Senin, 21 Mei 2018

LEGENDA GUO INYIAK JANUN " MATUA HILIA MENUJU GEOPARK DUNIA"




Add caption






Legenda/ cerita asal muasal Guo Inyiak Janun disusun dalam upaya melengkapi data kebudayaan Nagari Matua Hilia (agam) yang sedang merintis pengembangan objek wisata ini menuju objek wisata yang diakui dunia dalam badan GEOPARK RANAH MINANG (GRM). Penyusuan  cerita ini didasarkan kepada wawancara dengan tokoh masayarakat Nagari Matua Hilia terutana Pemimpian Pasukuaan (Datuak) pemilik Guo Inyiak Janun ini. Upaya ini semoga tidak merusak keseimbangan dan tatanan masyarakat Nagari Matua Hilia. Terlebih, penulis menyusun cerita ini sebagai bentuk "kasih" untuk tanah yang telah membesarkan hingga menjadi seperti saat sekarang ini. Salam Pariwisata..

LEGENDA GUO INYIAK JANUN


Guo Inyiak Janun berada di Jorong Bukik Siriah, Nagari Matua Hilia, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam Sumatera Barat. Guo ini, sangat potensial dikembangkan menjadi wisata alam yang menawan. Stalaktid dan stalakmid dalam Guo menjadi daya tarik utama. Selain itu, dari sisi ekonomi keberadaan burung layang-layang yang membuat sarang di dalamnya juga sangat membantu perekonomian masyarakat jika dikelola dengan baik.
Dalam hukum adat Nagari Matua Hilia, Guo Inyiak Janun merupakan Pusako Tinggi Pasukuan Caniago Payuang Panji Dt. Basa. Banyak cerita yang berkembang tentang keberadaan guo ini. Sisi Mistis yang menyungkup keberadaan guo ini menambah nilai jual wisata yang saat ini mulai di rintis untuk dikembangkan menjadi objek wisata dunia, yakni Geowisata “GEOPARK”. Saat ini, Guo Inyiak Janun merupakan salah satu objek wisata yang diusulkan untuk menjadi Geopark yang diakui dunia melalui badan resmi yakni UNESCO. Objek wisata Guo Inyiak Janun diusulkan menjadi Geopark bersamaan dengan pengusulan Ngarai Sianok di Bukittinggi dan Lembah Harau di Kabupaten Limo Puluah Kota dalam satu nama, yakni Geopark Ranah Minang.
 Hikayat yang berkembang, asal muasal guo ini bernama Guo Inyiak Janun merujuk kepada kisah hidup seorang perempuan kuat dan mandiri yang pertama kali menemukan guo ini pada tahun 1870- an. Perempuan tersebut adalah Inyiak Janun. Pahitnya hidup, penderitaan, kesengsaraan, dan ketakutan yang disebabkan penjajahan Belanda memaksa Inyiak Janun membawa keluarganya meninggalkan pemukiman utama di nagari Matua Hilia yakni Jorong Batu Baselo untuk “ijok” mengunsi memasuki pedalaman Matua Hilia. Pelarian Inyiak Janun karna ketakutan atas penjajahan Belanda mengantarkannya pada sebuah guo yang lapang dan tersembunyi di sisi sebuah bukit di pedalaman Matua Hilia. Di sini untuk memenuhi kebutuhan hidup, Inyiak Janun berladang sirih dan menjualnya secara sembunyi-sembunyi ke Ford De Kock.
Setelah situasi lebih aman, Inyiak Janun mendirikan sebuah Rumah Gadang persis di atas Guo  dan tinggal menetap di situ bersama keluarganya. Selain itu, Inyiak Janun juga membuat sebuah pemandian persis di sisi guo yang bernama Pincuran Ruyuang. Setelah kemerdekaan, tempat tersebut tidak ditinggalkan namun didiami hingga sekarang. Bukit yang dijadikan sebagai tempat  berladang sirih di namai Bukit Sirih dan guo tersebut dinamai Guo Inyiak Janun untuk menunjukkan, bahwa yang pertama kali menemukan guo dan diakui sebagai pemilik guo adalah Inyiak Janun.
Keunikan lain yang sampai saat ini dipercaya oleh masyarakat adalah keberadaan penunggu gaib yang menjaga Guo Inyiak Janun. Penunggu tersebut di sebutkan adalah seekor harimau putih yang akan menampakan diri kepada orang-orang yang memiliki niat yang salah. Dt. Basa selaku pemimpin suku yang memiliki Guo Inyiak Janun menegaskan, bahwa di Guo Inyiak Janun berlaku sumpah sati “Ka Ateh Indak Bapucuk, Ka Bawah Indak Baurek, Di tangah di Giriak Kumbang” bagi siapa saja yang berniat “salah” di Guo Inyiak Janun. Hal ini tentunya sesuai dengan besarnya potensi Guo Inyiak Janun yang harus dijaga dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Datuak Basa

