PENGEMBANGAN
PARIWISATA BUDAYA DI KOTA BUKITTINGGI
“
PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASISKAN KEARIFAN LOKAL”
I. PENDAHULUAN
Dalam Skala Nasional,
pembangunan sektor pariwisata telah dituangkan dalam berbagai kebijakan
Pemerintah. Kebijakan pembangunan sektor pariwisata mulai dimasukkan dalam
undang-undang, keputusan presiden dan peraturan daerah. Sektor pariwisata
dijadikan sebagai salah satu sektor yang diharapkan dapat diandalkan untuk
pengembangan ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata harus dilakukan
melalui pendekatan sistem yang utuh, terpadu dan partisipatoris dengan
menggunakan kriteria ekonomi, teknis, sosial-budaya, hemat energi, pelestarian
alam dan lingkungan.
Setiap merumuskan
kebijakan, Pemerintah harus memperhatikan berbagai hal diantaranya kehidupan
masyarakat setempat. Dengan melihat kehidupan masyarakat setempat, utamanya
masyarakat yang masih kental dengan hukum adat sangat mempengaruhi pelaksanaan
hukum yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Secara Geografis, Indonesia
merupakan suatu negara yang wilayahnya luas dengan kekayaan alam dan kultur
yang unik, berupa aset-aset pariwisata yang tersebar pada seluruh Nusantara.
Keberadaan seluruh aset merupakan potensi pariwisata yang dapat mendatangkan
devisa bagi Negara, terutama masyarakat setempat. Melihat fungsinya yang
konstruktif bagi bangsa dan masyarakat setempat, maka pariwisata perlu memiliki
konsep dan definisi yang jelas.
Bryant and White (dalam
Suryono, 2010:2) menyebutkan bahwa pembangunan adalah upaya meningkatkan
kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya dengan memiliki lima
implikasi utama, yaitu: (1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan manusia
secara optimal, baik individu maupun kelompok (capacity). (2) Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan,
kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity).
(3) Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun
dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam
bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment). (4) Pembangunan berarti
membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (sustainability). (5) Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan
negara satu kepada negara lain, menciptakan hubungan yang saling menguntungkan
dan saling menghormati (interdependence).
Lima prinsip dasar pembangunan di atas harus berorientasi pada pembangunan yang
berwawasan people centered development
(pembangunan yang berpusat pada rakyat), yang berarti adanya proses pembangunan
dengan tujuan peningkatan kemampuan manusia dalam menentukan masa depannya
(Suryono, 2010:3).
Pariwisata ialah suatu
proses perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang bersifat sementara dan
di luar tempat tinggalnya, baik perorangan maupun kelompok. Pariwisata diadakan
karena berbagai kepentingan seperti kepentingan budaya, sosial, agama atau
kepentingan yang lainnya dengan tujuan untuk memperoleh kenikmatan, serta
memenuhi hasrat ingin mengetahui sesuatu. Sementara itu, orang atau kelompok
yang mengadakan perjalanan disebut wisatawan jika lama tinggalnya
sekurang-kurangnya 24 jam di daerah atau tujuan wisata tetapi jika lama
tinggalnya dalam waktu kurang dari 24 jam disebut pelancong (Suwantoro,
1997:3).
Menurut Undang–Undang No.
10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, wisata ialah kegiatan perjalanan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat
tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan
pariwisata ialah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh masyarakat,
pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
mempunyai kewajiban di dalam pembangunan kepariwisataan sesuai dengan isi Undang–Undang
No. 10 Tahun 2009: (a) Menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan
hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan; (b) Menciptakan iklim
yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya
kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian
hukum; (c) Memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset nasional yang
menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan (d)
Mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan
menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
Sumberdaya pariwisata
menurut Pitana (2009:69-75), terdiri atas: sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
sumberdaya budaya dan sumberdaya minat khusus. (1) Sumberdaya alam yang dapat
menjadi sumberdaya pariwisata menurut Fannel, yang dikutip oleh Pitana
(2009:76) seperti: lokasi geografis, iklim dan cuaca, topografi dan landforms,
surface materials, air, vegetasi, fauna. (2) Sumberdaya manusia dalam
pariwisata merupakan salah satu komponen yang sangat penting di dalam
pembangunan pariwisata. Faktor sumber daya manusia sangat menentukan
keberhasilan pembangunan pariwisata. (3) Sumber daya budaya dapat menjadi salah
satu faktor yang dapat menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisatanya.
