. Di Zaman Jura, India memisahkan diri dari Gondwanaland dan bergerak kea rah Asia dengan kecepatan 10-18 cm per tahun. Menjelang permulaan Zaman Tersier, India mendesak Asia dan sebagaian menabrak Benua Asia yang menghasilkan Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Bukit barisan di Kawasan sunda (Sumatera). [3]
Pada 1 juta yang lalu beberapa bagian daerah Indonesia Barat (Jawa, sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur) dan dataran Indonesia Timur (Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) digenangi oleh air laut akibat mencairnya tudung es kedua kutub bumi. [4] Berjalannya waktu dan  karena peristiwa-peristiwa tektonik yang terjadi terbentuklah gunung api dan daratan baru.
Hasil penelitian para ahli geologi yang menyebutkan bahwa daerah Indonesia Barat khususnya Sumatra pernah menjadi lautan luas dibuktikan dengan keberadaan bebatuan yang bersumber dari lautan di wilayah Sumatera yang sekarang telah menjadi pegunungan, seperti batu gamping, batu stalaktit stalakmit. Salah satunya di temukan di dataran tinggi Minangkabau yakni wilayah Matua Kabupaten Agam. Di situs budaya yang terdapat di jorong Batu Baselo Iko Tanah Nagari Matua Hilia Kabupaten Agam ditemukan batuan yang berasal dari bekuan lava gunung api (batu andesit) dan bekuan cankang binatang laut (batu gamping). Kedua jenis batuan ini berada dalam satu situs yang menyimpan sejarah kepercayaan masyarakat masa lampau. Situs ini diyakini berasal dari zaman batu yang digunakan untuk pemujaan. Keberadaan situs ini menggambarkan kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat kala itu.

Situs Baselo di Jorong Batu Baselo



Batuan di situs Batu Baselo

Batu Gamping di Situs Batu Baselo
 Batu Gamping atau batu kapur terbentuk dari cangkang lunak seperti siput, kerang dan binatang laut yang telah mati. Rangkanya yang terbuat dari kapur tidak akan musnah, namun memadat membantuk batu kapur. Batu gamping bewarna putih keabua-abuan serta membentuk gas karbon dioksida jika ditetesi asam (hcl).




Batu Gamping di Aliran Sungai di samping Guo Inyiak Janun
Batu Gamping di salah satu mulut Guo Inyiak Janun



Keberadaan Batu Gamping di Situs Batu Baselo Jorong Batu Baselo Nagari Matua Hilia menjadi bukti bahwa Sumatera dahulunya adalah laut. 

Batu Stalaktid Stalakmit dalam Guo Inyiak Janun


Batu Stalaktit dan Stalakmit terbentuk dari proses air yang larut di daerah kars yang masuk ke lobang-lobang kemudian turun ke gua dan menetes-netes dari atap gua ke dasar gua. Tetesan-tetesan air yang mengandung kapur lama kelamaan membeku lalu berubah jadi batuan kapur yang bentuknya runcing-runcing. Ciri-ciri stalaktit dan stalakmit adalah bewarna kuning, coklat, krem, keemasan, dan putih.
Daerah Kars adalah daerah yang dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batuan gamping (https://id.wikipedia.org). Menjadi hal sangat istimewa di kaki Gunung Tinjau terdapat daerah kars. Hal ini memperkuat kenyataan bahwa daerah ini dahulunya adalah lautan. Pristiwa-peristiwa tektonik telah mengangkat gunung-gunung dasar laut kepermukaan. Novizar Swantry, Ketua Geopark Ranah Minang pada saat turun melihat Guo Inyiak Janun menjelaskan, bahwa Guo Inyiak Janun adalah Guo yang dahulunya adalah aliran sungai bawah tanah yang terangkat kepermukaan.  Di dalam guo ditemukan batuan Gamping, Andesit, Stalaktit, stalakmid yang memukau. 

Selain Batu Gamping, di Geosite Matua Hilia terdapat batuan lain yang tidak kalah mempesona., seperti Batu Andesit, dan Columnar Joint.  

