Kamis, 15 April 2021

LEGENDA ASAL USUL NGARAI SIANOK DAN BATU SI KATIK MUNO


ISKANDAR ZULKARNAINI YANG AGUNG - SANG SAPURBA - SULTAN MAHARAJA DIRADJA - HARIMAU CAMPO - KATIK SAMPONO RADJO


                                                                                   

                                           Batu Katik Muno (Foto Koleksi Isma Darma Yanti)


Alam Minangkabau adalah sebutan untuk daerah yang didiami salah satu suku mayoritas yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat, yaitu Suku Minangkabau. Suku Minangkabau mengambil garis keturunan dari garis ibu dan terkenal dengan falsafah hidupnya, yakni “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Berdasarkan hal tersebut, orang Minangkabau adalah penganut agama Islam yang taat. Tanah Alam Minangkabau ini terletak di tengah-tengah Pulau Sumatera Bahagian Barat. Dalam Tambo dikatakan, Sejak Sikilang Air Bangis sampai ke Durian Ditakuak Rajo (dalam wilayah provinsi Jambi); dari Ombak yang Berdebur (Pantai di Laut Padang Pariman) sampai Sialang Dilantak Basi, dan Dari Laut Yang Sadidiah (dalam Wilayah Provinsi Riau) lalu ke Sipisak Pisau Hanyut sampai ke Buaya Putih Dagu (dalam Wilayah Provinsi Jambi). Wilayah Minangkabau dibagi menjadi dua, yakni dwilayah darek dan wilayau rantau. Wilayah darek disebut dengan luhak, terdiri dari yakni Luhak Tanah Datar mencakup Kapubaten Tanah Datar; Luhak Agam mencakup Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi; Luhak Limo Puluah Kota mencakup Kebupaten Limo Puluah Kota dan Kota Payakumbuh. Wilayah rantau adalah wilayah-wilayah yang berada diluar ketiga luhak tersebut.

            Dalam Tambo Alam Minangkabau dikisahkan tentang kedatangan seorang pemimpin agung ke negeri Minangkabau yang indah dan kaya raya. Ia adalah seorang pemimpin yang adil, bijaksana dan berilmu tinggi bergelar Sang Sapurba atau Sultan Maharaja Diraja. Sang Sapurba atau Sultan Maharaja Diradja adalah keturunan langsung Raja Iskandar Zulkarnaini Yang Agung yang bertahta dalam kerajaan yang sangat besar yakni Kerajan Macedonia di Benua Ruhum. Sultan Maharaja Diraja merupakan salah satu pewaris kekuasan Raja Iskandar Zulkarnaini Yang Agung. Ia memiliki impian memelihara dan memperluas kebesaran kerajaannya. Untuk itu Sultan Maharaja Diradja berlayar meninggalkan Kerajaan Macedonia di Benua Ruhum  hingga sampai di Pulau Andalas atau Pulau Sumatera.

Anggota rombongan Sultan Maharaja Diradja yang datang dari Kerajaan Macedonia di Benua Ruhum terdiri dari enam belas orang pria dan wanita yang berasal dari golongan kesatria. Diantara anggota rombongan yang sangat penting adalah Datuak Suri Dirajo dan Catri Bilang Pandai. Sesuai dengan namanya kedua orang ini sangat cerdas, cerdik cendikia, lubuk akal lautan budi, tau diereng dengan gendeng, pandai mengaji dan sangat bijaksana.

 Selain enam belas anggota rombongan tersebut, Sultan Maharaja Diraja juga membawa lima orang putri yang berasal dari Hindia Belakang.  Kelima orang putri itu diberi nama sesuai dengan sifat, tingkah laku, dan asal usul mereka masing-masing, yakni:

1.      Anak Raja

2.      Kucing Siam

3.      Harimau Campa

4.      Kambing Utan

5.      Anjing Mua’alim.

Anak Raja adalah anak kandung Sultan Maharaja Diradja yang sangat pintar dalam membuat rencana; Kucing Siam adalah putri yang berasal dari daerah Kocin di Negeri Siam yang memiliki sifat sangat lemah lembut kepada temannya namun sangat buas dan kejam kepada musuh-musuhnya; Harimau Campa adalah putri yang berasal Kerajaan Campa dan sangat suka memakan daging, pintar berkelahi, gemar masuk hutan dan semak belukar dan tidak takut menghadapi mara bahaya; Kambing Utan adalah Putri yang berasal dari daerah Kambayn di Birma dan suka memakan sayur-sayuran, suka bersembunyi sambil mengintai musuh; dan Anjing Mua’alim adalah putri yang berasal daerah Kamboja yang memiliki sifat yang sangat setia, selalu mendampingi Sultan Maharaja Diradja dan rela menyerahkan nyawanya demi menyelamatkan temannya.

Di dalam anggota rombongan yang berjumlah enam orang tersebut, terdapat seorang pemuda yang bertugas sebagai pengawal pribadi Sultan Maharaja Diraja. Ia adalah orang yang alim dan taat dalam menjalankan agama. Ia adalah kakak laki-laki dari Harimau Campa -Putri cantik dari Kerajaan Campa-. Dalam kehidupan sehari-harinya, pemuda tersebut selalu menggunakan pakaian serba hitam dengan sulaman benang merah pada lingkaran leher dan lengannya. Rambutnya hitam pekat tergerai menutupi kedua pundaknya. Kepala dililit kain hitam yang menggambarkan keteguhan hatinya. Tubuhnya tinggi semampai dengan bahu yang kokoh dan lebar. Wajahnya elok dan tampan. Ulas bibirnya yang tipis dan sinar matanya yang tajam, mengisyaratkan kekerasan hati dan keberanian sipemiliknya. Karena keelokan rupanya, sikapnya, dan ketaatannya dalam menjalankan perintah Tuhan ia dinamai dengan Katik Sampono Radjo, yang artinya orang yang sangat taat dan paham agama.

            Katik Sampono Radjo besama Datuk Suri Diradjo dan Catri Bilang Pandai selalu mendampingi Sultan Maharaja Diradja dalam menjelajahi Pulau Andalas yang sekarang disebut dengan Alam Minangkabau. Kesetiaan Katik Sampono Radjo terhadap Sultan Maharadja membuat Sultan Maharaja Diradja merestuinya untuk tinggal bersama adiknya Harimau Campa di Luhak Agam, karena Harimau Campa dan anak keturunannya berkembang di dalam Luhak Agam. Katik Sampono Radjo ingin tinggal bersama adiknya karena ia ingin mendampingi adik serta kemenakannya dalam menyusun dan mengatur tata pemerintahan di Luhak Agam.

Sepanjang perjalanannya menyusuri Minangkabau bersama Sultan Maharaja Diradja hingga akhirnya diizinkan menetap di Luhak Agam, Katik Sampono Radjo merasakan keelokan Alam Minangkabau dan keramah tamahan masyarakat yang sangat memuliakannya. Masyarakat selalu patuh pada setiap ajaran dan perintah yang ia berikan. Hal ini menimbulkan rasa serakah, keinginan untuk berkuasa dalam hatinya. Ia ingin berkuasa dan menjadi raja di Luhak Agam, sebagaimana dulu di Kerajaan Campa ia adalah seorang putra mahkota calon raja.

 “Aku adalah orang yang pintar, taat, sakti mandraguna dan setiap perkataanku selalu dituruti oleh rakyat di Luhak Agam, Aku adalah putra mahkota Kerajaan Campa. Dalam tubuhku mengalir darah penguasa. Oleh karena itu aku sangat pantas dan layak menjadi penguasa atau raja di Luhak Agam”

 

Perihal keinginan ini disampaikan Katik Sampono Radjo kepada Sultan Maharaja Diradja. Sayangnya,  Keinginan Katik Sampono Radjo untuk menjadi raja di Luhak Agam ditolak oleh Sultan Maharaja Diradja dan juga ditentang oleh Harimau Campa adik kandungnya sendiri. Penolakan ini dan hasrat ingin menguasai Alam Minangkabau telah merubah karakter Katik Sampono Radjo dari seorang yang alim, taat, penyayang menjadi seorang yang kejam, jahat. Ia menjadi dendam kepada Sultan Maharaja Diradja dan adiknya Harimau Campa. 

Untuk menyampaikan keinginannya menjadi  raja, Katik Sampono Radjo membentuk pasukan yang sangat kejam. Pasukan tersebut melakukan pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan. Banyak rakyat yang kehilangan nyawa, harta dan keluarga karena menentangnya, hewan ternak habis, sawah ladang menjadi hancur. Kejahatan Katik Sampono Radjo dan pasukannya membuat rakyat Minangkabau menderita, sengsara dan ketakutan yang teramat sangat, hingga rakyat merubah namanya dari Katik Sampono Radjo menjadi Katik Muno yang berarti Katik yang gila. Kelakuannya yang penuh murka dan kejahatan bagaikan perangai ular naga ganas yang menghancurkan, hingga ia digelari oleh masyarakat Minangkabau di Luhak Agam“Nago Kati Muno, ula nan gadang, pahabih padi di ladang”.   

