Senin, 15 Maret 2021

PARIWISATA BERBASISKAN KEARIFAN LOKAL

 


PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA DI KOTA BUKITTINGGI

“ PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASISKAN KEARIFAN LOKAL”

 

I.      PENDAHULUAN

Dalam Skala Nasional, pembangunan sektor pariwisata telah dituangkan dalam berbagai kebijakan Pemerintah. Kebijakan pembangunan sektor pariwisata mulai dimasukkan dalam undang-undang, keputusan presiden dan peraturan daerah. Sektor pariwisata dijadikan sebagai salah satu sektor yang diharapkan dapat diandalkan untuk pengembangan ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata harus dilakukan melalui pendekatan sistem yang utuh, terpadu dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomi, teknis, sosial-budaya, hemat energi, pelestarian alam dan lingkungan.

Setiap merumuskan kebijakan, Pemerintah harus memperhatikan berbagai hal diantaranya kehidupan masyarakat setempat. Dengan melihat kehidupan masyarakat setempat, utamanya masyarakat yang masih kental dengan hukum adat sangat mempengaruhi pelaksanaan hukum yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Secara Geografis, Indonesia merupakan suatu negara yang wilayahnya luas dengan kekayaan alam dan kultur yang unik, berupa aset-aset pariwisata yang tersebar pada seluruh Nusantara. Keberadaan seluruh aset merupakan potensi pariwisata yang dapat mendatangkan devisa bagi Negara, terutama masyarakat setempat. Melihat fungsinya yang konstruktif bagi bangsa dan masyarakat setempat, maka pariwisata perlu memiliki konsep dan definisi yang jelas.

Bryant and White (dalam Suryono, 2010:2) menyebutkan bahwa pembangunan adalah upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya dengan memiliki lima implikasi utama, yaitu: (1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan manusia secara optimal, baik individu maupun kelompok (capacity). (2) Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan, kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity). (3) Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment). (4) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (sustainability). (5) Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara satu kepada negara lain, menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dan saling menghormati (interdependence). Lima prinsip dasar pembangunan di atas harus berorientasi pada pembangunan yang berwawasan people centered development (pembangunan yang berpusat pada rakyat), yang berarti adanya proses pembangunan dengan tujuan peningkatan kemampuan manusia dalam menentukan masa depannya (Suryono, 2010:3).

Pariwisata ialah suatu proses perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang bersifat sementara dan di luar tempat tinggalnya, baik perorangan maupun kelompok. Pariwisata diadakan karena berbagai kepentingan seperti kepentingan budaya, sosial, agama atau kepentingan yang lainnya dengan tujuan untuk memperoleh kenikmatan, serta memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu. Sementara itu, orang atau kelompok yang mengadakan perjalanan disebut wisatawan jika lama tinggalnya sekurang-kurangnya 24 jam di daerah atau tujuan wisata tetapi jika lama tinggalnya dalam waktu kurang dari 24 jam disebut pelancong (Suwantoro, 1997:3).

Menurut Undang–Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, wisata ialah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan pariwisata ialah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban di dalam pembangunan kepariwisataan sesuai dengan isi Undang–Undang No. 10 Tahun 2009: (a) Menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan; (b) Menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum; (c) Memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan (d) Mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.

Sumberdaya pariwisata menurut Pitana (2009:69-75), terdiri atas: sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya budaya dan sumberdaya minat khusus. (1) Sumberdaya alam yang dapat menjadi sumberdaya pariwisata menurut Fannel, yang dikutip oleh Pitana (2009:76) seperti: lokasi geografis, iklim dan cuaca, topografi dan landforms, surface materials, air, vegetasi, fauna. (2) Sumberdaya manusia dalam pariwisata merupakan salah satu komponen yang sangat penting di dalam pembangunan pariwisata. Faktor sumber daya manusia sangat menentukan keberhasilan pembangunan pariwisata. (3) Sumber daya budaya dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisatanya. Salah satu jenis pariwisata yang menggunakan sumberdaya budaya sebagai modal utama dalam atraksi wisata disebut pariwisata budaya. Pariwisata budaya memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk melakukan kontak langsung dengan masyarakat lokal dan kepada individu yang memiliki pengetahuan khusus tentang sesuatu objek budaya. Jenis pariwisata ini memberikan variasi yang luas menyangkut budaya, mulai dari seni pertunjukkan, seni rupa, festival, makanan tradisional, sejarah, pengalaman nostalgia dan cara hidup yang lain.