Datuak Indo dan Datuak Rajo Angek

Datuak Rajo Angek dan Datuak Basa


Sumber:
Hasanadi, SS dkk. 2013. Warisan Budaya Tak Benda di Propinsi Sumatera Barat. Padang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang.
Wawancara dengan Dt Basa, Dt, Indo, Dt Rajo Angek (Niniak Mamak Nagari Matua Hilia, 20 Mei 2018)
Foto-Foto: Aswendi, S.HI.

Kamis, 17 Mei 2018

LEGENDA NGARAI SIANOK "PERAN STRATEGIS SASTRA DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH"


Folklore dalam wujud prosa rakyat atau cerita rakyat yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat  memiliki porsi dan peran sendiri dalam pengembangan Pariwisata suatu daerah. Seolah telah menjadi "kewajiban" bagi setiap kebudayaan yang ada di dunia ini untuk menyungguhkan cerita dan menempelkannnya kepada sesuatu, baik daerah, situs, dan  benda yang dianggap bernilai tinggi. Folklore dapat dijadikan landas penentu pengembangan lokasi wisata baru ataupun mendongkrak popularitas objek wisata. Tentu saja cerita tersebut perlu dikemas atau "dimanipulasi" dalam rangka menarik pengunjung. Di Sumatera Barat banyak objek wisata yang berhasil berkembang dengan memberdayakan warisan folklore yang ada seperti Pantai Air Manis dengan cerita Aasal Usul Batu Malin Kundang; Gunug Padang dengan cerita Siti Nurbaya; Panorama Danau Maninjau dengan cerita Bujang Sambilan; Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat dengan cerita Sangkuriang. Bukan kebenaran dari cerita tersebut yang menjadi patokan, namun nilai kehidupan yang membangun karakter seperti sikap jujur, sikap religus/ ketaatan kepada pencipta, sikap tanggung jawab, sikap disiplin, sikap kerja keras, sikap kreatif, sikap mandiri, sikap demokratis yang tercermin dalam setiap cerita yang disuguhkanlah yang menjadi tujuan utama. Lebih lanjut, pemberdayaan folklore untuk mengangkat lokasi wisata secara tidak langsung juga telah berubah menjadi salah satu proses perlindungan terhadap folklore dan pengetahuan tradisional. 
 Selain itu, “ketikapastian atau unsur mistis" dari cerita tersebut menjadi maknet kuat pengunjung datang ke lokasi wisata. Rasa penasaran pembaca menjadi point penting lokasi wisata menjadi primadona. 
Bukittinggi adalah kota dengan sejarah dan budaya yang khas. Bukittinggi bermula dari Nagari Kurai yang merupakan nagari pertama terbentuk setelah 13 orang ninik mamak pindah dari Pariangan Padang Panjang ke Luhak Agam. Angka 13 (jumlah ninik mamak tersebut) diabadikan menjadi nama Jorong Tigo Baleh. Perkembangan dari keturunan 13 orang ninik mamak tersebut akhirnya mendirikan empat jorong tambahan, yakni Jorong Mandiangin, Jorong Gurun Panjang, Jorong Aur Birugo, dan Jorong Koto Selayan. Kelima jorong tersebut membentuk sebuah nagari yang dikenal dengan nama Nagari Kurai V Jorong.
Dari sisi sumber daya alam, Bukittinggi memiliki sebuah panorama indah yang memiliki nilai jual tinggi, terutama dari aspek pariwisatanya. Panorama alam tersebut adalah PanoramaNgarai Sianok.
Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam yang memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota dari selatan Ngarai Koto Gadang sampai ke nagari Sianok Anam Suku, dan berakhir di Kecamatan  Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang sangat indah dan juga menjadi salah satu objek wisata andalan di Sumatera Barat terutama di Kota Bukittinggi.
Ngarai Sianok dengan kedalaman lebih kurang 100 m ini, membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m merupakan bagian dari patahan (patahan semanka) yang memisahkan Pulau Sumatera menjadi dua bagian memanjang. Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau—hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal). Di dasar ngarai mengalir  sungai jernih yang terkenal dengan nama Batang Sianok.
Dahulunya Ngarai Sinaok ini disebut karbouwengat atau kerbau sanget. Penamaan ini bermula dari banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai ini. Disepanjang Batang Sianok masih banyak terdapat tumbuhan langka seperti Raflesia dan tumbuhan obat-obatan. Fauna yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul, dan juga tapir.  
Menurut hasil pengkajian  ilmiah, Ngarai Sianok merupakan daerah endapan piroklastik dari Gunung Merapi dan Gunung Singggalang. Peristiwa terjadinya endapan piroklastik ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan berangsur secara perlahan-lahan (tidak langsung terbentuk endapan tebal). Kemudian baru terjadi patahan sebagaimana yang kita lihat pada saat sekarang ini.
Ngarai Sianok terjadi akibat pergeseran bumi secara horizontal, dengan jarak pergeseran 2 mm per hari. Hal ini menunjukkan bagaimana pergerakan yang aktif pada ngarai sianok secara khusus atau deretan patahan semangka pada umumnya. Patahan semangka ini terbentang di bagian selatan pulau Sumatera yang biasanya dikenal dengan deretan bukit barisan. Patahan semangka ini terjadi akibat tumbukan dua lempeng yaitu lempeng india dan lempeng indo astralia.
Patahan semangka di Ngarai Sinaok adalah patahan yang terbuka dan sekaligus sebagai recharge area yaitu daerah pengisian air atau daerah resapan air yang nantinya akan dialirkan dan disimpan pada lapisan akuifer, sehingga jika dilakukan pengeboran air di Ngarai Sianok tidak akan ditemukan air dalam jumlah besar karena air hujan yang serap pada daerah ini di teruskan atau dialirkan pada lapisan aquifer dibawahnya. Contoh lainnya adalah debit air sungai di lembah sianok yang kecil akibat sebahagian airnya terserap dan teralirkan ke lapisan aquifer.

LEGENDA NGARAI SIANOK.