Salah satu jenis pariwisata yang menggunakan sumberdaya budaya sebagai modal
utama dalam atraksi wisata disebut pariwisata
budaya. Pariwisata budaya memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk
melakukan kontak langsung dengan masyarakat lokal dan kepada individu yang
memiliki pengetahuan khusus tentang sesuatu objek budaya. Jenis pariwisata ini
memberikan variasi yang luas menyangkut budaya, mulai dari seni pertunjukkan,
seni rupa, festival, makanan tradisional, sejarah, pengalaman nostalgia dan
cara hidup yang lain.
II.
PEMBANGUNAN PARIWISATA BUDAYA DI KOTA
BUKITTINGGI
Pembangunan pariwisata Kota
Bukittinggi dalam perspektif kearifan lokal merupakan salah satu potensi yang
dapat dikembangkan untuk dapat menarik lebih banyak wisatawan untuk datang ke Kota
Bukittinggi. Pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi hendaknya dapat dinikmati
oleh seluruh masyarakat Kota Bukittinggi. Selain itu, pembangunan pariwisata
hendaklah berkelanjutan sehingga berorientasi pada mensejahterakan masyarakat. Selain
itu, pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi sangat dipengaruhi oleh kesiapan Kota
Bukittinggi di dalam meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Oleh karena itu,
diperlukanlah otoritas manajemen yang mencakup keseluruhan fungsi pengelolaan
terhadap elemen–elemen pembentuk suatu destinasi yang mencakup tiga aspek
utama, yaitu: 1. Pengembangan produk, Kota Bukittinggi harus mengembangkan
produk yang mempunyai ciri khas tersendiri (ciri khas budaya Kota Bukittinggi) dan
dapat menarik kunjungan wisatawan. 2. Pengembangan pemasaran, seperti promosi
destinasi, penyediaan informasi kepariwisataan yang jelas dan efektif. 3.
Pengembangan lingkungan, seperti penyediaan infrastruktur, pengembangan
sumberdaya manusia.
Kebijakan sosial berasal
dari nilai-nilai, kenyataan dan teori–teori sosial (Nugroho, 2014:1). Studi
kebijakan sosial telah dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi dari
Barat. Fokus dari studi tersebut ialah pemecahan masalah sosial yang berbeda
dengan fokus studi di Negara Berkembang. Kebijakan sosial di Negara Berkembang
didesain untuk memecahkan masalah, serta untuk melakukan pembangunan sosial
(Nugroho, 2014:11). Pembangunan sosial merupakan pembangunan ke arah
pembangunan manusia, keadilan sosial dan ke arah kesejahteraan sosial.
Kebijakan sosial tidak hanya mengenai kemiskinan, tapi juga tentang
pengembangan kualitas masyarakat yang kurang berpendidikan agar menjadi lebih
terdidik. Pembangunan sosial dengan tujuan peningkatan kesejahteraan sosial
sangat bergantung pada modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat.
Pengelompokkan sumber
modal sosial secara garis besar dibedakan atas tiga kelompok utama (Vipriyanti,
2011:13), yaitu: rasa percaya, norma dan jaringan kerja. Rasa percaya merupakan
dasar dari perilaku moral ketika akan membangun modal sosial. Rasa percaya
ditentukan oleh homogenity, yang
merupakan komposisi populasi dan tingkat ketidaksamaan (inequality). Norma adalah nilai bersama yang
mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Jaringan
kerja pada awalnya merupakan sistem dari saluran komunikasi (system of communication channel) untuk
melindungi dan mengembangkan hubungan interpersonal. Modal sosial dapat dilihat
sebagai perekat yang dapat menyatukan masyarakat, serta menjalin
hubungan–hubungan antarmanusia. Bagian dari membangun modal sosial ialah
memperkuat “masyarakat madani”.