   Kabar tentang kekejaman Katik Sampono Radjo yang sekarang bergelar Kati Muno sampai ketelinga Sultan Maharadja Diradja yang berkedudukan di Paringan Padang Panjang. Sultan Maharadja Diradja mengutus Datuak Suri Dirajo, Catri Bilang Pandai, Datuak Bandaharo Kayo dan Datuak Maharajo Basa untuk menemui Katik Muno untuk menyampaikan pesan yang berbunyi:  

“ Wahai Katik Sampono Radjo! Kau adalah pengawal kesayanganku. Aku telah mempercayakan kepadamu untuk membimbing rakyat di Luhak Agam. Apakah kau lupa, bahwa kesimbangan dan keselarasan Alam Minangkabau dan isinya adalah titik pedoman bagi rakyat Minangkabau dalam berprilaku, bertingkah kurenah dan bertindak tanduk.  Manusia Minangkabau memiliki kewajiban dan tangggung jawab penuh dalam memelihara dan menjaga kesimbangan dan keselarasan alam dan isinya. Kerusakan alam akan membawa malapetaka- rusak alam rusak kehidupan, rusak adat rusak budi-, berobatlah Katik Sampono Radjo sebelum murka Tuhan melulur dirimu!!!“.

 

Namun, Katik Muno tidak mau menerima peringatan Sultan Maharadja Diradja. Bahkan,  Ia mencuri Mahkota Sultan Maharaja Diradja dan berusaha membunuh anak kandung Sultan Maharaja Diraja yang bergelar Anak Raja. Selain itu, dengan kekuatan yang Ia miliki, Katik Muno membagi Luhak Agam menjadi dua bagian. Batas kedua bagian itu ditandai dengan jurang dalam yang di dasarnya mengalir lahar merah yang panas. Pembagian ini dilakukannya sebagai tanda pembagian wilayah Minangkabau. Separoh untuk Sultan Maharaja Diradja  separohnya untuk dirinya.

Perbuatannya ini membuat Sultan Maha Diradja marah besar. Sultan Maharaja Diraja merasa dikhianati. Kebaikan dan kasih sayangnya telah dibalas dengan kejahatan dan penghianatan oleh Katik Muno. Air susu dibalas dengan air tuba. Demi menjaga kesimbangan Alam Minangkabau, Sultan Maharaja Diradja mengundang Katik Muno agar datang ke kediamannya di Batu Gadang untuk berunding mencari kata sepakat. Namun, perundingan tersebut tidak menemukan kata selesai sehingga terjadi peperangan antara Sultan Maharaja Diradja dan Katik Muno. Pertarungan antara Sutan Maharadja Diradja dengan Kati Muno berlangsung berhari-hari, sehingga membuat pedang Sultan Maharadja Diradja sumbing sebanyak 99 buah. Peperangan tersebut membuat masyarakat semakin takut dan menderita. Menyadari hal ini, Sultan Maharadja Diradja bersiasat dan pura-pura mengalah dengan tujuan untuk mengambil keris sakti Katik Muno. Sultan Maharadja Diradja teringat kata-kata Katik Sampono Radjo atau Katik Muno saat ia masih setia pada Sultan Maharadja Diraja, ia mengatakan:

 “Tidak ada satupun senjata yang dapat melukai ku ataupun mengakhiri hidup ku, selain sebilah keris yang ku buat dengan kesaktianku, keris ini ku beri nama “Keris Nago Katik Sampono Radjo”.

 

Mengingat hal tersebut, Sultan Maharadja Diradja bersama para pembesarnya menjalankan siasat dengan menyerahkan kediamannya yang berada di Batu Gadang beserta pengawalnya kepada Katik Muno. Bersamaan dengan itu Harimau Campa (adik kandung Katik Muno yang dulu menentangnya juga mengakui kekuasaanya). Hal ini membuat  Katik Muno merasa sangat senang karena apa yang ia impikan akhirnya tercapai. Dengan sombongnya ia berkata:

“ Akulah raja yang perkasa, mulai saat ini tidak aka ada yang mampu melawanku!!!!”

 Larut dalam kebahagiaan karena telah merasa menang, Katik Muno mengadakan perayaan kemenangnya, berbagai kesenian Minangkabau ditampilkan untuk memeriahkan perayaan tersebut, seperti Silek, Saluang, Randai, Tari Piriang dan berbagai kesenian tradisonal Minangkabau lainnya. Perayaan itu juga dilakukannya karena Katik Muno berniat melamar Puti Indo Jalito adik perempuan Datuak Suri Diradjo. Laruh dalam suasana bahagia akan kemenangannya, Katik Muno menjadi lengah. Keris Nago Katik Sampono Radjo yang biasanya selalu terselip di pinggangnya diletakkan di dalam kamar pribadinya. Ia merasa yakin tidak akan ada satu orang pun yang akan berani memasuki kamarnya dan mengambil kerisnya.

Kesempatan ini diambil oleh Harimau Campa. Ia dengan leluasa dapat memasuki kamar Katik Muno. Tidak ada pengawal atau pelayan yang akan mencurigainya. Karena ia adalah adik kandung Katik Muno. Dengan tenang, Harimau Campa mengambil “Keris Nago Katik Sampono Radjo” tersebut dan menyerahkannya kepada Sultan Maharadja Diradja. Katik Muno tidak menyadari akan hal itu, sehingga pada saat Sultan Maharadja Diradja menantangnya untuk bertarung kembali ia terheran-heran dan mengatakan:

“ Tidak akan ada yang mampu mengalahkan ku, tidak engkau wahai Sultan Maharaja Diradja dan tidak juga orang lain. Aku adalah Putra Mahkota Kerajaan Campa. Aku memiliki kesaktian yang tiada tandingan. Mulutku bisa menyemburkan api. Keringat ku bisa membunuh orang yang terkena. Dan Aku memiliki keris sakti yang aku buat sendiri. Hahahahaha… kau hanyalah mantan raja wahai Sultan Maharadja Diradja!” ejeknya.

 

Sultan Maharadja Diradja tidak terpancing emosi mendengarkan perkataan Katik Muno. Sultan Maharadja Diradja dengan tenang mengatakan:

“Wahai Katik Muno, sekarang kau bukan Katik Sampono Radjo yang hebat, arif, taat, dan bijaksana! Kau bukan lagi Putra Mahkota Kerajaan campa!. Kau sekarang adalah orang jahat yang tidak pantas menjadi raja! Kau adalah laki-laki zalim yang demi kekuasaan melupakan sanak saudaranya! menyakiti adik kandung dan kemenakannya! mengkhianati teman sejawatnya! serta tidak pandai membalas budi orang yang menyayanginnya! Kau bagaikan “Kacang yang lupa akan kulitnya! Kau bergelimang noda dan dosa! Kau rusak harapan dan rasa bangga sanak saudaramu! Korong kampungmu! Kau rusak keseimbangan alam dan isinya! Kau telah melupakan amanat Ayahanda dan Ibundamu di Kerajaan Campa! Kau akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atas kejahatannmu!”.

 

Mendengar perkataan tersebut tersebut Katik Muno termenung. Jauh di lubuk hatinya, Ia mulai menyadari bahwa Ia telah mengambil jalan yang salah. Ia telah menyaksikan bagaimana adiknya Harimau Campa meneteskan air mata melihat kekejaman dan keserakahannya. Ia rindu ayahanda dan ibundanya di Kerajaan Campa. Ia teringat pesan ayahanda dan ibundanya untuk selalu menyayangi adiknya Harimau Campa. Namun, semuanya telah terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Tak mungkin surut kembali. Keserakahan hatinya lebih menang dari kebenaran yang disampaikan  menyusup telinganya. Keserakahan itu menimbulkan rasa amarah di hatinya dan Ia memenuhi tantangan Sultan Maharadja Diradja untuk bertarung Kembali. Pada pertarungan kali ini Sultan Maharadja Diradja dapat mengalahkan Katik Sampono Radjo atau Kati Muno dengan menikamkan “Keris Nago Katik Sampono Radjo” tepat di jantung Katik Muno.

Tubuh katik muno bergetar, darah membasahi dada dan tubuhnya. Sinar matanya mulai hilang. Dalam kegelapan yang mulai menerpanya, wajah ayahanda dan ibundanya di Kerajaan Campa membayang, begitu juga wajah adiknya Harimau Campa. Mereka sedih akan perbuatannya. Air mata menetes membasahi pipi Katik Muno. Ia menyesal.