Sang Sapurba (Siri Maharaja Diraja) datang ke Minangkabau bersama  pembantunya yakni Cati Bilang Pandai dan empat orang  pengawal pribadinya, yaitu Harimau Campo, Kuciang Siam, kambiang Hutan dan Anjiang Mualim. Sesampainya di Minangkabau, Sang Sapurba menikah  dengan Puti Indo Jalito adik Datuak Suri Dirajo. Sang Sapurba dinobatkan menjadi raja dengan gelar Maharajadiraja dan bertahta di Lagundi Nan Baselo  yang merujuk kepada Kerajaan Pagaruyuang
Selain didampingi Cati Bilang Pandai dan Harimau Campo, Kucing Siam, Kambiang Hitam, Anjing Mu"alim Sang Sapurba dikawal oleh panglima perang dan pengawal terbaik Sang Sapurba yang bergelar Kati Muno. Kesaktian dan kesetiaan Kati Muno kepada Sang Sapurba membuat Sang Sapurba sangat mempercayainya. Bersama Sang Sapurba, Kati Muno menetap dan sering melakukan perjalanan hingga ke pedalaman Minangkabau. 
Sang Sapurba memiliki tubuh tinggi besar, sakti  dan memiliki kulit yang keras. Di Minangkabau, Katik Muno tergoda untuk menjadi penguasa di negeri yang indah dan permai. Ia berfikir bahwa, sifat lemah lembut orang Minangkabau dalam menyambut tamu disebabkan karna rasa takut melihat keperkasaan rombongan Sang Sapurba. Di dorong oleh keinginan menjadi salah satu raja di Minangkabau, tabiat Katik Muno dari orang yang taat beribadah, lemah lembut berubah menjadi orang yang sangat jahat. Kejahatannya menimbulakn penderitaan, kesengsaraan, dan ketakutan yang teramat sangat bagi penduduk Minangkabau. Kejahatannya menyebar hingga ke seluruh negeri Minangkabau hingga masyarakat menggelarinya Nago Kati MunoUla Nan Gadang, Pahabih padi di ladang”.
Hal ini tentunya menimbulkan pertentangan dengan Sang Sapurba yang bertahta di Batu Gadang yang merasa dikhianati dan dipermalukan. Untuk menghindari percekcokan dengan Sang Sapubra, Katik Muno bartarak merubah wujudnya menjadi naga raksasa dan membagi Pulai Paco menjadi dua bagian. Satu bagian untuk Sang Sapurba dan bagian yang lain untuk dirinya. Batas wilayah pembagian ini ditandai dengan ngarai (jurang)  yang sangat dalam. Di dasar ngarai tersebut mengalir api yang panas, sehingga masing-masing penduduk tidak dapat saling mengunjungi.
Hal ini memancing kemarahan pimpinan Minangkabau Datuak Suri di Radjo. Datuak Suri Diradjo mengutus empat penghulu yang berada di Pariangan, yakni Dt.Bandaro Kayo, Dt. Seri Maharajo, Dt. Sutan Maharajo Basa, Dt. Maharajo Basa untuk menemuai Sang Sapurba dengan titah Sang Sapurba harus membinasakan Katik Muno yang telah berusaha memecah dan merusak keseimbangan Alam Minangkabau.
Memenuhi permintaan Datuak Suri Diradjo, Sang Sapurba mengundang Katik Muno untuk bertemu di Batu Gadang. Dalam pertemuan tersebut terjadi peperangan antara Sang Sapurba dan Katik Muno. Pertarungan berlangsung berhari-hari dan menyebabkan pedang Sang Sapurba sumbing sebanyak 90 buah.