“Masyarakat madani” merupakan istilah yang digunakan untuk struktur–struktur
formal atau semi-formal yang dibentuk masyarakat secara sukarela, tanpa arahan
tertentu dari Pemerintah. “Masyarakat madani” terdiri atas sektor
non-pemerintah dan perusahaan, akan tetapi sektor madani lebih luas dari itu.
Contoh dari “masyarakat madani” ialah organisasi sosial, grup kebudayaan,
perkumpulan pemuda dan seterusnya.
Kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial pada gilirannya bisa membentuk
kebudayaan kembali dan memperkenalkan perubahan–perubahan yang kemudian menjadi
bagian dari warisan generasi berikutnya. Kebudayaan adalah sistem norma dan
nilai, sedangkan masyarakat ialah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama
dan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan yang sama, serta
melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat
merupakan wadah atau organisasi manusia yang berhubungan satu dengan yang
lainnya. Kebudayaan ialah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi dan
menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut (Horton, 1984:58-59).
Globalisasi budaya sudah
mengikuti pola yang sama seperti globalisasi ekonomi yang telah terjadi saat
ini. Budaya universal berkembang karena disebarluaskan melalui media global
yang semakin maju dan canggih. Di dalam menghadapi globalisasi budaya, sangat
sulit bagi masyarakat untuk melestarikan budaya lokal mereka dan menjadikannya
keunikan wilayah. Meski demikian, globalisasi budaya merupakan komponen penting
dalam pengembangan masyarakat. Prinsip- prinsip yang ingin ditekankan adalah
bahwa keanekaragaman budaya perlu dipertahankan. Oleh karena itu, budaya yang memberikan identitas dan rasa
memiliki kepada orang–orang sehingga pengembangan budaya menjadi sangat penting
bagi masyarakat.
Dalam konteks
pengembangan masyarakat di dalam ranah pariwisata, pengembangan budaya terdiri
atas empat komponen, yaitu:
1. Melestarikan dan Menghargai Budaya
lokal.
Tradisi budaya lokal merupakan bagian yang penting dalam
menanamkan rasa bermasyarakat, serta memberikan identitas kepada masyarakat.
Masyarakat Kota Bukittinggi perlu mengidentifikasi apa komponen yang unik dari
warisan budayanya, serta menentukan komponen mana yang ingin dipertahankan.
Semua itu membutuhkan perencanaan yang tersusun, serta bagaimana mencapainya.
Misalnya, membangun industri lokal yang berbasis budaya lokal.
2. Melestarikan dan Menghargai Budaya
Asli.
Melestarikan dan menghargai budaya yang menjadi dasar
kehidupan masyarakat Kota Bukittinggi dan mansyarakat Minangkababau dalam hal
ini Sumatera Barat umumnya merupakan isu
sentral untuk pengembangan masyarakat dalam ranah pariwisata.
3. Multikulturalisme.
Pada umumnya,
multikulturalisme merujuk pada kelompok etnis yang berbeda yang tinggal di
suatu masyarakat tetapi mempertahankan identitas budaya yang berbeda. Isu
kebijakan multikultural dan politik sangatlah kompleks, akan tetapi
keanekaragaman latar belakang budaya merupakan realitas di Kota Bukittinggi.
Oleh sebab itu, multikulturalisme merupakan aspek yang penting dari pembangunan
budaya masyarakat Kota Bukittinggi dalam ranah pariwisata.
4. Budaya Partisipatif.
Hal ini telah menjadi fokus dari banyak program pengembangan
budaya masyarakat. Partisipasi budaya dilihat sebagai cara penting untuk
membangun modal sosial, memperkuat masyarakat dan menegaskan identitas.
Peran pariwisata dalam
pembangunan negara pada garis besarnya berintikan tiga segi, yaitu: segi
ekonomis, segi sosial dan segi kebudayaan (Spillane, 1989:54). Mengacu pada (Damanik,
2013:10-12) ada beberapa benang merah pengembangan pariwisata yang berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kota Bukittinggi. Pertama, penerapan strategi perluasan
kesempatan berusaha bagi kalangan miskin di Kota Bukittinggi. Kedua, perluasan kesempatan kerja bagi
penduduk Kota Bukittinggi. Ketiga,
pencegahan degradasi mutu lingkungan yang berdampak langsung dan lebih rentan
bagi masyarakat. Keempat, penekanan
pada upaya meminimalkan dampak negative sosial budaya pariwisata. Kelima, pendampingan masyarakat UMKM untuk
pengembangan bisnis inti dan pendukung pariwisata. Keenam, promosi organisasi lokal yang dibentuk untuk kepentingan
pariwisata Kota Bukittinggi.