“ Wahai ayahanda dan ibunda, wahai adindaku Harimau Campa! Lihatlah akhir hidupku yang penuh noda dan dosa. Maafkanlah aku! Wahai pimpinanku Sultan Maharaja Diradja. Telah kulawan dirimu! Tidak ku hiraukan nasehatmu! Maafkanlah aku!, Wahai masyarakat Minangkabau ampunilah aku!!”

 

   Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir Katik Muno mengakui kesalahannya. Ia menyesali tindakanya yang telah merusak kesimbangan Alam Minangkabau dan membagi Luhak Agam menjadi dua bagian. Ia menyadari, bahwa Alam Minangkabau adalah satu. Tidak boleh dibagi atau dikuasai dengan cara kekerasan.

Sebagai bukti penyesalannya, dengan kekuatan yang tersisa Katik Muno memadamkan  aliran api di dasar Ngarai dengan air mata penyesalan dan pertobatannya, sehingga alirah api tersebut berubah menjadi aliran sungai yang jernih. Kelak air sungai tersebut menjadi sumber penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Aliran sungai yang bersumber dari air mata penyesalan Katik Muno sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk mengairi persawahan yang ada disepanjang aliran sungai. Kesaktian Katik Sampono Radjo atau Katik Muno diserap  aneka tanaman yang tumbuh sepanjang aliran sungai. Aneka tumbuhan tersebut bermanfaat untuk penyembuhan berbagai penyakit, seperti Sitawa, Sidingin, Sikumpai, Sihanyuik, Batang Silapadang, Batang Jilatang. Kesaktian Katik Sampono Radjo juga diserap oleh binatang yang hidup disepanjang aliran sungai tersebut seperti ular, kala jengking, sipasan, salimado dan penyengat. Katik Muno juga mengutuk siapa saja yang berbuat seperti dirinya. Barang siapa yang berniat untuk membagi Alam Minangkabau, ingin menguasinya dengan cara yang salah serta membuat masyarakat menderita maka ia akan memperoleh kehancuran.

 Agar menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat, raga Katik Sampono Radjo atau Kati Mudo tidak dapat dikuburkan. Raganya membatu dan sekarang tersimpan di Museum Rumah Adat Nan Baajuang Kota Bukittinggi.

Batu Katik Sampono Radjo atau Batu Katik Muno di Museum Rumah Adat Nan Baanjung Kota Bukittinggi (Foto Koleksi Isma Darma Yanti)


 Kepada adiknya Harimau Campa, Katik Sampono Radjo atau Kati Muno menyerahkan mustika yang dimilikinya. Keteguhan Hati Harimau Campa pada kebenaran, tidak takut melawan kejahatan membuat Harimau Campa dikenal sebagai penjaga dan pelindung oleh masyarakat di Luhak Agam. Harimau Campa menjadi simbol Luhak Agam. Sekarang, Harimau Campa lebih terkenal dengan sebutan Harimau Campo oleh masyarakat di Luhak Agam, yakni masyarakat di Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi.

Di Kota Bukittinggi dibuat patung Putri Harimau Campa dalam wujud harimau (binatang) sebagai tanda bahwa keberanian dan kasih sayangnya akan selalu melindungi masyarakat Kota Bukittinggi. Masyarakat mewarisi sifat- sifat Harimau Campa/ Harimau Campo yang tersirat dari kiasan:

“ Airnya Keruh, Ikannya Liar, Buminya Panas, Padinya Menjadi”

Bendera kebesaran yang menjadi kebanggaan di Luhak Agam adalah bewarna merah yang menyiratkan keberanian.


Patung Harimau Campa/ Harimau Campo di Janjang Ampek Puluah Kota Bukittinggi (Foto Koleksi Isma Darma Yanti)



Patung Harimau Campa/ Harimau Campo di Janjang Minangkabau Kota Bukittinggi (Foto Koleksi Isma Darma Yanti)

Semenjak kematian Katik Sampono Radjo atau Kati Muno hingga sekarang, ngarai curam dengan aliran sungai indah bak liukan ular naga dengan airnya yang jernih dipermukaannya diberi nama Ngarai Si Anok dan Batang Si Anok yang berarti ngarai dan Batang atau aliran sungai yang tenang. Ketenangan yang tercipta dengan berakhirnya peperangan, kekacauan, dan kesengsaraan. Saat ini Ngarai Sianok atau Batang Sianok adalah tempat yang dapat memberikan ketenangan bagi siapa saja yang datang berkungjung ke sana. Padi-padi yang menghijau menambah indah panoramanya. 


                                                            Foto Koleksi Kumparan


Ngarai Sianok atau Batang Sianok juga menjadi simbol, bahwa dalam menghadapi kejahatan kita harus bersikap tenang serta bijaksana. Sebagaimana Sultan Maharaja Diradja yang baru bisa mengalahkan Katik Sampono Radjo atau Kati Muno dengan bersikap tenang dan bijaksana.

            Minangkabau tanah na denai cinto

            Pusako bundo nan dahulunyo

            Rumah gadang nan sambilan ruang

Rangkiang baririk di halamannyo

            Bilo den kana

Hati den taibo

Tabayang-bayang

Di ruang mato




Catatan:

Tulisan ini merupakan versi lain dari asal Usul Ngarai Sinaok yang penulis Tulis pada tahun 2018.  https://bukittinggiminangkabau.blogspot.com/2018/05/legenda-ngarai-sianok-peran-strategis.html

Penyempurnaan sengaja penulis lakukan agar lebih bernilai edukasi dan bisa dipahami oleh banyak orang. Penulis ingin memperkenalkan fakta budaya, fakta sosial, fakta mental yang hidup dalam Tradisi Lisan Masyarakat Minangkabau. Hakikatnya bukan kebenaran cerita dari sudut Fakta Sejarah yang ingin penulis sampaikan. Tetapi kebenaran Fakta budaya, mental, dan sosial yang hidup dan menjadi dasar kehidupan orang Minangkabau. Yakni, kesimbangan dan keselarasan Alam Minangkabau dan isinya adalah titik pedoman bagi rakyat Minangkabau dalam berprilaku, bertingkah kurenah dan bertindak tanduk.  Manusia Minangkabau memiliki kewajiban dan tangggung jawab penuh dalam memelihara dan menjaga kesimbangan dan keselarasan alam dan isinya. Kerusakan alam akan membawa malapetaka- rusak alam rusak kehidupan, rusak adat rusak budi.

Filosofisnya “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” merupakan pedoman hidup orang Minangkabau. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter seperti yang tengah dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengatur bahwa fungsi pendidikan nasional itu adalah mengembangkan budaya nasional berdasarkan budaya lokal. Pengembangan budaya lokal memberikan warna terhadap pendidikan karakter yang ingin diterapkan.

Penulisan Legenda Asal Usul Ngarai Sianok ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menanamkan pendidikan karakter bagi generasi muda. Artinya, pengenalan fakta-fakta budaya kepada generasi muda dapat dilakukan dengan penulisan cerita-cerita yang memuat fakta-fakta budaya tersebut.

Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada:

Bapak Hasanadi, SS (Peneliti pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang), Bapak DR. Zulqaiyyim, M.Hum (Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Unand), Bapak DR. Hasanuudin, M.Si ( Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Unand) atas arahan-arahan dan masukan-masukan yang tiada putus sejak pertama kali penulis melangkahkan kaki di Fakultas Ilmu Budaya dahulunya Fakultas Sastra pada tahun 2003 hingga kini.

Hakikatnya

“ Bukan dirilah yang hebat, Namun Allah telah mempertemukan dengan orang-orang hebat”







Senin, 15 Maret 2021

PARIWISATA BERBASISKAN KEARIFAN LOKAL

 


PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA DI KOTA BUKITTINGGI

“ PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASISKAN KEARIFAN LOKAL”

 

I.      PENDAHULUAN

Dalam Skala Nasional, pembangunan sektor pariwisata telah dituangkan dalam berbagai kebijakan Pemerintah. Kebijakan pembangunan sektor pariwisata mulai dimasukkan dalam undang-undang, keputusan presiden dan peraturan daerah. Sektor pariwisata dijadikan sebagai salah satu sektor yang diharapkan dapat diandalkan untuk pengembangan ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata harus dilakukan melalui pendekatan sistem yang utuh, terpadu dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomi, teknis, sosial-budaya, hemat energi, pelestarian alam dan lingkungan.