Batu Andesit terbentuk dari lelehan lava gunung merapi yang meletus, terbentuk (membeku) ketika temperature lava yang meleleh antara 900 samapi 1.100 derajat celcius. Ciri-ciri batu andesit memiliki tekstur halus, bewarna abu-abu hijau tetapi sering merah dan jingga. Batu andesit sering digunakan untuk nisan kuburan, cobek, arca serta batu pembuat candi

Batu Andesit (Batu Gunung) di Situs Batu Baselo
Batu Andesit di situs Batu Baselo ini diperkirakan terbentuk dari lelehan lava Gunung Tinjau yang meletus puluhan ribuan tahun yang lalu. 


Selanjutnya Columnar Joint yang terdapat di Lubuak Panjang Jorong Batu Baselo Iko Tanah Nagari Matua Hilia. Columnar Joint di Lubuak Panjang ini bersama Guo Inyiak Janun, Pincuran Gadang telah ditetapkan sebagai Geopark Nasional pada akhir tahun 2018. 

Columnar Joint di Aliran Sungai di samping Guo Inyiak Janun
Columnar Joint di aliran Sungai yang terdapat di samping Guo Inyiak Janun. 

Columnar Joint adalah batuan yang digambarkan dalam bentuk tiang-tiang prisma sejajar yang pada umumnya terbentuk pada aliran basalt yang disebabkan oleh pendinginan lava gunung api. Columnar Joint biasanya ditemukan di daerah instrusif dangkal atau ekstrusif batuan beku, secara umum terdapat pada basaltic, sill, dike dan aliran lava (lava flows). Columnar joint dihasilkan oleh proses pendinginan  basalt yang mengalir cepat dan menyebabkan penyusutan dan keretakan bentuk batuan serta pada umumnya membantuk pola hexagonal.[5]
Columnar Joint di Lubuak Panjang Jorong Batu Baselo Iko Tanah Nagari Matua Hilia.

 
Menguji lebih lanjut kebenaran Tambo yang menyebutkan bahwa 400 tahun sebelum masehi Ranah Minang sebagian besarnya masih lautan, penulis merujuk kepada hasil penelitian seorang ahli sejarah asal Jepang Yoshiro Shiratori. Yoshiro Shiratori mengemukakan tentang perpindahan rumpun bangsa-bangsa Austronesia dari daratan Asia Tenggara pada 2000 SM. Perpindahan bangsa-bangsa ini berlanjut terus menerus, seperti Bangsa Munda di Selatan India, Thai dan Birma di Selatan Tibet. Orang-orang Asia Tenggara terdesak oleh kedatangan orang-orang Munda, Thai dan Birma. Oleh karena itu, orang-orang Asia Tenggara secara berkelompok meninggalkan negerinya. Suku bangsa Minangkabau disebutkan berasal dari suku bangsa Austronesia Tua (Melayu Polinesia) atau Melayu Tua yang berasal dari India Selatan. Suku ini meninggalkan negerinya untuk mencari daerah baru yang subur dan sampai di pantai Asia Tenggara. Dari sini mereka melanjutkan ekspedisi mengarungi Samudera naik ke Pulau Sumatera. Diantara mereka melalui sungai-sungai besar seperti siak, rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Sebagian memasuki pedalaman Sumatera dan mendara di puncak Gunung Merapi. Di sini mereka menemukan tanah yang subur lalu menetap. Dalam perkembangannya mereka membangun nagari Pariangan. Mereka disebut sebagai suku asli Minangkabau Melayu Tua pendukung kebudayaan Neoliticum dengan pertanian dan peternakan yang sederhana.

Akhir catatan ini..

Penulis menyimpulkan, bahwa pernyataan dalam tambo tentang kondisi alam Ranah Minang 400 tahun sebelum masehi, pada saat ditemukan oleh Sultan Maharaja Diraja masih di dominasi lautan adalah benar. Hal ini didasarkan kepada hasil temuan para ahli geologi, hasil penelitian Yoshiro Shiratori sejarawan Jepang, dan bebatuan yang ditemukan di Matua Hilia. 


Selebihnya, Wallaua'lam. 