II.    PEMBANGUNAN PARIWISATA BUDAYA DI KOTA BUKITTINGGI

Pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi dalam perspektif kearifan lokal merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan untuk dapat menarik lebih banyak wisatawan untuk datang ke Kota Bukittinggi. Pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi hendaknya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Kota Bukittinggi. Selain itu, pembangunan pariwisata hendaklah berkelanjutan sehingga berorientasi pada mensejahterakan masyarakat. Selain itu, pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi sangat dipengaruhi oleh kesiapan Kota Bukittinggi di dalam meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Oleh karena itu, diperlukanlah otoritas manajemen yang mencakup keseluruhan fungsi pengelolaan terhadap elemen–elemen pembentuk suatu destinasi yang mencakup tiga aspek utama, yaitu: 1. Pengembangan produk, Kota Bukittinggi harus mengembangkan produk yang mempunyai ciri khas tersendiri (ciri khas budaya Kota Bukittinggi) dan dapat menarik kunjungan wisatawan. 2. Pengembangan pemasaran, seperti promosi destinasi, penyediaan informasi kepariwisataan yang jelas dan efektif. 3. Pengembangan lingkungan, seperti penyediaan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia.

Kebijakan sosial berasal dari nilai-nilai, kenyataan dan teori–teori sosial (Nugroho, 2014:1). Studi kebijakan sosial telah dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi dari Barat. Fokus dari studi tersebut ialah pemecahan masalah sosial yang berbeda dengan fokus studi di Negara Berkembang. Kebijakan sosial di Negara Berkembang didesain untuk memecahkan masalah, serta untuk melakukan pembangunan sosial (Nugroho, 2014:11). Pembangunan sosial merupakan pembangunan ke arah pembangunan manusia, keadilan sosial dan ke arah kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial tidak hanya mengenai kemiskinan, tapi juga tentang pengembangan kualitas masyarakat yang kurang berpendidikan agar menjadi lebih terdidik. Pembangunan sosial dengan tujuan peningkatan kesejahteraan sosial sangat bergantung pada modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat.

Pengelompokkan sumber modal sosial secara garis besar dibedakan atas tiga kelompok utama (Vipriyanti, 2011:13), yaitu: rasa percaya, norma dan jaringan kerja. Rasa percaya merupakan dasar dari perilaku moral ketika akan membangun modal sosial. Rasa percaya ditentukan oleh homogenity, yang merupakan komposisi populasi dan tingkat ketidaksamaan (inequality). Norma adalah nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Jaringan kerja pada awalnya merupakan sistem dari saluran komunikasi (system of communication channel) untuk melindungi dan mengembangkan hubungan interpersonal. Modal sosial dapat dilihat sebagai perekat yang dapat menyatukan masyarakat, serta menjalin hubungan–hubungan antarmanusia. Bagian dari membangun modal sosial ialah memperkuat “masyarakat madani”. “Masyarakat madani” merupakan istilah yang digunakan untuk struktur–struktur formal atau semi-formal yang dibentuk masyarakat secara sukarela, tanpa arahan tertentu dari Pemerintah. “Masyarakat madani” terdiri atas sektor non-pemerintah dan perusahaan, akan tetapi sektor madani lebih luas dari itu. Contoh dari “masyarakat madani” ialah organisasi sosial, grup kebudayaan, perkumpulan pemuda dan seterusnya.

Kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial pada gilirannya bisa membentuk kebudayaan kembali dan memperkenalkan perubahan–perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi berikutnya. Kebudayaan adalah sistem norma dan nilai, sedangkan masyarakat ialah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama dan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan yang sama, serta melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat merupakan wadah atau organisasi manusia yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ialah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi dan menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut (Horton, 1984:58-59).

Globalisasi budaya sudah mengikuti pola yang sama seperti globalisasi ekonomi yang telah terjadi saat ini. Budaya universal berkembang karena disebarluaskan melalui media global yang semakin maju dan canggih. Di dalam menghadapi globalisasi budaya, sangat sulit bagi masyarakat untuk melestarikan budaya lokal mereka dan menjadikannya keunikan wilayah. Meski demikian, globalisasi budaya merupakan komponen penting dalam pengembangan masyarakat. Prinsip- prinsip yang ingin ditekankan adalah bahwa keanekaragaman budaya perlu dipertahankan. Oleh karena itu, budaya yang memberikan identitas dan rasa memiliki kepada orang–orang sehingga pengembangan budaya menjadi sangat penting bagi masyarakat.  

Dalam konteks pengembangan masyarakat di dalam ranah pariwisata, pengembangan budaya terdiri atas empat komponen, yaitu:

1.      Melestarikan dan Menghargai Budaya lokal.

Tradisi budaya lokal merupakan bagian yang penting dalam menanamkan rasa bermasyarakat, serta memberikan identitas kepada masyarakat. Masyarakat Kota Bukittinggi perlu mengidentifikasi apa komponen yang unik dari warisan budayanya, serta menentukan komponen mana yang ingin dipertahankan. Semua itu membutuhkan perencanaan yang tersusun, serta bagaimana mencapainya. Misalnya, membangun industri lokal yang berbasis budaya lokal.