Setiap merumuskan kebijakan, Pemerintah harus memperhatikan berbagai hal diantaranya kehidupan masyarakat setempat. Dengan melihat kehidupan masyarakat setempat, utamanya masyarakat yang masih kental dengan hukum adat sangat mempengaruhi pelaksanaan hukum yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Secara Geografis, Indonesia merupakan suatu negara yang wilayahnya luas dengan kekayaan alam dan kultur yang unik, berupa aset-aset pariwisata yang tersebar pada seluruh Nusantara. Keberadaan seluruh aset merupakan potensi pariwisata yang dapat mendatangkan devisa bagi Negara, terutama masyarakat setempat. Melihat fungsinya yang konstruktif bagi bangsa dan masyarakat setempat, maka pariwisata perlu memiliki konsep dan definisi yang jelas.

Bryant and White (dalam Suryono, 2010:2) menyebutkan bahwa pembangunan adalah upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya dengan memiliki lima implikasi utama, yaitu: (1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan manusia secara optimal, baik individu maupun kelompok (capacity). (2) Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan, kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity). (3) Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment). (4) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (sustainability). (5) Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara satu kepada negara lain, menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dan saling menghormati (interdependence). Lima prinsip dasar pembangunan di atas harus berorientasi pada pembangunan yang berwawasan people centered development (pembangunan yang berpusat pada rakyat), yang berarti adanya proses pembangunan dengan tujuan peningkatan kemampuan manusia dalam menentukan masa depannya (Suryono, 2010:3).

Pariwisata ialah suatu proses perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang bersifat sementara dan di luar tempat tinggalnya, baik perorangan maupun kelompok. Pariwisata diadakan karena berbagai kepentingan seperti kepentingan budaya, sosial, agama atau kepentingan yang lainnya dengan tujuan untuk memperoleh kenikmatan, serta memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu. Sementara itu, orang atau kelompok yang mengadakan perjalanan disebut wisatawan jika lama tinggalnya sekurang-kurangnya 24 jam di daerah atau tujuan wisata tetapi jika lama tinggalnya dalam waktu kurang dari 24 jam disebut pelancong (Suwantoro, 1997:3).

Menurut Undang–Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, wisata ialah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan pariwisata ialah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban di dalam pembangunan kepariwisataan sesuai dengan isi Undang–Undang No. 10 Tahun 2009: (a) Menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan; (b) Menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum; (c) Memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan (d) Mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.

Sumberdaya pariwisata menurut Pitana (2009:69-75), terdiri atas: sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya budaya dan sumberdaya minat khusus. (1) Sumberdaya alam yang dapat menjadi sumberdaya pariwisata menurut Fannel, yang dikutip oleh Pitana (2009:76) seperti: lokasi geografis, iklim dan cuaca, topografi dan landforms, surface materials, air, vegetasi, fauna. (2) Sumberdaya manusia dalam pariwisata merupakan salah satu komponen yang sangat penting di dalam pembangunan pariwisata. Faktor sumber daya manusia sangat menentukan keberhasilan pembangunan pariwisata. (3) Sumber daya budaya dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisatanya. Salah satu jenis pariwisata yang menggunakan sumberdaya budaya sebagai modal utama dalam atraksi wisata disebut pariwisata budaya. Pariwisata budaya memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk melakukan kontak langsung dengan masyarakat lokal dan kepada individu yang memiliki pengetahuan khusus tentang sesuatu objek budaya. Jenis pariwisata ini memberikan variasi yang luas menyangkut budaya, mulai dari seni pertunjukkan, seni rupa, festival, makanan tradisional, sejarah, pengalaman nostalgia dan cara hidup yang lain.

II.    PEMBANGUNAN PARIWISATA BUDAYA DI KOTA BUKITTINGGI

Pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi dalam perspektif kearifan lokal merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan untuk dapat menarik lebih banyak wisatawan untuk datang ke Kota Bukittinggi. Pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi hendaknya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Kota Bukittinggi. Selain itu, pembangunan pariwisata hendaklah berkelanjutan sehingga berorientasi pada mensejahterakan masyarakat. Selain itu, pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi sangat dipengaruhi oleh kesiapan Kota Bukittinggi di dalam meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Oleh karena itu, diperlukanlah otoritas manajemen yang mencakup keseluruhan fungsi pengelolaan terhadap elemen–elemen pembentuk suatu destinasi yang mencakup tiga aspek utama, yaitu: 1. Pengembangan produk, Kota Bukittinggi harus mengembangkan produk yang mempunyai ciri khas tersendiri (ciri khas budaya Kota Bukittinggi) dan dapat menarik kunjungan wisatawan. 2. Pengembangan pemasaran, seperti promosi destinasi, penyediaan informasi kepariwisataan yang jelas dan efektif. 3. Pengembangan lingkungan, seperti penyediaan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia.

Kebijakan sosial berasal dari nilai-nilai, kenyataan dan teori–teori sosial (Nugroho, 2014:1). Studi kebijakan sosial telah dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi dari Barat. Fokus dari studi tersebut ialah pemecahan masalah sosial yang berbeda dengan fokus studi di Negara Berkembang. Kebijakan sosial di Negara Berkembang didesain untuk memecahkan masalah, serta untuk melakukan pembangunan sosial (Nugroho, 2014:11). Pembangunan sosial merupakan pembangunan ke arah pembangunan manusia, keadilan sosial dan ke arah kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial tidak hanya mengenai kemiskinan, tapi juga tentang pengembangan kualitas masyarakat yang kurang berpendidikan agar menjadi lebih terdidik. Pembangunan sosial dengan tujuan peningkatan kesejahteraan sosial sangat bergantung pada modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat.

Pengelompokkan sumber modal sosial secara garis besar dibedakan atas tiga kelompok utama (Vipriyanti, 2011:13), yaitu: rasa percaya, norma dan jaringan kerja. Rasa percaya merupakan dasar dari perilaku moral ketika akan membangun modal sosial. Rasa percaya ditentukan oleh homogenity, yang merupakan komposisi populasi dan tingkat ketidaksamaan (inequality). Norma adalah nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Jaringan kerja pada awalnya merupakan sistem dari saluran komunikasi (system of communication channel) untuk melindungi dan mengembangkan hubungan interpersonal. Modal sosial dapat dilihat sebagai perekat yang dapat menyatukan masyarakat, serta menjalin hubungan–hubungan antarmanusia. Bagian dari membangun modal sosial ialah memperkuat “masyarakat madani”. “Masyarakat madani” merupakan istilah yang digunakan untuk struktur–struktur formal atau semi-formal yang dibentuk masyarakat secara sukarela, tanpa arahan tertentu dari Pemerintah. “Masyarakat madani” terdiri atas sektor non-pemerintah dan perusahaan, akan tetapi sektor madani lebih luas dari itu. Contoh dari “masyarakat madani” ialah organisasi sosial, grup kebudayaan, perkumpulan pemuda dan seterusnya.

Kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial pada gilirannya bisa membentuk kebudayaan kembali dan memperkenalkan perubahan–perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi berikutnya. Kebudayaan adalah sistem norma dan nilai, sedangkan masyarakat ialah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama dan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan yang sama, serta melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat merupakan wadah atau organisasi manusia yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ialah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi dan menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut (Horton, 1984:58-59).

Globalisasi budaya sudah mengikuti pola yang sama seperti globalisasi ekonomi yang telah terjadi saat ini. Budaya universal berkembang karena disebarluaskan melalui media global yang semakin maju dan canggih. Di dalam menghadapi globalisasi budaya, sangat sulit bagi masyarakat untuk melestarikan budaya lokal mereka dan menjadikannya keunikan wilayah. Meski demikian, globalisasi budaya merupakan komponen penting dalam pengembangan masyarakat. Prinsip- prinsip yang ingin ditekankan adalah bahwa keanekaragaman budaya perlu dipertahankan. Oleh karena itu, budaya yang memberikan identitas dan rasa memiliki kepada orang–orang sehingga pengembangan budaya menjadi sangat penting bagi masyarakat.  

Dalam konteks pengembangan masyarakat di dalam ranah pariwisata, pengembangan budaya terdiri atas empat komponen, yaitu:

1.      Melestarikan dan Menghargai Budaya lokal.

Tradisi budaya lokal merupakan bagian yang penting dalam menanamkan rasa bermasyarakat, serta memberikan identitas kepada masyarakat. Masyarakat Kota Bukittinggi perlu mengidentifikasi apa komponen yang unik dari warisan budayanya, serta menentukan komponen mana yang ingin dipertahankan. Semua itu membutuhkan perencanaan yang tersusun, serta bagaimana mencapainya. Misalnya, membangun industri lokal yang berbasis budaya lokal.

 

 

 

2.      Melestarikan dan Menghargai Budaya Asli.

Melestarikan dan menghargai budaya yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Kota Bukittinggi dan mansyarakat Minangkababau dalam hal ini Sumatera Barat umumnya  merupakan isu sentral untuk pengembangan masyarakat dalam ranah pariwisata.