Peperang ini tentunya sangat melelahkan dan menimbulkan ketakutan bagi penduduk. Untuk mengakhiri peperangan ini, Sang Sapurba teringat pernyataan Katik Muno saat masih setia padanya, yakni Katik Muno menyebutkan, bahwa tak ada satupun senjata yang dapat mengakhiri hidupnya selain sebilah keris yang dibuatnya sendiri dan diberinya nama Keris Nago Kati Muno. Teringat hal tersebut, Sang Sapurba menggunakan kecerdikannya. Ia mengatakan kepada Katik Muno, bahwa ia mengaku kalah. Sebagai bentuk kekalahannya, Sang Sapurba mempersilahkan Katik Muno untuk mendiami istananya di Batu Gadang. Merasa telah menang, Katik Muno dengan angkuh memasuki istana Batu Gadang dan beristirahat. Di saat Katik Muno beristirahat, Sang Sapurba mencuri Keris Nago Katik Muno.
Setelah berhasil mencuri keris tersebut, Sang Sapurba kembali menantang Katik Muno untuk bertarung dan mengeluarkan hinaan bahwa katik Muno adalah sampah masyarakat, kacang lupo ju kuliknyo. Murka karna di hina, Katik Muno menyetujui untuk kembali bertarung. Dalam pertarungan ini, Sang Sapurba membunuh Katik Muno dengan menggunakan senjata Katik Muno sendiri, yakni Keris Nago Katik Muno.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Katik Muno mengakui kesalahannya. Untuk menembus kesalahannya, Katik Muno menyatakan bahwa ngarai dalam dan aliran api yang diciptakannya untuk membagi Minangkabau menjadi dua bagian akan menjadi penyatu dan berkah bagi masyarakat Minangkabau. Api di dasar jurang tersebut akan menjadi air yang jernih dan menjadi sumber penghidupan masyarakat. Di Sepanjang aliran sungai akan terdapat berbagai tumbuhan yang telah menyerap kesaktiannya dan akan berguna untuk penyembuhan berbagai penyakit. Selain itu, Katik Muno juga mengeluarkan kutukan jika ada yang meniru kelakuan jahatnya, maka kehancuran akan menimpa dan merusak keseimbangan Alam Minangkabau.
Bukti pertobatan Katik Muno,  ngarai  yang menakutkan dan dialiri api berubah menjadi ngarai yang indah. Aliran api di dasar ngarai berubah menjadi aliran sungai dengan air yang jernih. Di sepanjang aliran sungai banyak terdapat tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi masayarakat sesuai dengan apa yang dikatakan Katik Muno sebelum meninggal.
Setelah kejadian tersebut, ngarai yang curam yang sungai didasarnya diberi nama Ngarai Si Anok dan Batang Si Anok = “ Ngarai pemimpin yang bijaksana/ Batang air pemimpin yang bijaksana”= untuk sebutan kepada pemimpian Minangkabau (Datuak Suri Di Rajo) dan penghargaan atas jasa Sang Sapurba yang telah membinasakan Nago Katik Muno.