 

 

 

2.      Melestarikan dan Menghargai Budaya Asli.

Melestarikan dan menghargai budaya yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Kota Bukittinggi dan mansyarakat Minangkababau dalam hal ini Sumatera Barat umumnya  merupakan isu sentral untuk pengembangan masyarakat dalam ranah pariwisata.

3.      Multikulturalisme.

 Pada umumnya, multikulturalisme merujuk pada kelompok etnis yang berbeda yang tinggal di suatu masyarakat tetapi mempertahankan identitas budaya yang berbeda. Isu kebijakan multikultural dan politik sangatlah kompleks, akan tetapi keanekaragaman latar belakang budaya merupakan realitas di Kota Bukittinggi. Oleh sebab itu, multikulturalisme merupakan aspek yang penting dari pembangunan budaya masyarakat Kota Bukittinggi dalam ranah pariwisata.

4.      Budaya Partisipatif.

Hal ini telah menjadi fokus dari banyak program pengembangan budaya masyarakat. Partisipasi budaya dilihat sebagai cara penting untuk membangun modal sosial, memperkuat masyarakat dan menegaskan identitas.

Peran pariwisata dalam pembangunan negara pada garis besarnya berintikan tiga segi, yaitu: segi ekonomis, segi sosial dan segi kebudayaan (Spillane, 1989:54). Mengacu pada (Damanik, 2013:10-12) ada beberapa benang merah pengembangan pariwisata yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kota Bukittinggi. Pertama, penerapan strategi perluasan kesempatan berusaha bagi kalangan miskin di Kota Bukittinggi. Kedua, perluasan kesempatan kerja bagi penduduk Kota Bukittinggi. Ketiga, pencegahan degradasi mutu lingkungan yang berdampak langsung dan lebih rentan bagi masyarakat. Keempat, penekanan pada upaya meminimalkan dampak negative sosial budaya pariwisata. Kelima, pendampingan masyarakat UMKM untuk pengembangan bisnis inti dan pendukung pariwisata. Keenam, promosi organisasi lokal yang dibentuk untuk kepentingan pariwisata Kota Bukittinggi.

Dalam kajian akademik muncul terminologi baru untuk sebutan pariwisata budaya  seperti heritage tourism, yang dalam terminologi bahasa Indonesia hampir tidak berbeda dengan pariwisata budaya (cultural tourism). Kemudian, para ahli memperluas cakupan pariwisata budaya dengan memasukkan sejumlah events budaya sebagai aktivitas utamanya (Damanik, 2013:109). Menurut McKercher (dalam Damanik, 2013:110) Wisatawan yang terlibat dalam pariwisata budaya memiliki sejumlah tipologi yang berbeda dengan tipologi segmen pasar wisatawan lainnya. Tipologi pariwisata tersebut dapat diidentifikasikan ke dalam lima tipologi berikut:

1. “The purposeful cultural tourist” atau wisatawan yang semata–mata bertujuan untuk menikmati atraksi dan mempelajari budaya sebagai alasan untuk melaksanakan perjalanan wisata.

2. “The sightseeing cultural tourist” atau wisatawan yang ingin menikmati warisan budaya lain sebagai alasan utama perjalanan, akan tetapi ia lebih berorientasi pada pencarian pengalaman kesenangan daripada pemahaman yang lebih dalam atas budaya tersebut.

 3. “The casual cultural tourist” atau wisatawan yang ingin menikmati warisan budaya lain secara terbatas sebagai alasan melakukan perjalanan wisata dan di destinasi tersebut mereka hanya sekedar mengunjungi atraksi secara sekilas.

4. “The incidental cultural tourist” atau wisatawan yang tidak menjadikan budaya sebagai penentu dalam proses keputusan berwisata, namun ketika berada di destinasi mereka juga mengunjungi atraksi–atraksi budaya.

5. “The serendipitous cultural tourist” atau wisatawan yang tidak menjadikan budaya sebagai penentu dalam proses keputusan berwisata. Namun, ketika berada di destinasi mereka juga mengunjungi atraksi budaya dan memperoleh pengalaman berharga di sana.

Kearifan lokal dan keunggulan lokal ialah kebijaksanaan manusia yang berdasarkan filosofi nilai–nilai, etika, cara–cara dan perilaku yang telah berlaku sejak dahulu. Bentuk–bentuk kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat ialah nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum, adat, serta aturan–aturan khusus yang berlaku di masyarakat dengan fungsi yang bermacam pula. Beberapa fungsi kearifan lokal, antara lain: 1. Sebagai bentuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam, 2. Pengembangan sumberdaya manusia, 3. Digunakan untuk mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, 4. Sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan, 5. Mempunyai makna sosial, contohnya upacara yang dilaksanakan pada tahap menanam padi, 6. Mempunyai makna etika dan moral, serta 7. Bermakna politik atau hubungan kekuasaan.