Dalam kajian akademik
muncul terminologi baru untuk sebutan pariwisata budaya seperti heritage
tourism, yang dalam terminologi bahasa Indonesia hampir tidak berbeda
dengan pariwisata budaya (cultural
tourism). Kemudian, para ahli memperluas cakupan pariwisata budaya dengan
memasukkan sejumlah events budaya sebagai aktivitas utamanya (Damanik,
2013:109). Menurut McKercher (dalam Damanik, 2013:110) Wisatawan yang terlibat
dalam pariwisata budaya memiliki sejumlah tipologi yang berbeda dengan tipologi
segmen pasar wisatawan lainnya. Tipologi pariwisata tersebut dapat
diidentifikasikan ke dalam lima tipologi berikut:
1.
“The purposeful cultural tourist” atau wisatawan yang semata–mata bertujuan
untuk menikmati atraksi dan mempelajari budaya sebagai alasan untuk
melaksanakan perjalanan wisata.
2.
“The sightseeing cultural tourist” atau wisatawan yang ingin menikmati warisan
budaya lain sebagai alasan utama perjalanan, akan tetapi ia lebih berorientasi
pada pencarian pengalaman kesenangan daripada pemahaman yang lebih dalam atas
budaya tersebut.
3. “The casual cultural tourist” atau
wisatawan yang ingin menikmati warisan budaya lain secara terbatas sebagai
alasan melakukan perjalanan wisata dan di destinasi tersebut mereka hanya
sekedar mengunjungi atraksi secara sekilas.
4.
“The incidental cultural tourist” atau wisatawan yang tidak menjadikan budaya
sebagai penentu dalam proses keputusan berwisata, namun ketika berada di
destinasi mereka juga mengunjungi atraksi–atraksi budaya.
5.
“The serendipitous cultural tourist” atau wisatawan yang tidak menjadikan
budaya sebagai penentu dalam proses keputusan berwisata. Namun, ketika berada
di destinasi mereka juga mengunjungi atraksi budaya dan memperoleh pengalaman
berharga di sana.
Kearifan lokal dan keunggulan lokal ialah kebijaksanaan manusia yang
berdasarkan filosofi nilai–nilai, etika, cara–cara dan perilaku yang telah
berlaku sejak dahulu. Bentuk–bentuk kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat
ialah nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum, adat, serta
aturan–aturan khusus yang berlaku di masyarakat dengan fungsi yang bermacam
pula. Beberapa fungsi kearifan lokal, antara lain: 1. Sebagai bentuk konservasi
dan pelestarian sumberdaya alam, 2. Pengembangan sumberdaya manusia, 3.
Digunakan untuk mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, 4. Sebagai
petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan, 5. Mempunyai makna sosial, contohnya
upacara yang dilaksanakan pada tahap menanam padi, 6. Mempunyai makna etika dan
moral, serta 7. Bermakna politik atau hubungan kekuasaan.
Kearifan Lokal merupakan salah satu nilai unggul yang dapat digunakan dalam
mengembangkan Pariwisata Budaya oleh Pemerintah Kota Bukittinggi. Lebih lanjut,
Sunaryo (2013:26) menegaskan bahwa, daya tarik wisata budaya ialah daya tarik
wisata yang pengembangannya berdasarkan pada hasil karya dan hasil cipta
manusia, baik itu berupa peninggalan budaya maupun nilai budaya yang masih
hidup dalam kehidupan suatu masyarakat. Contoh daya tarik wisata budaya ialah
upacara atau ritual, adat-istiadat, seni pertunjukan dan lain sebagainya.
Karakteristik wisata budaya di Kota Bukittinggi memiliki peran yang sangat
menentukan dalam menyerap dampak dari destinasi pariwisata Kota Bukittinggi. Wisata budaya yang memiliki karakteristik yang lain daripada yang lain merupakan
nilai unggul yang dapat dijadikan kekuatan dalam menarik wisatawan lebih banyak
lagi.