Wallahua’alam.  Namun, kebenarannya adalah:
1.            Keangkuhan, kesombongan, dan ketamakan adalah awal dari kehancuran. Tidak ada yang abadi. Kekuatan, kekuasaan adalah ujian agar tetap menjadi hamba yang Qana’ah.
2.            Pertobatan yang sesungguhnya akan menghasilkan buah yang manis. Seperti halnya Katik Muno, kesombongan, keangkuhan, dan ketamakannya telah mengantarnya kepada kematian dan kutukan. Pertobatan yang  sebenarnya telah membuat masyarakat bersedia memaafkan kesalahnnya.
3.            Kesabaran dan keikhlasan untuk memaafkan telah memberikan masyarakat anugrah yang tak ternilai. Ngarai Sianok saat ini menjadi salah satu objek wisata yang menjerat banyak wisatawan untuk datang menganguminya. Keindahan Ngarai Sianok juga telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk meraih kesejateraan dengan memanfaatkan aspek pariwisatanya.

Sumber Kajian Ilmiah Ngarai sinanok
http://pustakatambang.blogspot.co.id/2012/06/ngarai-sianok.html
Cerita ini disusun berdasarkan kisah-kisah mistis tentang Ngarai sianok, serta kisah-kisah mistis yang ada di Minangkabau. Untuk memperkuat cerita, penulis membaca berbagai Tambo Alam Minangkabau.   Penulis berharap, cerita ini tidak menjadi akhir dari kisah mistis Ngarai Sianok.Semoga, cerita ini tidak mengakhiri explore Ngarai Sianok dan merusak kesimbangan Alam Minangkabau.

Bismillah...