3.      Multikulturalisme.

 Pada umumnya, multikulturalisme merujuk pada kelompok etnis yang berbeda yang tinggal di suatu masyarakat tetapi mempertahankan identitas budaya yang berbeda. Isu kebijakan multikultural dan politik sangatlah kompleks, akan tetapi keanekaragaman latar belakang budaya merupakan realitas di Kota Bukittinggi. Oleh sebab itu, multikulturalisme merupakan aspek yang penting dari pembangunan budaya masyarakat Kota Bukittinggi dalam ranah pariwisata.

4.      Budaya Partisipatif.

Hal ini telah menjadi fokus dari banyak program pengembangan budaya masyarakat. Partisipasi budaya dilihat sebagai cara penting untuk membangun modal sosial, memperkuat masyarakat dan menegaskan identitas.

Peran pariwisata dalam pembangunan negara pada garis besarnya berintikan tiga segi, yaitu: segi ekonomis, segi sosial dan segi kebudayaan (Spillane, 1989:54). Mengacu pada (Damanik, 2013:10-12) ada beberapa benang merah pengembangan pariwisata yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kota Bukittinggi. Pertama, penerapan strategi perluasan kesempatan berusaha bagi kalangan miskin di Kota Bukittinggi. Kedua, perluasan kesempatan kerja bagi penduduk Kota Bukittinggi. Ketiga, pencegahan degradasi mutu lingkungan yang berdampak langsung dan lebih rentan bagi masyarakat. Keempat, penekanan pada upaya meminimalkan dampak negative sosial budaya pariwisata. Kelima, pendampingan masyarakat UMKM untuk pengembangan bisnis inti dan pendukung pariwisata. Keenam, promosi organisasi lokal yang dibentuk untuk kepentingan pariwisata Kota Bukittinggi.

Dalam kajian akademik muncul terminologi baru untuk sebutan pariwisata budaya  seperti heritage tourism, yang dalam terminologi bahasa Indonesia hampir tidak berbeda dengan pariwisata budaya (cultural tourism). Kemudian, para ahli memperluas cakupan pariwisata budaya dengan memasukkan sejumlah events budaya sebagai aktivitas utamanya (Damanik, 2013:109). Menurut McKercher (dalam Damanik, 2013:110) Wisatawan yang terlibat dalam pariwisata budaya memiliki sejumlah tipologi yang berbeda dengan tipologi segmen pasar wisatawan lainnya. Tipologi pariwisata tersebut dapat diidentifikasikan ke dalam lima tipologi berikut:

1. “The purposeful cultural tourist” atau wisatawan yang semata–mata bertujuan untuk menikmati atraksi dan mempelajari budaya sebagai alasan untuk melaksanakan perjalanan wisata.

2. “The sightseeing cultural tourist” atau wisatawan yang ingin menikmati warisan budaya lain sebagai alasan utama perjalanan, akan tetapi ia lebih berorientasi pada pencarian pengalaman kesenangan daripada pemahaman yang lebih dalam atas budaya tersebut.

 3. “The casual cultural tourist” atau wisatawan yang ingin menikmati warisan budaya lain secara terbatas sebagai alasan melakukan perjalanan wisata dan di destinasi tersebut mereka hanya sekedar mengunjungi atraksi secara sekilas.

4. “The incidental cultural tourist” atau wisatawan yang tidak menjadikan budaya sebagai penentu dalam proses keputusan berwisata, namun ketika berada di destinasi mereka juga mengunjungi atraksi–atraksi budaya.

5. “The serendipitous cultural tourist” atau wisatawan yang tidak menjadikan budaya sebagai penentu dalam proses keputusan berwisata. Namun, ketika berada di destinasi mereka juga mengunjungi atraksi budaya dan memperoleh pengalaman berharga di sana.

Kearifan lokal dan keunggulan lokal ialah kebijaksanaan manusia yang berdasarkan filosofi nilai–nilai, etika, cara–cara dan perilaku yang telah berlaku sejak dahulu. Bentuk–bentuk kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat ialah nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum, adat, serta aturan–aturan khusus yang berlaku di masyarakat dengan fungsi yang bermacam pula. Beberapa fungsi kearifan lokal, antara lain: 1. Sebagai bentuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam, 2. Pengembangan sumberdaya manusia, 3. Digunakan untuk mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, 4. Sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan, 5. Mempunyai makna sosial, contohnya upacara yang dilaksanakan pada tahap menanam padi, 6. Mempunyai makna etika dan moral, serta 7. Bermakna politik atau hubungan kekuasaan.

Kearifan Lokal merupakan salah satu nilai unggul yang dapat digunakan dalam mengembangkan Pariwisata Budaya oleh Pemerintah Kota Bukittinggi. Lebih lanjut, Sunaryo (2013:26) menegaskan bahwa, daya tarik wisata budaya ialah daya tarik wisata yang pengembangannya berdasarkan pada hasil karya dan hasil cipta manusia, baik itu berupa peninggalan budaya maupun nilai budaya yang masih hidup dalam kehidupan suatu masyarakat. Contoh daya tarik wisata budaya ialah upacara atau ritual, adat-istiadat, seni pertunjukan dan lain sebagainya. Karakteristik wisata budaya di Kota Bukittinggi memiliki peran yang sangat menentukan dalam menyerap dampak dari destinasi pariwisata Kota Bukittinggi. Wisata budaya yang memiliki karakteristik yang lain daripada yang lain merupakan nilai unggul yang dapat dijadikan kekuatan dalam menarik wisatawan lebih banyak lagi.

Setiap produk budaya yang terdapat di Kota Bukittinggi mempunyai potensi untuk dikemas sesuai kebutuhan pengembangan pariwisata budaya dan juga memiliki nilai keunggulan kompetitif dan berkelanjutan yang tidak hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi semata tetapi yang paling penting ialah terjaganya kelestarian lingkungan, kelestarian budaya, keberlanjutan pembangunan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi. Beberapa pakar di bidang analisis dampak lingkungan dari aktivitas kepariwisataan seperti Alister Matchieoson dan Geoffrey Wall, yang dikutip dalam Sunaryo (2013:53-54) menguraikan bahwa prinsip dari model pembangunan pariwisata berkelanjutan dan berwawasan lingkungan berintikan pengukuran kinerja pembangunan kepariwisataan dengan dua aspek indikator penting: 1. Aspek indikator lingkungan fisik yang memerlukan pengamatan dan pengukuran secara periodik ada dua yaitu pertama yang bersifat fixed terdiri atas sumberdaya alam/ekologi bukan buatan manusia, seperti: lanskap, hutan, danau, ketersediaan air tanah, polusi udara, terumbu karang, flora dan fauna dan seterusnya. Kedua, yang bersifat flexible berupa buatan manusia, contohnya: sistem infrastruktur, transportasi dan lainnya. 2. Aspek indikator sosial budaya yang harus selalu dimonitor kondisi dan kapasitasnya ialah (a) Jumlah wisatawan dan tipe kegiatan rekreasi, serta perilaku wisatawan yang terserap oleh destinasi tanpa harus mempengaruhi identitas, gaya hidup dan kehidupan sosial budaya; (b) Pelibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata; (c) Memberikan kontribusi terhadap konservasi sumberdaya alam dan cultural heritage; (d) Memberikan nilai kepada wisatawan terhadap hubungannya dengan masyarakat lokal, kearifan lokal, isu–isu sosial dan lingkungan setempat; (e) Meminimalkan dampak negatif ekonomi, lingkungan, budaya dan sosial dari pengembangan pariwisata; (f) Menumbuhkan hubungan baik antara wisatawan dengan masyarakat sekitar destinasi.

III.  KESIMPULAN

Pembangunan pariwisata budaya merupakan kerangka atau model yang dapat dipergunakan oleh pemerintah Kota Bukittinggi untuk dapat menggali dan mengembangkan industri pariwisata yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Salah satu daya tarik itu ialah kearifan lokal, produk budaya masyarakat Kota Bukittinggi yang memiliki nilai lebih dan menarik bagi wisatawan yang akan berkunjung. Kearifan lokal atau budaya yang ada hendaknya memiliki nilai lebih tanpa harus mengurangi atau menambah nilai dari budaya tersebut.

 

 DAFTAR PUSTAKA

Damanik, Phil Janianton. 2013. Pariwisata Indonesia: Antara Peluang dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Giddens, A. 1994. Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics. Cambridge: Polity Press. Horton, Paul B. & Chester L. Hunt. 1984. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Ife, Jim & Frank Tesoriero. 2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Nugroho, Riant. 2014. Kebijakan Sosial untuk Negara Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Pitana, I Gede & I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Spillane, James. 1989. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius.

Sunaryo, Bambang. 2013. Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.

Suryono, Agus. 2010. Dimensi-Dimensi Prima Teori Pembangunan. Malang: UB Press.

 Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-dasar Pariwisata. Yogjakarta: Penerbit Andi. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

Vipriyanti, Nyoman Untari. 2011. Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah Mengkaji Success Story Pembangunan di Bali. Malang: UB Press.



Note:

Tulis saja apa yang kau fikirkan. Semoga kelak akan ada manfaatnya...

Senin, 12 Oktober 2020

TUGU TIGO BALEH KOTA BUKITTINGGI DAN ASAL USUL ORANG KURAI LIMO JORONG

 




ASAL USUL ORANG KURAI LIMO JORONG DAN TUGU TIGO BALEH

Sebelum manusia modern mengenal huruf dan angka, dulu simbol digunakan untuk berkomunikasi. Simbol sendiri diartikan sebagai sebuah tanda yang menunjukkan sebuah ide, objek, atau hubungan antar suatu benda. Simbol bersifat universal, dalam artian meski bahasa yang digunakan berbeda simbol mewakili sesuatu yang sama.

I.     Pendahuluan

Setiap kebudayaan memiliki sistem nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku para warga pendukung kebudayaan. Sistem nilai budaya tersebut meliputi aturan seperti sopan santun, adat istiadat, pandangan hidup atau ideologi dan sebagainya. Sistem nilai budaya adalah tingkatan yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan, karena nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat tentang apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup. Sejak kecil seorang individu telah diresapi dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu telah berakar di dalam mentalitasnya dan kemudian sukar diganti dengan yang lain dalam waktu yang singkat (Koentjaraningrat, 1990: 77; 1974: 32).

Artefak sebagai wujud budaya adalah sebuah alat benda, bangunan atau peninggalan sejarah yang di buat oleh manusia (bukan benda alamiah yang di modifikasi) yang dapat di pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Artefak memuat nilai budaya, antara lain nilai fungsi, makna dan simbol.

 Artefak (bangunan budaya) menjadi Tanda dan simbol yang tampil sesuai bentuknya maupun dalam pengertian tersirat atau mewakili makna tertentu, misalnya dengan cara analogi atau kiasan (figurative language). Sejak dulu penyampaian maksud melalui tanda dan simbol telah ada,  misalnya orang Minangkabau mempergunakan Tanduk Kerbau sebagai lambang ke menangan, kekuatan dan kebijaksanaan.  Tanduk Kerbau ini biasanya ada bangunan- bangunan budaya di Minangkabau, seperti Rumah Gadang.

Sampai sekarang, banyak arsitek terkenal menyampaikan gagasan-gagasan, pesan-pesan atau maksud-maksudnya melalui tanda dan simbol tersebut kepada publik. Tanda dan simbol membentuk persepsi manusia tentang sesuatu. Ini sangat bermanfaat dalam menyampaikan pesan, ide pembuat sekaligus memperkaya imajinasi manusia dalam pengalamannya menelusuri berbagai tanda dan simbol tersebut.

Tugo Tigo Baleh adalah sebuah tanda dan simbol yang dibangun untuk menyampikan pesan kepada masyarakat sekarang tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu.  Keberadaan tugu ini melekat kuat dan erat dalam keseharian masyarakat Tigo Baleh. Berada tidak jauh dari Balai Adat Nagari Tigo Baleh, Tugu Tigo Baleh menyimpan cerita dan sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh dan Nagari Kurai Limo Jorong. Pembuat tugu ini tentunya ingin menyampikan pesan akan arti pentingnya Nagari Tigo Baleh sebagai cikal bakal Kurai Limo Jorong. 

Sebagai sebuah tanda dan simbol, pemaknaan terhadap Tugu Tigo Baleh bisa saja berbeda pada setiap orang yang melihatnya. Hal ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa pemahaman tentang kebenaran dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu secara berbeda. Makna tersebut bisa saja bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual. Namun makna tersebut dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat.

Untuk menginterpretasikan makna dari Tugu Tigo Baleh yang terjalin dalam berbagai jejaring hubungan sosial yang luas dan rumit, Penulis menempuh jalur pemaknaan yang didasarkan pada pandangan Ogden dan Richards, yakni simbol memiliki hubungan asosiatif dengan gagasan dan referensi serta referen atau dunia acuan. Adanya hubungan itu, menjelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi simbol dan acuan (CK Ogden  and I.A.Richards, 1960:11).

Hubungan antara simbol dengan realitas dapat dilihat dalam bagan berikut ini. 

                                          Konsep

 

             Simbol       ------------------------ Referent

Simbol adalah

:

Tugu Tigo Baleh (kata atau gambar yang harus diartikan)

Konsep adalah

:

Konotasi, idea, pikiran, respon, yang ada dalam pemikiran orang yang mengamati

Referent adalah

:

Segala sesuatu, objek, fakta, kualitas, pengalaman, denotasi, peristiwa, yang melatarbelakangi terbentuknya Simbol (Sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh)

Berdasarkan pada pandangan Ogden dan Richards ini dapat dijelaskan, bahwa Tugu Tigo Baleh memiliki acuan dan hubungan yang kuat dengan sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh. Artinya, untuk mengetahui makna yang ingin disampaikan Tugu Tigo Baleh maka kita diharuskan membuka ruang dan waktu untuk melihat dan mempelajari sejarah asal usul Nagari Tigo Baleh.

II.      Asal Usul Orang Kurai Limo Jorong

II.  1. Kedatangan Nenek Moyang Ke Luhak Agam

Dari berbagai sumber disebutkan, bahwa perpindahan penduduk dari Pariangan Padang        Panjang menuju kepada dua arah. Pertama, ke arah timur dan tenggara Pariangan. Kedua, ke dataran tinggi arah utara Gunung Merapi. Ke arah Timur dan Tenggara Pariangan merupakan dataran rendah yang luas dialiri sungai besar seperti Batang Hari, Batang Kuantan dan Batang Kampar. Hal ini memudahkan penduduk mencari tanah baru yang subur dengan alat transportasi sungai tersebut. Perpindahan penduduk ke dataran tinggi arah utara Gunung Merapi adalah perpindahan yang sulit. Kondisi alam yang berbukit, hutan yang lebat menyebabkan perpindahan penduduk kearah utara ini merupakan perjalanan yang berat. Oleh karena itu, perpindahan dilakukan bergelombang dengan rombongan yang besar. Pada Tiap gelombang terdiri dari empat rombongan besar, sehingga pada lokasi hutan yang dibuka dapat didirikan empat nagari supaya dapat diperoleh keamanan bersama. Dalam empat gelombang perpindahan maka berdirilah 16 nagari di Luhak agam.

Nagari Kurai berada di tengah-tengah di Luhak Agam. Bila ingin melihat kedatangan penduduk yang menjadi nenek moyang orang Kurai tidak dapat dipisahkan dengan kedatangan penduduk ke Luhak Agam[1]. Penyebaran penduduk ke Luhak Agam berlansung dalam empat periode dalam waktu yang cukup lama. Periode pertama menempati Agam Biaro, Balai Gurah, Lambah, dan Panampuang. Periode Kedua menempati Lasi, Canduang, Kurai, dan Banuhampu. Perode Ketiga menempati Sianok, Koto gadang, Guguak, dan Tabek Sarojo. Periode Keempat menempati Sariak, Sungai Puar, Batagak, dan Batu Palano[2].

III.   2.  Kedatangan Nenek Moyang Ke Kurai Limo Jorong

Penduduk yang datang mendiami daerah Kurai adalah penduduk yang berpindah dari Pariangan Padang Panjang pada periode kedua, yakni yang menempati Lasi, Canduang, Kurai, dan Banuhampu. Dalam perkembangannya masing-masing menjadi nagari.

Rombongan penduduk yang menempati Kurai tersebutlah menurut salah satu versi tambo berjumlah kurang aso saratuih. Namun tidak dikemukakan bentuk, jenis keluarga yang turut sebagai peserta rombongan dan pimpinannya. Untuk mengetahuinya dapat dilihat melalui penelusuran susunan keluarga dalam sepayung atau sesuku. Setiap payung atau suku babuah paruik dan paruik babuah jurai. Artinya orang sepayung atau sesuku dapat terdiri dari paruik-paruik satu keturunan dan dapat pula dari paruik-paruik beda keturunan. Hal ini menjelaskan, bahwa tidak mungkin sebuah payuang atau suku akan berangkat bersama paruik-paruiknya menuju daerah baru dan meninggalkan cancang lateh pada masa sebelumnya. Orang perorangan juga tidak mungkin pindah ke daerah baru. Paling sedikit yang berangkat adalah orang sejurai yang dipimpin oleh tungganai dan paling banyak orang separuik yang dipimpin oleh niniak mamak paruik. Ini menjelaskan juga, bahwa setiap rombongan terdiri dari pecahan beberapa suku dari daerah sebelumnya.  Jumlah suku dalam rombongan yang datang ke Kurai dapat dilihat setelah tiba di Koto Jolong[3].

