Alam
Minangkabau adalah sebutan untuk daerah yang didiami salah satu suku mayoritas yang
terdapat di Provinsi Sumatera Barat, yaitu Suku Minangkabau. Suku Minangkabau
mengambil garis keturunan dari garis ibu dan terkenal dengan falsafah hidupnya,
yakni “Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah”. Berdasarkan hal tersebut, orang Minangkabau adalah
penganut agama Islam yang taat. Tanah Alam Minangkabau ini terletak di
tengah-tengah Pulau Sumatera Bahagian Barat. Dalam Tambo dikatakan, Sejak Sikilang Air Bangis sampai ke Durian
Ditakuak Rajo (dalam wilayah provinsi Jambi); dari Ombak yang Berdebur (Pantai di
Laut Padang Pariman) sampai Sialang Dilantak Basi, dan Dari Laut Yang Sadidiah
(dalam Wilayah Provinsi Riau) lalu ke Sipisak Pisau Hanyut sampai ke Buaya
Putih Dagu (dalam Wilayah Provinsi Jambi).
Dalam Tambo Alam Minangkabau dikisahkan
tentang kedatangan seorang pemimpin agung ke negeri Minangkabau yang indah dan kaya
raya. Ia adalah seorang pemimpin yang adil, bijaksana dan berilmu tinggi bergelar
Sang Sapurba atau Sultan Maharaja Diraja. Sang Sapurba atau Sultan Maharaja
Diradja adalah keturunan langsung Raja Iskandar Zulkarnaini Yang Agung yang
bertahta dalam kerajaan yang sangat besar yakni Kerajan Macedonia di Benua
Ruhum. Sultan Maharaja Diraja merupakan salah satu pewaris kekuasan Raja Iskandar Zulkarnaini Yang Agung. Ia memiliki
impian memelihara dan memperluas kebesaran kerajaannya. Untuk itu Sultan
Maharaja Diradja berlayar meninggalkan Kerajaan Macedonia di Benua Ruhum hingga sampai di Pulau Andalas atau Pulau
Sumatera.
Anggota
rombongan Sultan Maharaja Diradja yang datang dari Kerajaan Macedonia di Benua
Ruhum terdiri dari enam belas orang pria dan wanita yang berasal dari golongan
kesatria. Diantara anggota rombongan yang sangat penting adalah Datuak Suri
Dirajo dan Catri Bilang Pandai. Sesuai dengan namanya kedua orang ini sangat
cerdas, cerdik cendikia, lubuk akal lautan budi, tau diereng dengan gendeng,
pandai mengaji dan sangat bijaksana.
Selain enam belas anggota rombongan tersebut, Sultan
Maharaja Diraja juga membawa lima orang putri yang berasal dari Hindia
Belakang. Kelima orang putri itu diberi
nama sesuai dengan sifat, tingkah laku, dan asal usul mereka masing-masing,
yakni:
1. Anak Raja
2. Kucing Siam
3. Harimau Campa
4. Kambing Utan
5. Anjing Mua’alim.
Anak
Raja
adalah anak kandung Sultan Maharaja Diradja yang sangat pintar dalam membuat
rencana; Kucing Siam adalah putri
yang berasal dari daerah Kocin di Negeri Siam yang memiliki sifat sangat lemah
lembut kepada temannya namun sangat buas dan kejam kepada musuh-musuhnya; Harimau Campa adalah putri yang berasal
Kerajaan Campa dan sangat suka memakan daging, pintar berkelahi, gemar masuk
hutan dan semak belukar dan tidak takut menghadapi mara bahaya; Kambing Utan adalah Putri yang berasal
dari daerah Kambayn di Birma dan suka memakan sayur-sayuran, suka bersembunyi
sambil mengintai musuh; dan Anjing
Mua’alim adalah putri yang berasal daerah Kamboja yang memiliki sifat yang
sangat setia, selalu mendampingi Sultan Maharaja Diradja dan rela menyerahkan
nyawanya demi menyelamatkan temannya.