Kearifan Lokal merupakan salah satu nilai unggul yang dapat digunakan dalam mengembangkan Pariwisata Budaya oleh Pemerintah Kota Bukittinggi. Lebih lanjut, Sunaryo (2013:26) menegaskan bahwa, daya tarik wisata budaya ialah daya tarik wisata yang pengembangannya berdasarkan pada hasil karya dan hasil cipta manusia, baik itu berupa peninggalan budaya maupun nilai budaya yang masih hidup dalam kehidupan suatu masyarakat. Contoh daya tarik wisata budaya ialah upacara atau ritual, adat-istiadat, seni pertunjukan dan lain sebagainya. Karakteristik wisata budaya di Kota Bukittinggi memiliki peran yang sangat menentukan dalam menyerap dampak dari destinasi pariwisata Kota Bukittinggi. Wisata budaya yang memiliki karakteristik yang lain daripada yang lain merupakan nilai unggul yang dapat dijadikan kekuatan dalam menarik wisatawan lebih banyak lagi.

Setiap produk budaya yang terdapat di Kota Bukittinggi mempunyai potensi untuk dikemas sesuai kebutuhan pengembangan pariwisata budaya dan juga memiliki nilai keunggulan kompetitif dan berkelanjutan yang tidak hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi semata tetapi yang paling penting ialah terjaganya kelestarian lingkungan, kelestarian budaya, keberlanjutan pembangunan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi. Beberapa pakar di bidang analisis dampak lingkungan dari aktivitas kepariwisataan seperti Alister Matchieoson dan Geoffrey Wall, yang dikutip dalam Sunaryo (2013:53-54) menguraikan bahwa prinsip dari model pembangunan pariwisata berkelanjutan dan berwawasan lingkungan berintikan pengukuran kinerja pembangunan kepariwisataan dengan dua aspek indikator penting: 1. Aspek indikator lingkungan fisik yang memerlukan pengamatan dan pengukuran secara periodik ada dua yaitu pertama yang bersifat fixed terdiri atas sumberdaya alam/ekologi bukan buatan manusia, seperti: lanskap, hutan, danau, ketersediaan air tanah, polusi udara, terumbu karang, flora dan fauna dan seterusnya. Kedua, yang bersifat flexible berupa buatan manusia, contohnya: sistem infrastruktur, transportasi dan lainnya. 2. Aspek indikator sosial budaya yang harus selalu dimonitor kondisi dan kapasitasnya ialah (a) Jumlah wisatawan dan tipe kegiatan rekreasi, serta perilaku wisatawan yang terserap oleh destinasi tanpa harus mempengaruhi identitas, gaya hidup dan kehidupan sosial budaya; (b) Pelibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata; (c) Memberikan kontribusi terhadap konservasi sumberdaya alam dan cultural heritage; (d) Memberikan nilai kepada wisatawan terhadap hubungannya dengan masyarakat lokal, kearifan lokal, isu–isu sosial dan lingkungan setempat; (e) Meminimalkan dampak negatif ekonomi, lingkungan, budaya dan sosial dari pengembangan pariwisata; (f) Menumbuhkan hubungan baik antara wisatawan dengan masyarakat sekitar destinasi.

III.  KESIMPULAN

Pembangunan pariwisata budaya merupakan kerangka atau model yang dapat dipergunakan oleh pemerintah Kota Bukittinggi untuk dapat menggali dan mengembangkan industri pariwisata yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Salah satu daya tarik itu ialah kearifan lokal, produk budaya masyarakat Kota Bukittinggi yang memiliki nilai lebih dan menarik bagi wisatawan yang akan berkunjung. Kearifan lokal atau budaya yang ada hendaknya memiliki nilai lebih tanpa harus mengurangi atau menambah nilai dari budaya tersebut.

 

 DAFTAR PUSTAKA

Damanik, Phil Janianton. 2013. Pariwisata Indonesia: Antara Peluang dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Giddens, A. 1994. Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics. Cambridge: Polity Press. Horton, Paul B. & Chester L. Hunt. 1984. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Ife, Jim & Frank Tesoriero. 2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi Community Development. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Nugroho, Riant. 2014. Kebijakan Sosial untuk Negara Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Pitana, I Gede & I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Spillane, James. 1989. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius.

Sunaryo, Bambang. 2013. Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.

Suryono, Agus. 2010. Dimensi-Dimensi Prima Teori Pembangunan. Malang: UB Press.

 Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-dasar Pariwisata. Yogjakarta: Penerbit Andi. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

Vipriyanti, Nyoman Untari. 2011. Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah Mengkaji Success Story Pembangunan di Bali. Malang: UB Press.



Note:

Tulis saja apa yang kau fikirkan. Semoga kelak akan ada manfaatnya...