Menjelajah Geosite Matua Hilia ini menjadi pengalaman istimewa. Melihat Indahnya ciptaan Tuhan sembari mempelajari Ilmu Geologi kepada ahlinya adalah hal yang luar biasa  untuk seorang tamatan sastra seperti saya. Berusaha keras menangkap setiap uraian tentang batuan sembari menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh ke sungai yang deras, atau lurah yang dalam adalah pengalaman yang berbeda. Alhamdulillah gurunya adalah orang-orang yang sabar..hehehe

Salam hormat untuk:

-. Bapak Novizar Swantry (Ketua Geopark Ranah Minang)
-. Sdr. Ahmad Fadhly, ST, Mt (Tenaga Ahli Geologi Geopark Ranah Minang)
-. Ahmad Alaudin Fazz (Team Geopark Ranah Minang)
-. Feri Andika (Team Geopark Ranah Minang)
-. Yorizal (Team Geopark Ranah Minang)
-. Wali Nagari Matua Hilia
-. Wali Jorong Batu Baselo
-. Wali Jorong Bukik Siriah
-. Kawan-kawan Penggiat Pariwisata Matua Hilia

Salam Geopark...
























[1] Di dalam Tambo dituliskan bahwa sebelum Ranah Minang bernama Minangkabau, belum berluhak dan berlaras, belum berpenghulu berandiko, belum bercupak dan bergantang, belum babarih babalabeh, belum baukua bajangko, belum bacupak jo bagantang, sebelum kehidupan di Minangkabau di mulai, yakni di masa 400 abad Sebelum Masehi ada sebuah kerajaan di belahan bumi yang lain, yaitu kerajaan Macedonia yang diperintah oleh seorang raja besar yakni Sultan Iskandar Zulkarnaini Yang Agung. Keberadaan raja agung ini di abadikan Allah dalam Alqur’an surat Al-Kahfi ayat 83-98.
Sejarah mencatat, bahwa Raja Iskandar Zulkarnain adalah seorang raja yang memiliki kekuasaan yang sangat besar pada zamannya. Ia adalah seorang maharaja sehingga namanya dikenal dengan sebutan Iskandar Yang Agung. Wilayah kekuasaannya mencakup seluruh Negara-negara Balkan, yakni Yunani, Bulgaria, Rumania, Yugoslavia (Bosnia dan Kroasia); wilayah asia sepanjang Persia (Iran), Irak, Rusia, sebagin Tiongkok, serta wilayah afrika seperti Mesir dan Sudan. Kebesaran pengaruhnya membawa kedamaian pada dunia. Masyarakat hidup aman dan sejahtera.
Dalam Tambo Minangkabau Kerajaan Macedonia disebut dengan Benua Ruhum. Hal ini merujuk kepada nama daerah tempat Kerajaan Macedonia berada. Raja Iskandar Zulkaranaini memiliki cita-cita agung untuk menyatukan semua manusia di bumi dalam kedamaian. Untuk mewujudkan cita-cita ini, Iskandar Zulkarnaini mengeluarkan perintah kawin silang. Hal ini terjadi setelah seluruh tanah Persia dapat dikuasainya dan Mesir dapat ditaklukannya, yaitu dengan memerintahkan serdadu-serdadunya yang berasal dari Eropa mengawini penduduk asli, sehingga akan lahir generasi baru yang bukan orang eropa tapi juga bukan pribumi, tetapi manusia baru yang akan menjadi khalifah Tuhan di muka bumi, sehingga permusuhan antara bangsa Eropa, Asia, dan Afrika dapat dihindarkan.
[2] Sultan Maharaja Diraja adalah keturunan Iskandar Zulkarnaini dari pernikahan dengan Puteri Ruhana di Persia. Pernikahan ini melahirkan tiga orang putra. Putra tertua bernama Maharaja Alif menjadi raja Benua Ruhum, putra kedua Sultan Maharaja Dipang menjadi raja Tiongkok/ cina. Putra ketiga Sultan Maharaja Diraja berangkat meninggalkan Laut Langka Puri bersama Cati Bilang Pandai, Datuak Suri Diraja, dan anggota rombongan lainnya hingga sampai ke Pulau Andalas (Sumatera) dan mendarat di puncak Gunung Marapi sebab sekelilingnya masih berupa lautan.
[3] Dalam Oki Oktariadi, Rudy Suhendar. Warisan Geologi Sumatera. 2016. Hal 2-4.
[4] Ibid. hal 7-8
[5] Bates dan Jakson, 1984 dalam nurani Geo Blogspot.com.

2 komentar:

  1. Keren
    Salam kami www.langkahilmu.com

    BalasHapus
  2. Luar biasa sangat bermanfaat bagi kita utk menambah ilmu pengetahuan
    Terlebih pengembangan dlm ilmu geowisata

    BalasHapus