Di dalam anggota
rombongan yang berjumlah enam orang tersebut, terdapat seorang pemuda yang
bertugas sebagai pengawal pribadi Sultan Maharaja Diraja. Ia adalah orang yang
alim dan taat dalam menjalankan agama. Ia adalah kakak laki-laki dari Harimau
Campa -Putri cantik dari Kerajaan Campa-. Dalam kehidupan sehari-harinya,
pemuda tersebut selalu menggunakan pakaian serba hitam dengan sulaman benang
merah pada lingkaran leher dan lengannya. Rambutnya hitam pekat tergerai
menutupi kedua pundaknya. Kepala dililit kain hitam yang menggambarkan
keteguhan hatinya. Tubuhnya tinggi semampai dengan bahu yang kokoh dan lebar.
Wajahnya elok dan tampan. Ulas bibirnya yang tipis dan sinar matanya yang tajam,
mengisyaratkan kekerasan hati dan keberanian sipemiliknya. Karena keelokan
rupanya, sikapnya, dan ketaatannya dalam menjalankan perintah Tuhan ia dinamai
dengan Katik Sampono Radjo, yang artinya orang yang sangat taat dan paham
agama.
Katik
Sampono Radjo besama Datuk Suri Diradjo dan Catri Bilang Pandai selalu
mendampingi Sultan Maharaja Diradja dalam menjelajahi Pulau Andalas yang
sekarang disebut dengan Alam Minangkabau. Kesetiaan Katik Sampono Radjo
terhadap Sultan Maharadja membuat Sultan Maharaja Diradja merestuinya untuk
tinggal bersama adiknya Harimau Campa di Luhak Agam, karena Harimau Campa dan
anak keturunannya berkembang di dalam Luhak Agam. Katik Sampono Radjo ingin
tinggal bersama adiknya karena ia ingin mendampingi adik serta kemenakannya
dalam menyusun dan mengatur tata pemerintahan di Luhak Agam.
Sepanjang perjalanannya
menyusuri Minangkabau bersama Sultan Maharaja Diradja hingga akhirnya diizinkan
menetap di Luhak Agam, Katik Sampono Radjo merasakan keelokan Alam Minangkabau dan
keramah tamahan masyarakat yang sangat memuliakannya. Masyarakat selalu patuh
pada setiap ajaran dan perintah yang ia berikan. Hal ini menimbulkan rasa
serakah, keinginan untuk berkuasa dalam hatinya. Ia ingin berkuasa dan menjadi
raja di Luhak Agam, sebagaimana dulu di Kerajaan Campa ia adalah seorang putra
mahkota calon raja.
“Aku adalah orang yang pintar, taat, sakti
mandraguna dan setiap perkataanku selalu dituruti oleh rakyat di Luhak Agam,
Aku adalah putra mahkota Kerajaan Campa. Dalam tubuhku mengalir darah penguasa.
Oleh karena itu aku sangat pantas dan layak menjadi penguasa atau raja di Luhak
Agam”
Perihal keinginan ini disampaikan
Katik Sampono Radjo kepada Sultan Maharaja Diradja. Sayangnya, Keinginan Katik Sampono Radjo untuk menjadi
raja di Luhak Agam ditolak oleh Sultan Maharaja Diradja dan juga ditentang oleh
Harimau Campa adik kandungnya sendiri. Penolakan ini dan hasrat ingin menguasai
Alam Minangkabau telah merubah karakter Katik Sampono Radjo dari seorang yang
alim, taat, penyayang menjadi seorang yang kejam, jahat. Ia menjadi dendam
kepada Sultan Maharaja Diradja dan adiknya Harimau Campa.
Untuk menyampaikan
keinginannya menjadi raja, Katik Sampono
Radjo membentuk pasukan yang sangat kejam. Pasukan tersebut melakukan
pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan. Banyak rakyat yang kehilangan nyawa,
harta dan keluarga karena menentangnya, hewan ternak habis, sawah ladang
menjadi hancur. Kejahatan Katik Sampono Radjo dan pasukannya membuat rakyat
Minangkabau menderita, sengsara dan ketakutan yang teramat sangat, hingga
rakyat merubah namanya dari Katik Sampono Radjo menjadi Katik Muno yang berarti Katik
yang gila. Kelakuannya yang penuh murka dan kejahatan bagaikan perangai ular
naga ganas yang menghancurkan, hingga ia digelari oleh masyarakat Minangkabau di
Luhak Agam“Nago Kati Muno, ula nan gadang,
pahabih padi di ladang”.