Terhadap perjalanan rombongan dari Pariangan Padang Panjang ke Koto Jolong terdapat beberapa versi dalam masyarakat adat. Penulis memilih salah satu di antaranya sebagai berikut:   

Perpindahan penduduk dari Pariangan padang Panjang dengan rombongan besar sebanyak 99 keluarga (100 kurang aso). Dalam perjalanan yang dipimpin oleh Rajo Bagombak bergelar Yang Dipertuan Bagonjong[4] bersama Badaharo Nan Bangkah[5], rombongan ini melewati berbagai negeri dan beristirahat di negeri tersebut yakni Negeri Tanjung Alam Kenagarian Sungai Tarab Batu Sangkar. Di Sungai Tarab, rombongan mempersiapkan moril dan materil untuk meneruskan perjalanan menembus Bukit Barisan menuju Luhak Agam.

Selepas beristirahat di Sungai Tarab, rombongan melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah padang dan beristirahat cukup lama di situ. Padang tersebut di kemudian hari dikenal dengan nama Padang Kurai.

 Di Padang Kurai di perolah kesepakatakan, bahwa rombongan di pecah menjadi dua. Rombongan pertama dipimpin oleh Bandaharo Nan Bangkah berangkat menuju ke arah Mudiak menelusuri kaki Gunung Merapi. Rombongan pertama ini menempati daerah selatan  (disebut juga daerah mudiak) adalah tempat kediaman pertama terdiri dari tujuh keluarga pecahan suku dan setiap keluarga menempati lokasi sesuai dengan kebutuhan kehidupan. Hal tersebut dapat kita lihat sampai sekarang, yakni Persukuan Pisang di Kapalo Koto, Persukuan Jambak di Tabiang, Persukuan Koto di Kabun, Persukuan Guci di Pakan Labuah, Persukuan Tanjuang di Belakang Balai, Persukuan Simabua di Pakan Labuah, Persukuan Sikumbang di Pabeloan.[6]







DIAGRAM 1 RUTE PERJALANAN ROMBONGAN PERTAMA[7]



Rombongan Kedua di bawah pimpinan Rajo Bagombak bergelar Yang Dipituan Bagonjong dari Padang Kurai melanjutkan perjalanan dan singgah di sebuah tempat yang indah, bertebing dan dari celah tebing mengalir air yang jernih. Tempat itu dinamai Pincuran Puti.  Dari Pincuran Puti Rombongan melanjutkan perjalanan dan sampai di daerah yang sepanjang jalannya tumbuh pinang berleret. Daerah tersebut dinamai Pinang Baririk (Tanjung Alam sekarang). Dari Pinang Baririk Rombongan melanjutkan perjalanan dan terhenti karena di hadang oleh tanah yang putus (sebuah parit yang luas). Daerah ini dinamai Parit Putus. Dari daerah ini rombongan memutar arah perjalanan ke arah mudik dan menemukan suatu daerah yang lapang. Konon di daerah yang lapang ini putri dari Yang Dipituan Bagonjong menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Oleh karena itu, daerah tersebut dinamai dengan Pautan Kudo (dekat Surau Pinang sekarang).[8]

Dari Pautan Kudo, rombongan melanjutkan perjalanan hingga menemukan sebuah parit yang panjang teretang menghalangi perjalanan (daerah ini dinamai Parik Antang)[9]. Untuk menyebrangi parit tersebut salah seorang dari rombongan menebang sebatang pohon kayu untuk titian keseberang. Parit tersebut dinamai Batang Kurai atau Tan Kurai[10]. Dari Batang Kurai perjalanan dilanjutkan hingga sampai pada sebuah aliran sungai yang diberi nama Parit Tuo/ Batang Buo /Tambuo[11] .

Dari Tambuo Rombongan di bawah pimpinan Yang Pituan Nan Bagonjong menuju Koto Katiak[12]. Dari Koto Katiak rombongan terus bergerak menuju ke hilir menuju Pabeloan dan berbelok ke puhun. Di Puhun rombongan Yang Pituan Nan Bagonjong bertemu dengan rombongan pertama yang dipimpin oleh bandaharo Nan Bangkah. Di tempat ini, kedua pimpinan bermufakat untuk mendirikan koto dan nagari. Berdasarkan kesepakatan tersebut, daerah yang akan dijadikan tempat tinggal tersebut dinamai Koto Jolong.[13]  



DIAGRAM 2 RUTE PERJALANAN ROMBONGAN KEDUA[14]






DIAGRAM 3 PENYEBARAN PENDUDUK DARI PARIANGAN PADANG PANJANG[15]



II. 3 Koto Jolong

Lokasi pemukiman Koto Jolong membujur dari selatan ke utara atau dapat juga disebut dari Kapalo Koto sampai Ikua Labuah. Lokasi daerah Koto Jolong ini dikelilingi oleh parit dengan batas-batas sebagai berikut[16]:

Sebelah Barat membujur Parit Tambuo yang dinamai juga Tambuo Puhun.

Sebelah Timur oleh Parit Batang Kurai yang disebut juga Tambuo Tangkurai.

Sebelah selatan dengan Nagari Kubang Putiah

Sebelah Utara oleh daerah pertemuan Sungai Tambuo dengan Sungai Tangkurai di Ikua Labuah.

Daerah pemukiman Koto Jolong dikenal dalam bentuk dua daerah bernama Daerah Mudiak di daerah Selatan yang didiami oleh Tujuh Keluarga (suku)[17] yang berasal dari rombongan pertama yang dipimpin Bandaharo Nan Bangkah dan Daerah Hilir di Utara yang didiami oleh enam keluarga suku[18] yang berasal dari rombongan kedua yang dipimpin oleh Rajo Nan Gombak bergelar Yang Pituan Nan Bagonjong. Daerah Mudiak di kemudian hari di kenal dengan nama Kampuang Pakan Labuah dan daerah Hilir di kenal nama Kampuang Balai Banyak. Ketiga belas pimpinan keluarga (suku) yang ada di Koto Jolong sepakat memakai gelar pusako masing-masing dan yang belum mempunyai gelar pusaka atas kesepakatan keluarga dapat memakai gelar pusako yang ada di nagari asal[19]. Ketiga belas ninik mamak bergelar Datuak tesebut adalah pendiri Nagari Tigo Baleh[20].

 

IV.   Tugu Tigo Baleh

Tugu Tigo Baleh adalah sebuah tugu segi lima dengan tinggi lebih kurang 4 meter yang berada tepat di tengan jalan / Simpang Tigo Baleh.  Secara administratif  Tugu Tigo Baleh berada dalam wilayah Kelurahan Pakan Labuah. Tulisan pada tugu tersebut “Abri Masuk Desa Manunggal XIV 25-11 s/d 8 – 12 1983” menunjukan waktu pembangunannya, yakni  pada tahun 1983 dalam program pemerintah yang terkenal dengan Manunggal Abri Masuk Desa.

Sebagai sebuah bangunan budaya, Tugu Tigo Baleh adalah sebuah tanda dan simbol yang sengaja dibangun untuk meng-abadikan “sesuatu” yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam sejarah dan asal usul Nagari Kurai. Tugu Tigo Baleh dibangun sebagai tanda bahwa Nagari Tigo Baleh didirikan oleh tiga belas niniak mamak yang pertama kali datang ke Koto Jolong yanga mana Nagari Tigo Baleh adalah cikal bakal Nagari Kurai Limo Jorong [21].

Hal ini tentunya didasarkan kepada sejarah asal usul orang Kurai seperti yang telah diuraikan pada bagian awal, yakni Nenek Moyang Orang Kurai adalah penduduk yang melakukan migrasi gelombang kedua dari Pariangan Padang Panjang. Migrasi tersebut dipimpin oleh Rajo Nan Gombak bergelar Yang Pituan Nan Bagonjong dan Bandaharo Nan Bangkah. Dalam migrasi tersebut, terdapat tiga belas keluarga dari suku –suku yang berasal dari Pariangan Padang Panjang. Tiga Belas Suku tersebut menempati daerah Koto Jolong yang merupakan asal muasal Nagari Tigo Baleh dan Kurai Limo Jorong. Tiga Belas keluarga (suku) tersebut terdiri dari Tujuh (7) keluarga (suku) memempati daerah Mudiak (Pakan Labuah) dan 6 keluarga (suku) menempati daerah hilir (Balai Banyak).

 Sangat menarik ketika Tugu Tigo Baleh di lihat berdasarkan sudut pandang masyarakatnya.[22] Masyarakat menanggapi dengan antusias keberadaan Tugu Tigo Baleh sesuai dengan makna yang mereka miliki masing-masing. Hal ini direkam oleh Minangkabau Research pada postingan tanggal 19 April 2020.  