Setiap produk budaya yang
terdapat di Kota Bukittinggi mempunyai potensi untuk dikemas sesuai kebutuhan
pengembangan pariwisata budaya dan juga memiliki nilai keunggulan kompetitif
dan berkelanjutan yang tidak hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi semata
tetapi yang paling penting ialah terjaganya kelestarian lingkungan, kelestarian
budaya, keberlanjutan pembangunan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
di sekitar destinasi. Beberapa pakar di bidang analisis dampak lingkungan dari
aktivitas kepariwisataan seperti Alister Matchieoson dan Geoffrey Wall, yang
dikutip dalam Sunaryo (2013:53-54) menguraikan bahwa prinsip dari model
pembangunan pariwisata berkelanjutan dan berwawasan lingkungan berintikan
pengukuran kinerja pembangunan kepariwisataan dengan dua aspek indikator
penting: 1. Aspek indikator lingkungan
fisik yang memerlukan pengamatan dan pengukuran secara periodik ada dua
yaitu pertama yang bersifat fixed terdiri atas sumberdaya alam/ekologi bukan
buatan manusia, seperti: lanskap, hutan, danau, ketersediaan air tanah, polusi
udara, terumbu karang, flora dan fauna dan seterusnya. Kedua, yang bersifat
flexible berupa buatan manusia, contohnya: sistem infrastruktur, transportasi
dan lainnya. 2. Aspek indikator sosial
budaya yang harus selalu dimonitor kondisi dan kapasitasnya ialah (a)
Jumlah wisatawan dan tipe kegiatan rekreasi, serta perilaku wisatawan yang
terserap oleh destinasi tanpa harus mempengaruhi identitas, gaya hidup dan
kehidupan sosial budaya; (b) Pelibatan masyarakat dalam pengembangan
pariwisata; (c) Memberikan kontribusi terhadap konservasi sumberdaya alam dan
cultural heritage; (d) Memberikan nilai kepada wisatawan terhadap hubungannya
dengan masyarakat lokal, kearifan lokal, isu–isu sosial dan lingkungan
setempat; (e) Meminimalkan dampak negatif ekonomi, lingkungan, budaya dan
sosial dari pengembangan pariwisata; (f) Menumbuhkan hubungan baik antara
wisatawan dengan masyarakat sekitar destinasi.
III. KESIMPULAN
Pembangunan pariwisata budaya
merupakan kerangka atau model yang dapat dipergunakan oleh pemerintah Kota
Bukittinggi untuk dapat menggali dan mengembangkan industri pariwisata yang
memiliki daya tarik bagi wisatawan. Salah satu daya tarik itu ialah kearifan
lokal, produk budaya masyarakat Kota Bukittinggi yang memiliki nilai lebih dan
menarik bagi wisatawan yang akan berkunjung. Kearifan lokal atau budaya yang
ada hendaknya memiliki nilai lebih tanpa harus mengurangi atau menambah nilai
dari budaya tersebut.
Damanik, Phil
Janianton. 2013. Pariwisata Indonesia: Antara Peluang dan Tantangan.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Giddens, A. 1994.
Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics. Cambridge: Polity Press.
Horton, Paul B. & Chester L. Hunt. 1984. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Ife, Jim & Frank
Tesoriero. 2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi
Community Development. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Nugroho, Riant. 2014.
Kebijakan Sosial untuk Negara Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Pitana, I Gede & I
Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Spillane, James. 1989.
Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius.
Sunaryo, Bambang. 2013.
Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.
Yogyakarta: Gava Media.
Suryono, Agus. 2010.
Dimensi-Dimensi Prima Teori Pembangunan. Malang: UB Press.
Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-dasar
Pariwisata. Yogjakarta: Penerbit Andi. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009
Tentang Kepariwisataan.
Vipriyanti, Nyoman
Untari. 2011. Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah Mengkaji Success Story
Pembangunan di Bali. Malang: UB Press.
Note:
Tulis saja apa yang kau fikirkan. Semoga kelak akan ada manfaatnya...