Kabar
tentang kekejaman Katik Sampono Radjo yang sekarang bergelar Kati Muno sampai ketelinga
Sultan Maharadja Diradja yang berkedudukan di Paringan Padang Panjang. Sultan
Maharadja Diradja mengutus Datuak Suri Dirajo, Catri Bilang Pandai, Datuak
Bandaharo Kayo dan Datuak Maharajo Basa untuk menemui Katik Muno untuk
menyampaikan pesan yang berbunyi:
“ Wahai Katik Sampono
Radjo! Kau adalah pengawal kesayanganku. Aku telah mempercayakan kepadamu untuk
membimbing rakyat di Luhak Agam. Apakah kau lupa, bahwa kesimbangan dan
keselarasan Alam Minangkabau dan isinya adalah titik pedoman bagi rakyat
Minangkabau dalam berprilaku, bertingkah kurenah dan bertindak tanduk. Manusia Minangkabau memiliki kewajiban dan tangggung
jawab penuh dalam memelihara dan menjaga kesimbangan dan keselarasan alam dan
isinya. Kerusakan alam akan membawa malapetaka- rusak alam rusak kehidupan, rusak adat rusak budi-, berobatlah
Katik Sampono Radjo sebelum murka Tuhan melulur dirimu!!!“.
Namun, Katik Muno tidak
mau menerima peringatan Sultan Maharadja Diradja. Bahkan, Ia mencuri Mahkota Sultan Maharaja Diradja dan
berusaha membunuh anak kandung Sultan Maharaja Diraja yang bergelar Anak Raja. Selain
itu, dengan kekuatan yang Ia miliki, Katik Muno membagi Luhak Agam menjadi dua
bagian. Batas kedua bagian itu ditandai dengan jurang dalam yang di dasarnya
mengalir lahar merah yang panas. Pembagian ini dilakukannya sebagai tanda
pembagian wilayah Minangkabau. Separoh untuk Sultan Maharaja Diradja separohnya untuk dirinya.
Perbuatannya ini
membuat Sultan Maha Diradja marah besar. Sultan Maharaja Diraja merasa
dikhianati. Kebaikan dan kasih sayangnya telah dibalas dengan kejahatan dan
penghianatan oleh Katik Muno. Air susu
dibalas dengan air tuba. Demi menjaga kesimbangan Alam Minangkabau, Sultan
Maharaja Diradja mengundang Katik Muno agar datang ke kediamannya di Batu
Gadang untuk berunding mencari kata sepakat. Namun, perundingan tersebut tidak
menemukan kata selesai sehingga terjadi peperangan antara Sultan Maharaja
Diradja dan Katik Muno. Pertarungan antara Sutan Maharadja Diradja dengan Kati
Muno berlangsung berhari-hari, sehingga membuat pedang Sultan Maharadja Diradja
sumbing sebanyak 99 buah. Peperangan tersebut membuat masyarakat semakin takut
dan menderita. Menyadari hal ini, Sultan Maharadja Diradja bersiasat dan
pura-pura mengalah dengan tujuan untuk mengambil keris sakti Katik Muno. Sultan
Maharadja Diradja teringat kata-kata Katik Sampono Radjo atau Katik Muno saat
ia masih setia pada Sultan Maharadja Diraja, ia mengatakan:
“Tidak ada satupun senjata yang dapat melukai
ku ataupun mengakhiri hidup ku, selain sebilah keris yang ku buat dengan
kesaktianku, keris ini ku beri nama “Keris
Nago Katik Sampono Radjo”.
Mengingat hal tersebut,
Sultan Maharadja Diradja bersama para pembesarnya menjalankan siasat dengan menyerahkan
kediamannya yang berada di Batu Gadang beserta pengawalnya kepada Katik Muno. Bersamaan
dengan itu Harimau Campa (adik kandung Katik Muno yang dulu menentangnya juga
mengakui kekuasaanya). Hal ini membuat Katik
Muno merasa sangat senang karena apa yang ia impikan akhirnya tercapai. Dengan
sombongnya ia berkata:
“ Akulah raja yang
perkasa, mulai saat ini tidak aka ada yang mampu melawanku!!!!”