Penulis mengambil beberapa tanggapan yang  penulis anggap menyatakan tentang makna dari Tugu Tigo Baleh. Pertama, Riska Arizon Saputra[23]. Riska menyebutkan, Tepat di tempat berdirinya Tugu Tigo Baleh sekarang dahulunya adalah pusat pakan (pasar) pertama di Nagari Kurai Limo Jorong.  Kedua Armen Basir[24]. Armen Basir menyebutkan, di tempat berdirinya Tugu Tigo Baleh sekarang, dahulunya adalah tempat tumbuhnya sebatang pohon beringin besar.  Di bawah pohon beringin tersebut masyarakat membuat pasar. Di sana masyarakat menggelar dagangan dan adakalanya dijadikan juga tempat memarkir bendi. Setelah pohon beringin di tebang, dibangunlah sebuah Tugu Segi Lima yang lebih pendek dari Tugu Tigo Baleh yang ada sekarang. Tugu tersebut melambangkan lima jorong yang ada di Nagari Kurai Limo Jorong.  Pada tahun 1983 tugu yang lama di renovasi menjadi tugu sekarang dan terkenal dengan nama Tugu Tigo Baleh.

Nyiak Dt. Mangkuto Ameh dalam sebuah wawancara pribadi menjelaskan bahwa, Tugu Tigo Baleh adalah lambang keberdaan Niniak Mamak tiga belas suku yang datang pertama kali ke Koto Jolong. Niniak mamak tersebutlah yang membangun Nagari Tigo Baleh, menetapkan sendi-sendi adat serta menetapkan delapan buah suku[25] di Nagari Tigo Baleh. Niniak mamak yang tiga belas tersebut juga telah menetapkan aliran adat yang akan digunakan di Nagari Tigo Baleh. Kebijaksanaan niniak mamak tersebut telah melahirkan sebuah sistem adat yang manis dan harmonis, yakni penggabungan dua aliran adat (Aliran Bodi caniago dan Aliran Koto Piliang) hingga dikenal dengan sebutan elok diurang rancak di awak.  Penggunaan kedua aliran adat tersebut di Nagari Tigo Baleh tertuang dalam pepatah adat:

Pisang sikalek-kalek hutan

Pisang tambatu nan bagatah

Adat Bodi Caniago Inyo Bukan

Adat koto Piliang anyo antah

            Pisang tambatu nan bagatah

            Kaduo jo pisang ameh

            Katigo pisang rajo sarai

Adat Bodi Caniago anyo rancak

Adat Koto Piliang anyo elok

Tibo di kurai samo di pakai

Catatan Penulis

Sejak dulu penyampaian maksud melalui tanda dan simbol telah ada. Tanda dan simbol yang tampil sesuai bentuknya maupun dalam pengertian tersirat atau mewakili makna tertentu dengan cara analogi atau kiasan (figurative language). Sebagai sebuah Tanda dan Simbol,  pemaknaan terhadap Tugu Tigo Baleh bisa saja berbeda pada setiap orang yang melihatnya. Hal ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa pemahaman tentang kebenaran dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu secara berbeda. Makna tersebut bisa saja bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual. Namun makna tersebut dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat. Hal ini menyiratkan, bahwa walaupun pemaknaan terhadap keberadaan Tugu Tigo Baleh berbeda pada setiap orang yang melihanya, Tugo Tigo Baleh tetaplah sebuah tanda yang akan terus melahirkan makna-makna baru sesuai dengan perputaran zaman.

 

Daftar Bacaan

Achir, Mohd. H. 2011. Menelusuri Jejak Sejarah Nagari Kurai Beserta Lembaga Adatnya. Bukittinggi: Kristal Mulimedia.

Dahar. St. Sari Basa. 1967. “ Keringkasan Tambo Alam Minangkabau dan Seluk-Beluk Adat Kurai Limo Jorong.

Tunmuamad, Dt dkk. 1991. “ Rancangan Sejarah dan Adat Kurai V Jorong”. Tim Perumus Badan Pekerja Kerapatan Adat Kurai Bukittinggi. Bukittinggi.

Ogden, CK., and I.A.Richards, The Meaning of Meaning (London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1960).

Piliang, Yasraf Amir. 2001. Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung : Mizan.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.



[1] Luhak Agam di dalam tambo disebut sebagai luhak kedua setelah Luhak Tanah Datar.

[2] LKAAM Sumatera Barat. Pelajaran Adat Minangkabau. Padang 1987 hal. 38-39.

[3] Koto Jolong dalah daerah pertama yang ditempati nenek moyang orang Kurai.

[4] Rajo Bagombak bergelar Yang Dipatuan Bagonjong dikemudian hari pengganti pertama dari keluarga Pasukuan Pisang di Ikua Labuah bergelar  Dt. Yang Dipituan.

[5] Bandaharo Nan Bangkah dikemudian hari pengganti pertama dari keluarga Pasukuan Guci  di Balai Banyak bergelar Dt. Bandaharo

 (selanjutnya kedua gelar datuak tersebut menjadi Gelar Pusako Pasukuan Pisang dan Pasukuan Guci.  “M. A. Dt. Kampuang Dalam. Op. cit. Hal. 229-230”)

[6] Dalam “Menelusuri Jejak Sejarah Orang Kurai Beserta Lembaga Adatnya”:. M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Hal. 34-35

 

[7] Diagram rute perjalanan disusun berdasarkan kepada sejarah asal usul nenek moyang orang kurai dalam Menelusuri Jejak Sejarah Orang Kurai Beserta Lembaga Adatnya. M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Hal. 34-35

[8] Dalam Dahar St. Sari Basa. “ Keringkasan Tambo Alam Minangkabau dan Seluk Beluk Adat Kurai Limo Jorong”. 1967. Hal. 58

[9] Ibid. hal 58

[10] Ibid. hal. 58

[11] Ibid. hal.58

[12] Ibid. hal 58

[13] Dahar St. Sari Basa menyebutkan, bahwa Koto Jolong di masa sekarang dinamai Pakan Labuah. Hal ini berbeda dengan sejarah yang di tulis M.A Dt. Kampuang Dalam dalam bukunya Menelusuri Jejak Sejarah Nagari Kurai Beserta Lembaga Adatnya. 2011. M.A menuliskan, Koto Jolong terdiri dari dua daerah, yakni daerah mudiak dan daerah hilir. Daerah mudiak didiami oleh rombongan pertama dengan 7 suku yang dikemudian hari berganti nama menjadi Pakan Labuah. Daerah hilir didiami oleh rombongan kedua dengan 6 suku yang dikemudian hari berganti nama menjadi Balai Banyak.

[14] Diagram disusun berdasarkan pada Sejarah asal usul Orang Kurai Oleh Dahar Dt. Sari Basa Sikumbang Balai Banyak dalam buku Tambo Alam Minangkabau dan Seluk Beluk Adat Kurai Limo Jorong. 1967, hl. 56-58

[15] Diagram 3 ini dibuat berdasarkan sejarah yang ditulis oleh M.A Dt Kampung Dalam. 2011 dan Dahar St. Sari Basa (dengan menkombinasikan dua sumber tersebut).

[16] M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Op cit. Hal. 39

[17] Persukuan pisang di Kapalo Koto, persukuan Jambak di Tabiang, persukuan Guci di Pakan Labuah, Persukuan Tanjuang di Belakang Balai,pasukuan Koto di Kabun,  persukuan Simabua di Pakan Labuah, persukuan Sikumbang di Pabeloan.

[18] Persukuan Guci, Sikumbang, Pisang, Jambak, Tanjuang, dan Salayan.

[19] Niniak Mamak/ Pangka Tuo Nagari Tigo Baleh:

Daerah Mudiak: Dt. Rangkayo Basa; Dt. Nan Adua; Dt. Mantiko Basa (Dt. Kapalo Koto); Dt. Asa Dahulu; Dt Pado  Batua; Dt. Dunia Basa; Dt. Maruhun.

Derah Hilia       : Dt. Gunuang Ameh; Dt Mangkudun; Dt Panduko Sati; Dt Rajo Sikampuang; Dt Mangulak Basa; Dt.  Sari Basa.

[20] M.A Dt Kampung Dalam. 2011. Hal. 53.

[21] Wawancara dengan Dt. Mangkuto Ameh (Anggota KAN Tigo Baleh) .

[22] Masyarakat Pakan Labuah/ Tigo Baleh dan Bukittinggi dalam sebuah dialog terbuka yang di buka dalam disebuah halaman Minangkabau Research pada tanggal 19 April 2020

[23] Ketua RT di Kelurahan Pakan Labuah

[24] Masyarakat Kelurahan Pakan Labuah

[25] Guci, Tanjuang, Koto, Pisang, Simabur, Jambak, Selayan, Sikumbang.