Salam Literasi

Rabu, 02 Mei 2018

BELANDA "PUN" MERAYAKAN ULANG TAHUN KOTA BUKITTINGGI


Kota Bukittinggi selalu / hampir selalu merayakan ulang tahun Kota Bukittinggi setiap tangal 22 Desember. Tapi tahukah anda bahwa Belanda juga pernah merayakan ulang tahun Kota Bukittinggi secara besar-besaran. Data ini dapat dilihat dari kutipan surat kabar berikut: 


Fort-de Kock 100 jaren oud!"Van 3 tot 9 Juni [1926] a.s. zullen te Fort-de-Kock groote feesten plaats hebben, seint onze correspondent te Padang, ter gelegenheid van het 100-jarig bestaan van deze plaats. Het initiatif tot de viering werd genomen door Maleische en Chineesche ingezetenen.”*** (Suryadi – Leiden University, Belanda/ Padang Ekspres, Minggu 28 Mei 2017)





Kutipan di atas adalah potongan laporan surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-IndiĆ« (Batavia) edisi 7 April 1926. Surat kabar tersebut memberitakan pesta besar-besaran yang akan digelar di Fort de Kock  (Bukittinggi) untuk memperingati dan merayakan ulang tahun sebuah daerah pedalaman Minangkabau yang ke 100 (seratus) tahun. Daerah tersebut merupakan salah satu kota terpenting dalam penguasaan Belanda di Sumatera Tengah. Kota tersebut merupakan basik Belanda di Minangkabau. 



Seperti dapat dibaca dalam kutipan di atas, pesta ulang tahun tersebut akan berlangsung selama seminggu, dari 3 sampai 9 Juni 1926 yang diselenggarakan atas inisiatif penduduk Fort de Kock, baik pribumi maupun warga Tionghoa (disebut ‘Maleisch en Chineesche ingezeten’).



Bedasarkan laporan ini, dapat diketahui bahwa hari kelahiran kota Fort de Kock (kini Bukittinggi) adalah pada 3 Juni 1826 (sederhana sekali untuk menentukan hari lahirnya, yakni 3 Juni 1826 - 100 Tahun). Berdasarkan laporan ini pula dapat dihitung bahwa pada tanggal 3 Juni 2018 nanti, kota Bukittinggi akan berusia 192 tahun.



Hal ini tentunya sangat berbeda dengan versi Pemerintah Kota Bukittinggi. Pemerintah Kota Bukittinggi menetapkan, bahwa hari lahir kota Bukittinggi adalah 22 Desember 1784. Penetapan ini ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bukittinggi Nomor: 188.45.117/1988, ditandatangani oleh Drs. H.B. Burhanudin selaku Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bukittinggi.



Di dalam SK ini dituliskan, bahwa penetapan tanggal 22 Desember 1784 sebagai hari jadi Kota Bukittinggi didasarkan kepada pengkajian dan penelitian yang telah dilakukan. Berdasarkan SK ini, pada tanggal 22 Desember 2018 nanti Kota Bukittinggi akan berusia 234 tahun.


SK Penetapan Hari Jadi Kota Bukittinggi
 



Perbedaan ini tentunya bukanlah suatu celah untuk "menjatuhkan" ataupun "merusak" sesuatu yang telah ada. Namun, data sejarah ini seyogyanya akan menjadi "satu"  titik awal sebuah pengkajian ilmiah lainnya. Setidaknya, data sejarah yang digunakan untuk penetapan 22 Desember 1784 sebagai hari jadi Kota Bukittinggi dan dasar perayaan ulang tahun yang digelar Belanda pada tanggal 3 Juni 1926  dapat/ memungkinkan untuk diangkat kepermukaan hingga menjadi data penting keilmuan untuk semakian kuatnya identitas serta keberadaan Kota Bukittinggi secara ilmiah. 



Bukankah sebuah hasil yang sempurna bersumber dari perbedaan yang bersinergi??

"Basilang kayu di tungku
Disinan api mangko hiduik
Buliah duduak bapaliang, asa di lapiak nan sahalai
Buliak tagak bakisa, asa di tanah nan sabingkah".



Daan,, satu data sejarah lagi membuktikan "pentingnya" Bukittinggi..



Salam Pariwisata,,Salam Minangkabau..