Larut dalam kebahagiaan karena telah merasa
menang, Katik Muno mengadakan perayaan kemenangnya, berbagai kesenian
Minangkabau ditampilkan untuk memeriahkan perayaan tersebut, seperti Silek,
Saluang, Randai, Tari Piriang dan berbagai kesenian tradisonal Minangkabau
lainnya. Perayaan itu juga dilakukannya karena Katik Muno berniat melamar Puti
Indo Jalito adik perempuan Datuak Suri Diradjo. Laruh dalam suasana bahagia
akan kemenangannya, Katik Muno menjadi lengah. Keris Nago Katik Sampono Radjo yang biasanya selalu terselip di
pinggangnya diletakkan di dalam kamar pribadinya. Ia merasa yakin tidak akan ada
satu orang pun yang akan berani memasuki kamarnya dan mengambil kerisnya.
Kesempatan ini diambil
oleh Harimau Campa. Ia dengan leluasa dapat memasuki kamar Katik Muno. Tidak
ada pengawal atau pelayan yang akan mencurigainya. Karena ia adalah adik
kandung Katik Muno. Dengan tenang, Harimau Campa mengambil “Keris Nago Katik Sampono Radjo” tersebut dan menyerahkannya kepada Sultan Maharadja Diradja. Katik Muno
tidak menyadari akan hal itu, sehingga pada saat Sultan Maharadja Diradja menantangnya
untuk bertarung kembali ia terheran-heran dan mengatakan:
“ Tidak akan ada yang mampu
mengalahkan ku, tidak engkau wahai Sultan Maharaja Diradja dan tidak juga orang
lain. Aku adalah Putra Mahkota Kerajaan Campa. Aku memiliki kesaktian yang
tiada tandingan. Mulutku bisa menyemburkan api. Keringat ku bisa membunuh orang
yang terkena. Dan Aku memiliki keris sakti yang aku buat sendiri. Hahahahaha…
kau hanyalah mantan raja wahai Sultan Maharadja Diradja!” ejeknya.
Sultan Maharadja
Diradja tidak terpancing emosi mendengarkan perkataan Katik Muno. Sultan
Maharadja Diradja dengan tenang mengatakan:
“Wahai Katik Muno, sekarang kau
bukan Katik Sampono Radjo yang hebat, arif, taat, dan bijaksana! Kau bukan lagi
Putra Mahkota Kerajaan campa!. Kau sekarang adalah orang jahat yang tidak
pantas menjadi raja! Kau adalah laki-laki zalim yang demi kekuasaan melupakan
sanak saudaranya! menyakiti adik kandung dan kemenakannya! mengkhianati teman
sejawatnya! serta tidak pandai membalas budi orang yang menyayanginnya! Kau bagaikan
“Kacang yang lupa akan kulitnya! Kau bergelimang noda dan dosa! Kau rusak
harapan dan rasa bangga sanak saudaramu! Korong kampungmu! Kau rusak
keseimbangan alam dan isinya! Kau telah melupakan amanat Ayahanda dan Ibundamu
di Kerajaan Campa! Kau akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atas kejahatannmu!”.
Mendengar perkataan
tersebut tersebut Katik Muno termenung. Jauh di lubuk hatinya, Ia mulai
menyadari bahwa Ia telah mengambil jalan yang salah. Ia telah menyaksikan
bagaimana adiknya Harimau Campa meneteskan air mata melihat kekejaman dan
keserakahannya. Ia rindu ayahanda dan ibundanya di Kerajaan Campa. Ia teringat
pesan ayahanda dan ibundanya untuk selalu menyayangi adiknya Harimau Campa.
Namun, semuanya telah terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin surut
kembali. Keserakahan hatinya lebih menang dari kebenaran yang disampaikan menyusup telinganya. Keserakahan itu
menimbulkan rasa amarah di hatinya dan Ia memenuhi tantangan Sultan Maharadja
Diradja untuk bertarung Kembali. Pada pertarungan kali ini Sultan Maharadja
Diradja dapat mengalahkan Katik Sampono Radjo atau Kati Muno dengan menikamkan “Keris Nago Katik Sampono Radjo” tepat di
jantung Katik Muno.
Tubuh katik muno
bergetar, darah membasahi dada dan tubuhnya. Sinar matanya mulai hilang. Dalam
kegelapan yang mulai menerpanya, wajah ayahanda dan ibundanya di Kerajaan Campa
membayang, begitu juga wajah adiknya Harimau Campa. Mereka sedih akan perbuatannya.
Air mata menetes membasahi pipi Katik Muno. Ia menyesal.
“ Wahai ayahanda
dan ibunda, wahai adindaku Harimau Campa! Lihatlah akhir hidupku yang penuh
noda dan dosa. Maafkanlah aku! Wahai pimpinanku Sultan Maharaja Diradja. Telah
kulawan dirimu! Tidak ku hiraukan nasehatmu! Maafkanlah aku!, Wahai masyarakat
Minangkabau ampunilah aku!!”
Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir Katik
Muno mengakui kesalahannya. Ia menyesali tindakanya yang telah merusak
kesimbangan Alam Minangkabau dan membagi Luhak Agam menjadi dua bagian. Ia
menyadari, bahwa Alam Minangkabau adalah satu. Tidak boleh dibagi atau dikuasai
dengan cara kekerasan.
Sebagai bukti penyesalannya, dengan kekuatan yang tersisa Katik Muno memadamkan aliran api di dasar Ngarai dengan air mata penyesalan dan pertobatannya, sehingga alirah api tersebut berubah menjadi aliran sungai yang jernih. Kelak air sungai tersebut menjadi sumber penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Aliran sungai yang bersumber dari air mata penyesalan Katik Muno sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk mengairi persawahan yang ada disepanjang aliran sungai. Kesaktian Katik Sampono Radjo atau Katik Muno diserap aneka tanaman yang tumbuh sepanjang aliran sungai. Aneka tumbuhan tersebut bermanfaat untuk penyembuhan berbagai penyakit, seperti Sitawa, Sidingin, Sikumpai, Sihanyuik, Batang Silapadang, Batang Jilatang. Kesaktian Katik Sampono Radjo juga diserap oleh binatang yang hidup disepanjang aliran sungai tersebut seperti ular, kala jengking, sipasan, salimado dan penyengat. Katik Muno juga mengutuk siapa saja yang berbuat seperti dirinya. Barang siapa yang berniat untuk membagi Alam Minangkabau, ingin menguasinya dengan cara yang salah serta membuat masyarakat menderita maka ia akan memperoleh kehancuran.
Batu Katik
Sampono Radjo atau Batu Katik Muno di Museum Rumah Adat Nan Baanjung Kota
Bukittinggi (Foto Koleksi Isma Darma Yanti)
Kepada adiknya Harimau Campa, Katik Sampono
Radjo atau Kati Muno menyerahkan mustika yang dimilikinya. Keteguhan Hati
Harimau Campa pada kebenaran, tidak takut melawan kejahatan membuat Harimau
Campa dikenal sebagai penjaga dan pelindung oleh masyarakat di Luhak Agam. Harimau
Campa menjadi simbol Luhak Agam. Sekarang, Harimau Campa lebih terkenal dengan sebutan
Harimau Campo oleh masyarakat di Luhak Agam, yakni masyarakat di Kabupaten Agam
dan Kota Bukittinggi.
Di Kota Bukittinggi
dibuat patung Putri Harimau Campa dalam wujud harimau (binatang) sebagai tanda
bahwa keberanian dan kasih sayangnya akan selalu melindungi masyarakat Kota
Bukittinggi. Masyarakat mewarisi sifat- sifat Harimau Campa/ Harimau Campo yang
tersirat dari kiasan:
“ Airnya Keruh,
Ikannya Liar, Buminya Panas, Padinya Menjadi”
Bendera kebesaran yang menjadi
kebanggaan di Luhak Agam adalah bewarna merah yang menyiratkan keberanian.
Patung Harimau
Campa/ Harimau Campo di Janjang Ampek Puluah Kota Bukittinggi (Foto Koleksi Isma Darma Yanti)
Semenjak
kematian Katik Sampono Radjo atau Kati Muno hingga sekarang, ngarai curam
dengan aliran sungai indah bak liukan ular naga dengan airnya yang jernih
dipermukaannya diberi nama Ngarai Si Anok dan Batang Si Anok yang berarti ngarai
dan Batang atau aliran sungai yang tenang. Ketenangan yang tercipta dengan
berakhirnya peperangan, kekacauan, dan kesengsaraan. Saat ini Ngarai Sianok
atau Batang Sianok adalah tempat yang dapat memberikan ketenangan bagi siapa
saja yang datang berkungjung ke sana. Padi-padi yang menghijau menambah indah
panoramanya.
Foto Koleksi Kumparan
Ngarai
Sianok atau Batang Sianok juga menjadi simbol, bahwa dalam menghadapi kejahatan
kita harus bersikap tenang serta bijaksana. Sebagaimana Sultan Maharaja Diradja
yang baru bisa mengalahkan Katik Sampono Radjo atau Kati Muno dengan bersikap
tenang dan bijaksana.
Minangkabau
tanah na denai cinto
Pusako
bundo nan dahulunyo
Rumah
gadang nan sambilan ruang
Rangkiang baririk di
halamannyo
Bilo den kana
Hati
den taibo
Tabayang-bayang
Di
ruang mato
Catatan:
Tulisan ini merupakan
versi lain dari asal Usul Ngarai Sinaok yang penulis Tulis pada tahun
2018. https://bukittinggiminangkabau.blogspot.com/2018/05/legenda-ngarai-sianok-peran-strategis.html
Penyempurnaan sengaja
penulis lakukan agar lebih bernilai edukasi dan bisa dipahami oleh banyak orang.
Penulis ingin memperkenalkan fakta budaya, fakta sosial, fakta mental yang
hidup dalam Tradisi Lisan Masyarakat Minangkabau. Hakikatnya bukan kebenaran
cerita dari sudut Fakta Sejarah yang ingin penulis sampaikan. Tetapi kebenaran
Fakta budaya, mental, dan sosial yang hidup dan menjadi dasar kehidupan orang
Minangkabau. Yakni, kesimbangan dan keselarasan Alam Minangkabau dan
isinya adalah titik pedoman bagi rakyat Minangkabau dalam berprilaku,
bertingkah kurenah dan bertindak tanduk. Manusia Minangkabau memiliki kewajiban dan tangggung
jawab penuh dalam memelihara dan menjaga kesimbangan dan keselarasan alam dan
isinya. Kerusakan alam akan membawa malapetaka- rusak alam rusak kehidupan, rusak adat rusak budi.
Filosofisnya “Adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah” merupakan pedoman hidup orang Minangkabau. Nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya dapat digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter
seperti yang tengah dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional. Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengatur
bahwa fungsi pendidikan nasional itu adalah mengembangkan budaya nasional
berdasarkan budaya lokal. Pengembangan budaya lokal memberikan warna terhadap
pendidikan karakter yang ingin diterapkan.
Penulisan Legenda Asal Usul Ngarai Sianok ini
merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menanamkan pendidikan
karakter bagi generasi muda. Artinya, pengenalan fakta-fakta budaya kepada
generasi muda dapat dilakukan dengan penulisan cerita-cerita yang memuat
fakta-fakta budaya tersebut.
Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan
kepada:
Bapak Hasanadi, SS (Peneliti pada Balai Pelestarian
Nilai Budaya Padang), Bapak DR. Zulqaiyyim, M.Hum (Dosen pada Fakultas Ilmu
Budaya Unand), Bapak DR. Hasanuudin, M.Si ( Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya
Unand) atas arahan-arahan dan masukan-masukan yang tiada putus sejak pertama
kali penulis melangkahkan kaki di Fakultas Ilmu Budaya dahulunya Fakultas
Sastra pada tahun 2003 hingga kini.
Hakikatnya
“ Bukan dirilah yang hebat, Namun Allah telah mempertemukan
dengan orang-orang hebat”